Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpandangan bahwa
keberadaan Pasal 96
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(UU Ketenagakerjaan) sama sekali tidak menghilangkan hak buruh atau pekerja
untuk dapat menuntut upah yang menjadi haknya. Pemberian waktu selama dua tahun
kepada buruh atau pekerja untuk dapat menuntut haknya sudah lebih dari cukup.
“Bisa dibayangkan jika tidak ada ketentuan masa
kedaluwarsanya suatu tuntutan, maka tidak ada kepastian hukum, baik bagi buruh
atau pekerja, maupun bagi pengusaha. Bisa saja terjadi, tuntutan baru dilakukan
setelah sepuluh atau dua puluh tahun kemudian, maka akan kesulitan untuk
menghitung jumlah kerugian yang diderita pekerja atau buruh karena jumlahnya
bisa berlipat-lipat. Pada sisi lain, hal tersebut tentu saja akan memberatkan
pemberi kerja untuk memenuhi tuntutan buruh atau pekerja.”
Hal tersebut disampaikan oleh Hari Wicaksono saat
menyampaikan keterangan DPR dalam sidang pengujian Pasal 96 UU Ketenagakerjaan
di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (5/12/12) siang. Sidang untuk perkara yang diregisterasi
oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 100/PUU-X/2012 pada 3 Oktober 2012, ini
mengagendakan mendengarkan keterangan DPR, Pemerintah, saksi dan ahli.
Hari Wicaksono di hadapan panel hakim Moh. Mahfud MD
(ketua panel), Harjono, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Anwar Usman, dan Hamdan
Zoelva, lebih lanjut menyatakan, pengaturan
batas kedaluwarsa suatu tuntutan pembayaran upah sebagaimana diatur dalam Pasal
96 UU Ketenagakerjaan menurut pandangan DPR, telah memiliki legal ratio yang cukup beralasan. Sebagai
perbandingan, Hari menukil ketentuan Pasal 1946 KUHPerdata yang menyatakan: “Kedaluwarsa
ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan
terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.”
Kemudian ketentuan Pasal 1968 KUHPerdata yang
menyatakan: “Tuntutan para buruh yang upahnya harus dibayar dalam bentuk uang
tiap-tiap kali setelah lewat waktu yang kurang dari satu triwulan, untuk
mendapat pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut pasal
1602q, semua tuntutan ini kedaluwarsa dengan lewatnya waktu satu tahun.” Ketentuan
ini dipertegas oleh Pasal 1969 KUHPerdata: “Tuntutan pada buruh, kecuali mereka
yang dimaksudkan dalam Pasal 1968, untuk pembayaran upah mereka serta jumlah
kenaikan upah itu menurut Pasal 1602 q; semuanya lewat waktu dengan lewatnya
waktu dua tahun.” Oleh karena itu menurut DPR, ketentuan Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
Sementara itu, Pemerintah dalam keterangannya yang
disampaikan oleh Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenakertrans,
Wahyu Indrawati, menyatakan pembayaran upah dan hal-hal lain dalam
hubungan kerja, dan/atau hubungan hukum pekerjaan, selalu diatur adanya
ketentuan kedaluwarsa. Karena kedaluwarsa adalah merupakan alat untuk
dibebaskan dari suatu perikatan atau perjanjian, termasuk perjanjian kerja (vide
Pasal 1946 KUH Perdata).
Kedaluwarsa yang terkait dengan hubungan kerja atau
hubungan hukum melakukan pekerjaan, sejak dulu diatur dalam hubungan
keperdataan, baik dalam hukum perdata adat maupun hukum perdata barat, yang
diatur kasus perkasus dan pasal per pasal, antara lain: a. tuntutan para buruh
untuk mendapatkan pembayaran upah mereka beserta jumlah kenaikan upah itu
kedaluwarsa dengan lewat waktu satu tahun (vide Pasal 1968); b. tuntutan
para buruh untuk pembayaran upah mereka beserta jumlah kenaikan upah itu dalam
kaitannya dengan lewatnya waktu dua tahun (vide Pasal 1969) dan c. tuntutan
tukang-tukang kayu, tukang-tukang batu untuk pembayaran bahan-bahan yang mereka
berikan dan upah-upah mereka kedaluwarsa dengan lewatnya waktu dua tahun (vide Pasal 1971).
Pemerintah berpandangan bahwa tenggang waktu dua
tahun sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan
merupakan aturan yang diadopsi dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981
khususnya Pasal 30 yang menyatakan: “Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.”
Menanggapi dalil pemohon yang menyatakan tidak
menuntut pertanggungjawaban PT Sandy Putra Makmur (PT SPM) dikarenakan takut
tidak dipekerjakan lagi, menurut Pemerintah, hal tersebut sudah menjadi materi
pokok perkara tersendiri atas perselisihan hubungan industrial. Hal ini menjadi
kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial untuk menilai apakah alasan demikian
dapat dijadikan alasan pemaaf untuk tidak mengajukan tuntutan.
“Menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 96
Undang-Undang Ketenagakerjaan justru untuk memberikan kepastian hukum
pembayaran upah pekerja buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja, dan ketentuan demikian tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945,” kata Wahyu Indrawati.
Untuk diketahui, permohonan uji Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan dimohonkan oleh Marten Boiliu. Marten adalah petugas Satuan Pengaman (Satpam) pada
perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui perusahaan penyedia jasa
pengamanan, yaitu di PT Sandy Putra Makmur (PT SPM). Marten mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ketika PT SPM tidak lagi menjalin hubungan kerja dengan BUMN tempat di
mana dia ditugaskan. Marten kehilangan hak atas uang pesangon, uang penghargaan,
dan uang penggantian hak karena tidak mengajukan tuntutan atas hak-hak tersebut
dalam kurun waktu dua tahun. Pasal 96 UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Tuntutan
pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak.” Menurut Marten, ketentuan tersebut
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja.” (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar