Otonomi di bidang akademik atau keilmuan, hanya dapat berkembang apabila ada otonomi di bidang nonakademik. Otonomi Perguruan Tinggi (PT) dapat berjalan dengan baik apabila mendapatkan dukungan dana yang memadai dan kewenangan mengelola organisasi secara mandiri untuk menyelenggarakan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi. PT tidak akan mendapatkan dan menemukan kebenaran apabila terbelenggu oleh birokrasi dan berbagai peraturan. “Selain itu, kepentingan otonomi bagi perguruan tinggi adalah dalam rangka pencapaian kualitas pendidikan tinggi secara efektif dan efisien karena dengan otonomi tersebut akan tercipta debirokratisasi dalam tata kelola perguruan tinggi.”
Demikian opening statement Pemerintah atas uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang disampaikan oleh Sekretaris Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Ainun Na'im, Ph.D., dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (11/12/2012) siang. Sidang kali ketiga untuk perkara Nomor 103/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 65, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 86 dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) dan perkara Nomor 111/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Pasal 50, Pasal 65, Pasal 74, Pasal 76, Pasal 90 UU Dikti, ini beragendakan mendengar keterangan Pemerintah.
Ainun Na’im di hadapan Panel Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), Harjono, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi dan Anwar Usman, lebih lanjut menyatakan, Pasal 63 UU Dikti secara tegas menyatakan: “Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. akuntabilitas; b. transparansi; c. nirlaba; d. penjaminan mutu; dan e. efektivitas dan efisiensi.” Akuntabilitas perguruan tinggi merupakan bentuk pertanggungjawaban atas kegiatan yang dilaksanakan perguruan tinggi kepada semua pemangku kepentingan. Dalam melaksanakan kegiatan, perguruan tinggi tidak bertujuan untuk mencari laba tetapi tujuan sosial.
“Sehingga seluruh sisa hasil usaha dari pelaksanaan kegiatan harus ditanamkan kembali ke perguruan tinggi yang bersangkutan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau meningkatkan mutu layanan pendidikan secara berkelanjutan,” terang Ainun.
Selanjutnya Pasal 88 menyatakan: “Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan: a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi; b. jenis Program Studi; dan c. indeks kemahalan wilayah.” Standar wilayah operasinal tersebut akan dihitung berdasarkan biaya operasional yang dibutuhkan PT yang bersangkutan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan di setiap program studi yang memenuhi standar nasional mutu pendidikan tinggi selama 1 tahun ajaran.
Otonomi pengelolaan PT sebagaimana dimaksud Pasal 64 UU Dikti tidak membenarkan praktik komersialiasasi pendidikan dan kebebasan menetapkan sendiri biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat. “Dengan demikian, hakikat otonomi perguruan tinggi adalah bukan kebebasan untuk melakukan komersialisasi dan privatisasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi,” dalil Ainun.
Menurutnya, peningkatan daya saing Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di lingkungan global membutuhkan keluasan dan kelenturan prinsip otonomi dalam pengelolaan pendidikan tinggi. oleh karena itu, UU Dikti menetapkan pengelolaan PT terdiri atas otonomi terbatas, semi otonomi, dan otonomi. PT dengan status otonomi terbatas hanya memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik. PT dengan status semi otonom memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan sebagian pengelolaan nonakademik. Sementara PT dengan status otonom memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan nonakademik. Otonomi PT memberikan ruang gerak untuk bertindak cepat bagi PT.
Pasal 65 ayat (1) UU Dikti menyatakan: “Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.”
Ketentuan Pasal 65 ayat (1) ini telah jelas bahwa otonomi PT adalah bukan penyeragaman tetapi otonomi PT secara selektif sesuai dengan kondisi perguruan tinggi yang bersangkutan. “Jadi, berbeda dengan otonomi perguruan tinggi sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan,” lanjut Ainun.
Pemerintah memberikan dana kepada PTN untuk kepentingan operasional, investasi, pengembangan institusi, dan dana kepada mahasiswa sebagai dukungan biaya untuk mengikuti pendidikan tinggi. Pengalokasian dana untuk PTN dalam APBN dilakukan berdasarkan status pengelolaan PTN. PTN dengan status otonomi terbatas karena karakteristiknya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT), pengalokasian dana dilakukan menurut kelaziman pengalokasian belanja bagi UPT. PTN dengan status semi otonomi karena mengikuti pola pengelolaan keuangan badan layanan umum, pengalokasian dana dilakukan dengan mengikuti kelaziman pengalokasian belanja untuk Badan Layanan Umum (BLU). Sementara untuk PTN yang berstatus otonom karena diberi status badan hukum, pengalokasian dana mengikuti pola belanja yang khusus dalam bentuk subsisi pendidikan tinggi, bantuan sosial pelaksanaan pendidikan tinggi, dan bentuk lain, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Prinsip PTN badan hukum adalah nirlaba dengan tujuan yang bersifat sosial. Sedangkan prinsip dan tujuan badan hukum perusahaan adalah profit oriented atau berorientasi pada laba. PTN badan hukum meskipun memiliki status otonom tetapi tetap terikat dan tunduk pada ketentuan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang ditetapkan dalam UU Dikti, antara lain mengenai prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, efektivitas, dan efisiensi.
Pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh PTN badan hukum, tidak menjadi masalah privat, sulit diakses, berorientasi pasar, dan diskriminatif. Bentuk badan hukum bagi PT ini merupakan amanat dari Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terhadap eksistensi hukum Pasal 53 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ini, Mahkamah Konstitusi telah menguatkannya dalam beberapa putusan yang amarnya menolak untuk me-review Pasal 53 tersebut.
“Dengan demikian, keberadaan perguruan tinggi negeri badan hukum adalah legal dan absah baik menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maupun menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi,” tegas Ainun.
Pemerintah dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Selain itu, memohon Mahkamah menolak permohonan para Pemohon. Kemudian, menyatakan materi UU Dikti yang diujikan para Pemohon, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Untuk diketahui uji materi UU Dikti perkara Nomor 103/PUU-X/2012 dimohonkan oleh M. Nurul Fajri, Candra Feri Caniago, Depitriadi, Roky Septiari, Armanda Pransiska, dan Agid Sudarta Pratama. Sedangkan perkara Nomor 111/PUU-X/2012 diajukan oleh Azmy Uzandy, Khairizvan Edwar, Ilham Kasuma, Mida Yulia Murni, Ramzanjani, dan Ari Wirya Dinata. Sidang berikutnya akan digelar pada Rabu, 16 Januari 2013. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar