Undang-Undang Intelijen Negara (UU Nomor 17 Tahun
2011) yang disahkan oleh DPR pada Oktober 2011 lalu, menyisakan berbagai
permasalahan substansial. UU yang seharusnya menjadi panduan bagi reformasi
intelijen Indonesia di era demokrasi ini, justru tidak sejalan dengan dengan
hak asasi manusia (HAM). Sebab, beberapa pasal dalam UU Intelijen Negara
menjadi ancaman bagi jaminan kebebasan sipil, perlindungan hak asasi manusia,
dan kebebasan pers.
Demikian pokok permohonan perkara Nomor 7/PUU-X/2012
yang disampaikan oleh Taufik Basari, kuasa para Pemohon, dalam persidangan di
Mahkamah Konstitusi, Jumat, (27/1/2012). Uji konstitusionalitas materi UU
Intelijen Negara ini diajukan oleh Perkumpulan Inisiatif Masyarakat
Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL); Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM); Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI);
Perkumpulan Masyarakat Setara; Aliansi Jurnaslis Independen; Mugiyanto., dkk.
Materi UU Intelijen Negara yang diujikan yaitu Pasal
1 ayat (4), ayat (8), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3), Pasal 9 huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, Pasal 22 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), ayat (4), Pasal 26,
Pasal 29 huruf d, Penjelasan Pasal 29 huruf d, Pasal 31, Penjelasan Pasal 32
ayat (1), Pasal 34, Penjelasan Pasal 34 ayat (1), Pasal 36, Pasal 44 dan Pasal
45.
Menurut Taufik, Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “dan/atau Pihak Lawan
yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional” bertentangan dengan Pasal 1
ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Frasa tersebut melahirkan sejumlah
definisi mengenai ancaman, keamanan, kepentingan nasional, dan pihak lawan,
sehingga mudah potensial disalahgunakan oleh intelijen negara maupun
kepentingan kekuasaan untuk melakukan tindakan represif terhadap warga negara.
Pengertian
rahasia intelijen yang dikonstruksikan dalam Pasal 1 ayat (6), Pasal 25 ayat (2) dan ayat (4) menjadi hambatan bagi warga negara untuk mendapatkan
informasi. Pasal-pasal ini bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.
Pasal
22 ayat (1) UU Intelijen Negara, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Sebab, ketentuan dalam pasal ini potensial melahirkan dualisme dualisme
personil intelijen. Hal ini sangat menyulitkan proses hukum sebagai bentuk
pertanggungjawaban bagi personil intelijen yang dianggap melakukan pelanggaran
HAM.
Ancaman serius terhadap warga negara juga didalilkan
para Pemohon akibat berlakunya Pasal 26, Pasal 44 dan Pasal 45. Menurut para
Pemohon, orang yang dianggap melakukan pembocoran rahasia intelijen, baik
sengaja maupun tidak sengaja, diancam hukuman pidana berat.
Ketentuan Pasal 29 huruf d, Penjelasan Pasal 29
huruf d, menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (4) dan Pasal
28E ayat (1) serta Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Kemudian Pasal 31 jo, Pasal
34 jo, Penjelasan Pasal 34 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Kemudian ketentuan mengenai penyadapan yang
tertuang dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) menurut para Pemohon, harus
diakitkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang
penyadapan.
Terakhir, ketentuan Pasal 36 mengenai pengangkatan
dan pemberhentian Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang terlebih dahulu
harus mendapat persetujuan DPR. Hal ini menurut para Pemohon, menjadikan jabatan
Kepala BIN adalah jabatan politis. Pelibatan DPR dalam pemilihan Kepala BIN
membuka ruang terjadinya politisasi yang dapat merugikan keamanan secara
nasional dan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional warga negara.
Sidang
panel dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dilaksanakan oleh tiga hakim
konstitusi yaitu M. Akil Mochtar (ketua panel), Harjono dan Ahmad Fadlil
Sumadi. Dalam nasehatanya, panel hakim menyarankan Pemohon agar merekonstruksi
permohonan sehingga menjadi lebih sistematis. (Nur Rosihin Ana).