PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 16 TAHUN 2009
TENTANG
PEDOMAN BERACARA
DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN
PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
b.
bahwa tujuan
penyelenggaraan Pemilu, antara lain, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c.
bahwa Mahkamah
Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
pelaksanaan tugas dan wewenangnya;
d.
bahwa Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu disempurnakan dan
disesuaikan dengan perubahan undang-undang yang mengatur tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
e.
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Mengingat : 1. Pasal 22E ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
3.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4358);
4.
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
5.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4633);
6.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4721);
7.
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4836);
8.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4846);
Memperhatikan
: 1. Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23
Desember 2008 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
2.
Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 32/PUU-VI/2008 bertanggal 24 Februari 2009 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
3. Hasil Rapat Permusyawaratan Hakim pada Rapat Kerja Mahkamah
Konstitusi tanggal 3 sampai dengan 5 Maret 2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG
PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud
dengan:
1.
Pemilihan Umum, selanjutnya
disebut Pemilu, adalah Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2.
Dewan Perwakilan
Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
3.
Dewan Perwakilan
Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia.
4.
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
5.
Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh, selanjutnya disebut DPRA, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di
Aceh.
6.
Dewan Perwakilan
Rakyat Kota/Kabupaten, selanjutnya disebut DPRK, adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota di Aceh.
7.
Komisi Pemilihan
Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
8.
Komisi Independen
Pemilihan, selanjutnya disebut KIP, adalah penyelenggara Pemilu pada provinsi
dan kabupaten/kota di Aceh.
9.
Peserta Pemilu adalah
partai politik untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota dan perseorangan untuk Pemilu Anggota DPD.
10. Partai Politik Lokal adalah organisasi politik yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara
suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota
DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
11. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD, selanjutnya disebut PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, adalah perselisihan
antara peserta Pemilu dan KPU atau KIP sebagai penyelenggara Pemilu mengenai
penetapan secara nasional perolehan suara Pemilu oleh KPU.
12. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.
13. Sidang Pleno adalah sidang untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan.
14. Sidang Panel adalah sidang majelis hakim konstitusi yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk
memeriksa permohonan yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diputus.
15. Panitera adalah panitera pada Mahkamah Konstitusi.
16. Pihak Terkait adalah peserta pemilihan umum selain Pemohon.
17. Turut Termohon adalah KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
atau KIP Provinsi dan KIP Kabupaten/Kota di Aceh.
18. Buku Registrasi Perkara Konstitusi, selanjutnya disebut BRPK,
adalah buku untuk mencatat permohonan yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
19. Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim
sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan
dipertimbangkan dalam putusan akhir.
20. Mahkamah adalah
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Pasal 2
(1)
PHPU Anggota DPR,
DPD, dan DPRD diperiksa dan diputus secara cepat dan sederhana.
(2) Putusan PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana
diatur pada ayat (1) merupakan putusan pada tingkat pertama dan terakhir yang
bersifat final dan mengikat.
BAB II
PARA PIHAK DAN OBJEK PERSELISIHAN
Pasal 3
(1)
Para pihak yang
mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah:
a.
perorangan warga
negara Indonesia calon anggota DPD peserta Pemilu sebagai Pemohon;
b.
partai politik
peserta Pemilu sebagai Pemohon;
c.
partai politik
dan partai politik lokal peserta Pemilu anggota DPRA dan DPRK di Aceh sebagai
Pemohon;
d.
KPU sebagai
Termohon.
(2) Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon
anggota DPRD provinsi dan/atau DPRA, KPU provinsi dan/atau KIP Aceh menjadi
Turut Termohon.
(3) Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon
anggota DPRD kabupaten/kota dan/atau DPRK di Aceh, KPU kabupaten/kota dan/atau
KIP kabupaten/kota di Aceh menjadi Turut Termohon.
(4) Peserta Pemilu selain Pemohon yang berkepentingan
terhadap permohonan yang diajukan Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait.
(5) Pemohon, Termohon, Turut Termohon, dan Pihak Terkait
dapat diwakili oleh kuasa hukumnya masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus
dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan yang dibuat
khusus untuk itu.
Pasal 4
Keberadaan Pihak Terkait dalam perkara PHPU ditetapkan
oleh Mahkamah.
Pasal 5
Objek PHPU adalah penetapan
perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang
mempengaruhi:
a.
terpenuhinya
ambang batas perolehan suara 2,5% (dua koma lima perseratus) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
b.
perolehan kursi
partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan;
c.
perolehan kursi
partai politik dan partai politik lokal peserta Pemilu di Aceh;
d.
terpilihnya calon
anggota DPD.
BAB III
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
Pasal 6
(1)
Permohonan
pembatalan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU
hanya dapat diajukan oleh peserta Pemilu dalam jangka waktu paling lambat 3 x
24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan
suara hasil Pemilu secara nasional.
(2) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas)
rangkap setelah ditandatangani oleh:
a. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan
pusat atau nama yang sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau
kuasanya;
b. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan
atau nama yang sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya; atau
c. calon anggota DPD peserta Pemilu atau kuasanya.
(3) Permohonan yang diajukan calon anggota DPD
dan/atau partai politik lokal peserta Pemilu DPRA dan DPRK di Aceh dapat dilakukan
melalui permohonan online, surat elektronik, atau
faksimili, dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sudah harus diterima oleh Mahkamah dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak berakhirnya tenggang waktu sebagaimana
diatur pada ayat (1).
(4) Permohonan sekurang-kurangnya memuat:
a. nama dan alamat pemohon, nomor telepon
(kantor, rumah, telepon seluler), nomor faksimili, dan/atau surat elektronik;
b. uraian yang jelas tentang:
1. kesalahan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon;
2. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan
suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar menurut Pemohon.
(5) Permohonan yang
diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.
BAB IV
REGISTRASI
PERKARA DAN PENJADWALAN SIDANG
Pasal 7
(1)
Permohonan yang diterima
Mahkamah diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera.
(2)
Permohonan yang
sudah lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam BRPK, sedangkan permohonan
yang tidak lengkap dan tidak memenuhi syarat diberitahukan kepada Pemohon untuk
diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 (satu
kali dua puluh empat) jam.
(3)
Panitera
mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat dalam BRPK kepada KPU dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK
disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan
suara yang diperselisihkan.
(4)
Jawaban tertulis
KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sudah diterima Mahkamah paling
lambat satu hari sebelum hari persidangan.
(5)
Mahkamah
menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.
(6)
Penetapan hari
sidang pertama diberitahukan kepada Pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari
sebelum hari persidangan.
BAB V
PEMERIKSAAN
PERMOHONAN
Bagian
Pertama
Pemeriksaan
Pendahuluan
Pasal 8
(1)
Pemeriksaan
Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang
sekurang-kurangnya dihadiri 3 (tiga) orang hakim.
(2)
Dalam Pemeriksaan
Pendahuluan, Panel Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 serta memberi nasihat kepada Pemohon untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan.
(3)
Pemohon wajib
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dalam jangka waktu paling lambat 1
x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Bagian
Kedua
Pemeriksaan
Persidangan
Pasal 9
(1)
Pemeriksaan
Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim dan/atau
Pleno Hakim.
(2)
Pemeriksaan
Persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan segera setelah
selesainya pemeriksaan pendahuluan.
(3)
Proses
pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a.
jawaban Termohon;
b.
keterangan Pihak
Terkait;
c.
pembuktian oleh
Pemohon, Termohon, Turut Termohon, Pihak Terkait; dan
d.
kesimpulan.
(4) Untuk kepentingan pembuktian Mahkamah dapat memanggil KPU
provinsi dan/atau KIP Aceh, KPU kabupaten/kota dan/atau KIP kabupaten/kota
tertentu untuk hadir dan memberi keterangan dalam persidangan.
(5) Apabila dipandang perlu, Mahkamah dapat menetapkan putusan
sela sebelum putusan akhir.
Bagian
Ketiga
Alat
Bukti
Pasal 10
(1) Alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu
terdiri atas:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
(2)
Informasi
Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (e-mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
(3)
Dokumen
Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 11
(1)
Alat bukti surat
atau tulisan terdiri atas:
a.
berita acara dan
salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai politik peserta Pemilu dan
calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di Tempat Pemungutan Suara (TPS);
b.
berita acara dan
salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta Pemilu dan calon
anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
c.
berita acara dan
salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai politik peserta Pemilu dan
calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU kabupaten/kota;
d.
berita acara dan
salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD kabupaten/kota;
e.
berita acara dan
salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU provinsi;
f.
berita acara dan
salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD provinsi;
g.
berita acara dan
salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU;
h.
berita acara dan
salinan penetapan hasil penghitungan suara secara nasional anggota DPR, DPD,
dan DPRD dari KPU;
i.
salinan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mempengaruhi
perolehan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan
j.
dokumen tertulis
lainnya.
(2) Bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilu
yang dimohonkan ke Mahkamah.
(3) Bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang aslinya dibubuhi materai
secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 12
(1)
Saksi dalam
perselisihan hasil Pemilu terdiri atas:
a.
saksi resmi
peserta Pemilu; dan
b.
saksi pemantau Pemilu
yang bersertifikat.
(2) Mahkamah karena kewenangannya dapat memanggil saksi lain untuk
hadir dalam persidangan dan didengar keterangannya.
(3) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
adalah saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses
penghitungan suara yang diperselisihkan.
Pasal 13
Sebelum
memberikan keterangan dalam persidangan, saksi dan/atau ahli diambil sumpah
atau janji sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut dengan didampingi
rohaniwan yang dipandu oleh hakim.
BAB VI
RAPAT
PERMUSYAWARATAN HAKIM
Pasal 14
(1)
Rapat
Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah Pemeriksaan
Persidangan dipandang cukup.
(2) Rapat Permusyawaratan Hakim sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara tertutup
oleh Pleno Hakim Konstitusi yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
orang hakim konstitusi setelah Rapat Panel Hakim.
(3) Pengambilan keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim
dilakukan secara musyawarah mufakat setelah mendengarkan pendapat hukum para Hakim
Konstitusi.
(4) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak tercapai mufakat bulat maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan
suara terbanyak.
(5) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak dapat diambil dengan suara terbanyak maka suara terakhir Ketua Rapat Permusyawaratan
Hakim menentukan.
BAB VII
PUTUSAN
Pasal 15
(1)
Putusan Mahkamah
dijatuhkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat
dalam BRPK.
(2) Putusan Mahkamah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang
dihadiri sekurang-kurangnya oleh 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi.
(3) Amar Putusan Mahkamah dapat menyatakan:
a. Permohonan tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau Pasal 5 dan/atau
Pasal 6 ayat (1) Peraturan ini;
b. Permohonan dikabulkan apabila terbukti beralasan dan
selanjutnya Mahkamah membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU, serta
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar; dan/atau
c. Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak
beralasan.
(4) Salinan Putusan Mahkamah disampaikan kepada Pemohon, KPU,
Presiden, dan Pihak Terkait.
(5) KPU, KPU provinsi atau KIP dan KPU kabupaten/kota wajib
menindaklanjuti Putusan Mahkamah.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 16
Hal-hal
yang belum diatur dalam Peraturan ini ditentukan lebih lanjut oleh Rapat
Permusyawaratan Hakim Mahkamah.
BAB IX
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 17
(1)
Dengan berlakunya
Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Maret 2009
KETUA,
MOH. MAHFUD MD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar