Persyaratan
bagi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu) sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik (parpol)
pada saat mendaftar.
Demikian antara lain putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara Nomor Nomor
81/PUU-IX/2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang digelar di gedung MK, Rabu
(4/1/2012) sore. Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagian permohonan
yang diajukan oleh 136 Pemohon yang terdiri 23 badan hukum privat dan
113 perorangan warga negara Indonesia. “Mengabulkan permohonan para
Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim MK, Moh. Mahfud MD.
Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan
Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU Penyelenggara Pemilu sepanjang
frasa, “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik … pada saat
mendaftar sebagai calon” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai
“sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah mengundurkan
diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai
calon”.
Mahkamah juga menyatakan Pasal 109 ayat
(4) huruf c, huruf d, dan ayat (5) UU Penyelenggara Pemilu bertentangan
dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
bagian kalimat “4 (empat) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan
partai politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam hal
jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah genap”. Sehingga
Pasal 109 ayat (4) tersebut selengkapnya harus dibaca: “DKPP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. 1 (satu) orang unsur KPU; b. 1
(satu) orang unsur Bawaslu; e. 5 (lima) orang tokoh masyarakat.”
Kemudian, menyatakan Pasal 109 ayat (11)
sepanjang frasa “berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan masing-masing
unsur” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 109 ayat
(11) tersebut selengkapnya harus dibaca, ”Setiap anggota DKPP dari
setiap unsur dapat diganti antarwaktu sesuai dengan ketentuan yang
berlaku”.
“Conflict of Interest”
Mahkamah dalam pendapatnya menyatakan,
Pemilu harus dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil. Asas jujur dan
adil hanya dapat terwujud jika, antara lain, penyelenggara Pemilu tidak
dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak lain manapun. Oleh karena
itu, penyelenggara Pemilu tidak dapat diserahkan kepada pemerintah atau
parpol sebab berpotensi dan rawan dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh
berbagai kepentingan, sehingga pemilu harus diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri
sebagaimana Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Komisi Pemilihan Umum (dengan
huruf besar), Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,
menurut Mahkamah, adalah bagian dari komisi pemilihan umum (dengan huruf
kecil) yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 memiliki sifat
mandiri.
Keberpihakan penyelenggara Pemilu kepada
peserta Pemilu akan mengakibatkan distrust serta menimbulkan proses dan
hasil yang dipastikan tidak fair, sehingga menghilangkan makna
demokrasi yang berusaha diwujudkan melalui Pemilu yang “langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Adalah hal yang tidak sejalan dengan
logika dan keadilan, jika Pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang
terdiri atau beranggotakan para peserta Pemilu itu sendiri. Meskipun
bukan sesuatu yang niscaya, adanya keterlibatan parpol sebagai
penyelenggara Pemilu akan membuka peluang keberpihakan (conflict of
interest) penyelenggara pemilihan umum kepada salah satu kontestan.
Menurut Mahkamah, keterlibatan secara
langsung parpol sebagai penyelenggara pemilihan umum, setidaknya dapat
dilakukan melalui dua cara, yaitu i) diakomodasinya anggota parpol
menjadi anggota komisi pemilihan umum; atau ii) diakomodasinya orang
yang bukan anggota parpol, namun memiliki kepentingan politik yang sama
dengan parpol tertentu.
Dari perspektif teleologis terkait
dengan kemandirian yang ingin dicapai, diakomodasinya anggota parpol
menjadi anggota komisi pemilihan umum dapat saja dilakukan dengan asumsi
bahwa anggota parpol yang kemudian memegang jabatan publik tidak selalu
berpihak kepada parpol asalnya. Akan tetapi tetap disyaratkan anggota
parpol dan masyarakat politik harus memiliki kedewasaan berpolitik serta
sifat kenegarawanan, dan tetap berada di atas kepentingan semua
golongan dan semua kelompok. Pada kenyataannya, kemandirian atau
netralitas tersebut tidak dengan sendirinya terjadi begitu saja. Dari
perspektif deontologis tetap diperlukan proses yang tepat untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
Untuk menjamin kemandirian komisi
pemilihan umum, terutama dari sisi rekrutmen, setidaknya terdapat dua
hal yang harus diperhatikan, yaitu penguatan proses seleksi dan
penguatan sistem yang mendukung seleksi. Bertolak dari pertimbangan
tersebut, menurut Mahkamah, Undang-Undang harus membangun sistem
rekrutmen yang menuju pada upaya memandirikan komisi pemilihan umum.
Sistem rekrutmen ini haruslah meminimalkan komposisi keanggotaan dalam
komisi pemilihan umum yang memiliki potensi keberpihakan.
Karena peserta Pemilu adalah parpol,
maka UU harus membatasi atau melepaskan hak parpol peserta pemilu untuk
sekaligus bertindak sebagai penyelenggara Pemilu. Parpol dimaksud
meliputi anggota parpol yang masih aktif atau mantan anggota parpol yang
masih memiliki keberpihakan kepada parpol asalnya, atau masih memiliki
pengaruh dalam penentuan kebijakan parpol dimaksud.
Pelepasan hak anggota parpol untuk
menjadi anggota komisi pemilihan umum bukan sesuatu hal yang
bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia, karena justru hal
tersebut diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan umum, yang
artinya memenuhi/melindungi hak-hak peserta lain dalam pemilihan umum;
Dari kedua perspektif di atas, baik yang
berorientasi pada tujuan (teleologis) maupun yang berorientasi pada
proses/cara (deontologis), kata “mandiri” yang tercantum dalam Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945 dalam kaitannya dengan rekrutmen atau pendaftaran
calon anggota KPU dan Bawaslu, haruslah dihindari penerimaan calon
anggota komisi pemilihan umum yang berasal dari unsur parpol. (Nur
Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar