Jakarta,
MKOnline - Sidang lanjutan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) kembali digelar Mahkamah
Konstitusi (MK), Rabu (1/12), di Gedung MK. Kepaniteraan MK meregistrasi
perkara dengan Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang dimohonkan oleh Mantan
Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra.
Dalam
sidang perbaikan permohonan tersebut, Yusril telah memperbaiki
beberapa bagian dalam permohonannya sesuai dengan saran Majelis Hakim
Panel. "Sesuai saran-saran dalam sidang pendahuluan yang pertama, saya
telah mempersingkat permohonan ini dengan memperkecil cakupan beberapa
pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji. Saya hanya mengajukan dua
pasal dalam UUD 1945 untuk menjadi batu uji, yakni ketentuan Pasal 1
ayat (3) tentang asas negara hukum dan ketentuan Pasal 28D ayat (1)
yang menegaskan tentang keadilan dan kepastian hukum," jelasnya.
Yusril
juga menjelaskan telah mengelaborasi lebih dalam hal-hal yang
terkandung norma UUD 1945 tersebut. Menurut Yusril, dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, negara harus mengakui due process of law.
"Ketentuan tentang prosedur tidak boleh bersifat arbitrer atau menurut
selera penyelenggara kekuasaan negara. Hukum harus bersifat adil dan
pasti karena jika terjadi ketidakadilan serta ketidakpastian dalam due
process of law, maka dapat mengakibatkan pelanggaran HAM serius yang
dapat menyebabkan seseorang terkena pidana penjara, kehilangan
kemerdekaan, kehilangan hak milik serta kehilangan nyawa," papar Yusril.
Ketentuan
tersebut, lanjut Yusril, dapat menyebabkan seseorang yang dituntut di
pengadilan atau diperiksa sebagai tersangka di hadapan penyidik tidak
berhak menghadirkan saksi-saksi alibi yang sebenarnya dapat membebaskan
orang tersebut dari dakwaan pengadilan."Hal seperti inilah yang terjadi
di dalam praktik karena ada penafsiran berbeda terhadap Pasal 1 angka
26 dan 27, Pasal 116 ayat (3) dan (4) serta Pasal 184 ayat (1) huruf a.
Seorang yang diperiksa diperlakukan dengan adil menjadi hilang
kepastiannya karena penyidik dapat mengabaikan seseorang yang diperiksa
yang seharusnya diperiksa secara adil dan seimbang. Hilangnya keadilan
dan keseimbangannya, karena penyidik dapat mengabaikan seseorang yang
diminta tersangka untuk dihadirkan. Oleh karena itu, Pemohon meminta
agar MK memberikan satu penafsiran mengenai ketidakjelasan pasal a quo,”
ujarnya.
Yusril
juga mengemukakan bahwa KUHAP tidak memberikan ketentuan saksi yang
memberatkan dan meringankan. KUHAP juga, lanjut yusril, tidak memberikan
definisi saksi. Hal ini, menurut Yusril, berakibat fatal dalam proses
hukum pidana. “Menurut saya, seharusnya kevakuman hukum ini diisi oleh
DPR, Presiden, untuk mendefiniskan saksi yang memberatkan atau saksi
yang meringankan dalam KUHAP. Namun, mengingat proses ini akan
berlangsung lama, dan tergantung pda kemauan DPR dan presiden untuk
melakukan amendemen KUHAP, maka sudah saatnya lah demi mengisi
kekosongan hukum sementara waktu MK dapat memberikan satu penafsiran
mengenai definisi saksi dan keterangan saksi,” jelasnya.
Dalam
sidang tersebut, Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hakim
Konstitusi Harjono mengesahkan 24 alat bukti dengan tambahan dua
keterangan tertulis dari saksi yang diajukan Pemohon, yakni Jusuf Kalla
dan Kwik Kian Gie. Sidang selanjutnya mendengarkan jawaban Pemerintah,
DPR dan mendengarkan keterangan Ahli.
Yusril
dalam perkara ini mempersoalkan pasal-pasal yang menghambat dirinya
untuk mengajukan empat saksi yang menguntungkan dan dinilai mengetahui
perkaranya. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai definisi saksi dan
keterangan saksi dalam ketentuan KUHAP. (Lulu Anjarsari/mh)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar