Demikian dikatan Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH, saat didaulat menjadi Ahli dari Pemohon dalam sidang uji materi UU Perkebunan yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (10/5/2011), bertempat di ruang sidang Pleno MK. Sidang kali kelima ini beragendakan mendengar keterangan Ahli.
Permohonan perkara nomor 55/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 18/2004 tentang Perkebunan ini diajukan oleh Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin alias Keling. Japin dkk. merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 21 jo Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan. Pasal 21 UU Perkebunan berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.” Menurut Pemohon, ketentuan pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
I Nyoman Nurjaya dalam keterangannya menyatakan, paradigma pembangunan nasional sampai sekarang masih dianut adalah economic growth development, pembangunan yang diorientasikan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Berfokus kepada target pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan aspek proses pembangunan. “Paradigmanya menurut saya tidak salah, tetapi harus dilihat ada dimensi target dan dimensi proses. Nah, yang selama ini yang saya cermati, termasuk juga dukungan hukumnya lebih mengutamakan dimensi targetnya dan mengabaikan dimensi prosesnya,” paparnya.
Lebih lanjut Nyoman berbicara mengenai implikasi pembangunan dengan mengabaikan keseimbangan tujuan pembangunan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Fokus pertumbuhan ekonomi pada target berorientasi eksploitasi. Kemudian salah satu implikasi yang ditimbulkan adalah prosesnya. Wujudnya, mengabaikan, menggusur, memarjinalisasi hak ekonomi sosial dan budaya masyarakat, khususnya masyarakat adat yang berada di dalam kawasan usaha-usaha untuk memanfaatkan sumber daya alam. “Nah ini yang saya sebut dalam politik pembangunan hukum Indonesia, sebagai political of ignorance (politik pengabaian). Politik pembangunan yang penuh nuansa pengabaian dan penggusuran, biasanya dikemas dengan nama, atas nama atau demi pembangunan nasional. Dan kemudian, akan muncul pembangunan yang sarat dengan konflik nilai, norma, kepentingan,” tambah Nyoman.
Menurutnya, kewajiban hukum yang mendahului pemberian hak atas tanah untuk usaha perkebunan menjadi kewajiban yang harus dilakukan dan tujuannya untuk mencapai kesepakatan, sehingga status tanahnya jelas. Kalau itu belum diselesaikan, ada reaksi, resistensi dari masyarakat yang hak-haknya dilanggar. “Dan itu menjadi hal yang bisa kita cermati bersama di berbagai daerah. Bagaimana resistensi dari masyarakat adat yang hak-haknya dilanggar, tetapi kemudian dalam undang-undang ini dikriminalisasi,” terangnya.
Sementara Ahli dari Pihak Terkait, Sosiolog Prof. Afrizal memaparkan hasil penelitiannya yang memperlihatkan penyebab langsung perlawanan penduduk berkaitan dengan mekanisme pengambilalihan atau penyerahan lahan ulayat penduduk nagari. Biasanya masyarakat hukum adat punya mekanisme internal penyerahan hak wilayah. “Dalam penelitian saya, saya menemukan kesepakatan yang disebut sebagai kesepakatan itu sebenarnya melanggar mekanisme adat yang telah berlaku. Oleh sebab itu, sepertinya praktik-praktik pengambilalihan lahan hak wilayah yang dipraktikkan selama ini agak berlawanan dengan Pasal 9 ayat (2),” terangnya.
Menurutnya, tindakan perusakan yang dilakukan warga sekitar perusahaan perkebunan atau industri pengolahan hasil perkebunan, tidak selalu wajar untuk dikriminalisasi dan dikenai sanksi pidana. Karena perbuatan mereka di banyak tempat merupakan dari strategi perjuangan anggota masyarakat hukum adat memperjuangkan hak-hak atas tanah ulayat mereka. “Biasanya perbuatan merusak atau mengganggu kegiatan perusahaan mereka lakukan setelah usaha-usaha lobby dan pengaduan kepada aparat pemerintah tidak membuahkan hasil,” tandasnya. (Nur Rosihin Ana/mh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar