Catatan Perkara MK
Tempat tinggal merupakan kebutuhan primer bagi setiap orang untuk menjaga ketenangan dan kelangsungan hidupnya. Tempat tinggal mempunyai fungsi penting bagi kehidupan manusia sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan dan berlindung dari segala macam bahaya. Selain itu, fungsi tempat tinggal yaitu sebagai tempat untuk melakukan kegiatan yang sifatnya pribadi (privacy), tempat berkumpul, pendidikan keluarga serta tempat yang nyaman untuk membina hubungan persaudaraan (silaturrahim) maupun persahabatan.
Tempat tinggal merupakan kebutuhan primer bagi setiap orang untuk menjaga ketenangan dan kelangsungan hidupnya. Tempat tinggal mempunyai fungsi penting bagi kehidupan manusia sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan dan berlindung dari segala macam bahaya. Selain itu, fungsi tempat tinggal yaitu sebagai tempat untuk melakukan kegiatan yang sifatnya pribadi (privacy), tempat berkumpul, pendidikan keluarga serta tempat yang nyaman untuk membina hubungan persaudaraan (silaturrahim) maupun persahabatan.
Dengan
demikian, memiliki rumah atau tempat tinggal menjadi impian setiap orang. Untuk
mewujudkan impian tersebut, dibutuhkan kemampuan finansial yang relevan dengan daya
beli tipe rumah.
Memiliki
tempat tinggal adalah hak asasi setiap orang. Hal ini sebagaimana amanat Pasal
28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Berlakunya
ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman (UU 1/2011), menjadi hambatan khususnya bagi tiga orang warga, yaitu Adittya Rahman GS,
Jefri Rusadi dan Erlan Basuki, untuk memiliki rumah sebagai tempat tinggal
sesuai dengan daya beli mereka. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011 menyatakan “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran
paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi.”
Merasa
dirugikan oleh ketentuan dalam materi UU tersebut, Ketiganya lalu mengajukan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diterima oleh panitera MK dengan Registrasi Nomor 12/PUU-X/2012. Para Pemohon mendalilkan, gaji mereka yang
kurang dari 2 juta hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga ketentuan Pasal 22
ayat (3) UU 1/2011 menyebabkan para Pemohon tidak dapat membeli atau membangun
rumah. Sebab, untuk membeli rumah dengan luas minimal 36m2 tersebut, para Pemohon harus
mengeluarkan dana yang diasumsikan minimal seharga Rp. 135.000.000. Hal ini
menurut para Pemohon, yang tidak sesuai dengan pendapatan mereka.
Para
Pemohon mendalilkan, setiap orang berhak untuk mendapatkan
rumah/tempat tinggal dan hidup di suatu tempat yang aman. Hak atas perumahan merupakan tanggung jawab negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Selain
mereka bertiga, permohonan judicial review Pasal 22 ayat (3) (UU 1/2011)
juga dilayangkan oleh Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan
Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI) yang dalam hal ini diwakili Eddy Ganefo (Ketua Umum) dan Anton R. Santoso (Sekretaris
Jenderal). Panitera MK merigistrasi permohonan ini dengan nomor 14/PUU-X/2012.
APERSI
adalah asosiasi para pelaku usaha pengembang perumahan dan permukiman untuk
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki misi membangun
perumahan rakyat yaitu perumahan sederhana/sangat sederhana. Menurut APERSI,
Pembangunan perumahan dengan luas lantai minimal 36 meter persegi menghambat
gerak pengembang dan target pembangunan rumah sederhana sehat tidak terpenuhi. Di sisi lain, kebutuhan terhadap rumah murah dan rumah dengan tipe 21
meter persegi yang merupakan rumah tumbuh, masih merupakan kebutuhan yang nyata.
Sebagai
pengembang pembangunan rumah sederhana dengan ukuran di bawah 36 meter
persegi, APERSI sangat keberatan dengan berlakunya
ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011. APERSI mendalilkan, ketentuan Pasal 22
ayat (3) UU 1/2011 tidak rasional dan tidak memiliki justifikasi financial
karena tidak applicable dan feasible dengan perhitungan ekonomi
perumahan dan apabila secara objektif ditelaah dan dianalisa berdasarkan
ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 31/PMK.03/2011 (yang merevisi
PMK Nomor 36/PMK.03/2007) memiliki ketentuan yang berbeda.
Dalam
Pasal 2 PMK Nomor 31/PMK.03/2011 disebutkan bahwa kebijakan pembebasan Pajak
Pertambahah Nilai (PPN) untuk Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana
(RSS) adalah rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai dengan
fasilitas kredit, baik bersubsidi ataupun tidak bersubsidi, atau melalui
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan: a. Luas
bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi); b. Harga jual tidak
melebihi Rp. 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah); c. Merupakan rumah pertama
yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak
dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.
Minimalis Tipe 21
Adittya
Rahman GS, Jefri Rusadi dan Erlan Basuki dalam tuntutannya
(petitum) meminta Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1)
UUD 1945. Menyatakan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Sedangkan APRESI dalam petitum-nya meminta
Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 27
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. APERSI juga meminta
Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 yang berbunyi ”Luas lantai
rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh
enam) meter persegi”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau
inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang
jika tidak diartikan dengan luas lantai paling sedikit 21 meter persegi.
Nur Rosihin Ana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar