Jakarta,
MKOnline - Pensyaratan pencatatan perkawinan merupakan pengekangan
terhadap kebebasan berkehendak sekaligus bentuk diskriminasi. Anak yang
dilahirkan dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan, dianggap
sebagai anak di luar nikah.
Demikian
dikatakan kuasa Pemohon uji materi UU Perkawinan dalam persidangan di
Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, (1/12/2010). Permohonan ini diajukan
oleh Hj. Aisyah Mochtar, atau yang lebih akrab disapa Machica Mochtar.
Sebagaimana
dalam sidang pendahuluan (26/7/2010) lalu, Machica mengujikan Pasal 2
Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU 1/1974). Pasal 2 Ayat (2) UU 1/1974 menyatakan,
"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku." Kemudian Pasal 43 ayat (1) berbunyi, "Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya."
Machica
dirugikan karena ketentuan pasal dalam UU Perkawinan tersebut
menyebabkan anak Machica tidak bisa mencantumkan nama ayahnya dalam akta
kelahiran. Menurutnya, Pasal 2 Ayat (2) UU 1/1974 bertentangan dengan
Pasal 28B Ayat (1), Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pasal
28B Ayat (1) menyatakan, "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah." Pasal 28B Ayat (2),
"Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Terakhir, Pasal 28D Ayat (1) menyatakan, "Setiap orang berhak atas
pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum."
Sidang
dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan perkara nomor
46/PUU-VIII/2010 ini dilaksanakan Panel Hakim, Maria Farida Indrati
sebagai Ketua Panel, didampingi dua Anggota Panel, Harjono, dan Ahmad
Fadil Sumadi.
Pemohon
memasukkan perbaikan permohonan dalam poin 10. "Pada intinya bahwa
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 itu, kami berpendapat, terkandung
asas agama, sebagaimana tercermin dalam Pasal 2 ayat (1), yaitu,
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu," kata Miftah, kuasa Pemohon.
Sehingga,
bagi Pemohon yang beragama Islam, lanjut Miftah, tidak dicatatkannya
perkawinan tidak menjadikan sebuah perkawinan menjadi tidak sah. "Sebab
syarat sahnya perkawinan dalam Islam, tidak mensyarakatkan adanya
sebuah pencatatan perkawinan," lanjut kuasa Pemohon.
Kaitannya
dengan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945, kata kuasa Pemohon, adanya
pensyaratan pencatatan perkawinan merupakan pengekangan terhadap
kebebasan berkehendak sekaligus bentuk diskriminasi. "Karena anak yang
dilahirkan (dari sebuah pernikahan yang tidak dicatatkan, pen.),
dianggap sebagai anak di luar nikah," kata kuasa Pemohon mendalilkan.
Melanjutkan
dalilnya berkaitan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, kuasa Pemohon
menyatakan, kepastian hukum yang berkeadilan melarang adanya
diskriminasi. Hal ini sebagaimana terjadi pada anak yang lahir dari
hubungan yang dianggap di luar nikah, anak tersebut hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan keluarga ibunya dan keluarga ibunya. "Ada
diskriminasi di sini, yang dilakukan oleh negara, menyebabkan anak yang
tidak tahu apa-apa, menanggung beban ketidakpastian hukum bagi
dirinya," lanjut kuasa Pemohon. (Nur Rosihin Ana/mh)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar