Kamis, 22 April 2010

PK Tak Menangguhkan Eksekusi Diuji di MK


(KI-KA) Hakim Maria Farida Indrati, Hakim H.M Akil Mochtar, dan Hakim Arsyad Sanusi sedang memeriksa Permohonan Pengujian UU Hukum Acara Pidana. Terlihat Ketua Majelis Hakim Panel (tengah) memberikan nasihat kepada Pemohon (Yusri Ardisoma) setelah membaca pokok-pokok Permohonan , Rabu (21/04) di Ruang Sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Rabu (21/4) di ruang pleno lt. II gedung MK. Persidangan perkara No.22/PUU-VIII/2010 ini dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang diajukan Yusri Ardisoma bin Urdiman.a
Pemohon tanpa didampingi kuasa hukum ini mendalilkan Pasal 268 ayat (1) dan penjelasan Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945.
Mantan kepala desa yang tersandung kasus korupsi kredit usaha tani (KUT) ini menganggap Pasal 268 ayat (1) yang berbunyi, "Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.." merugikan Pemohon, karena tidak menjamin kepastian hukum yang adil, diskriminatif serta melanggar hak asasi manusia. "Saya sebagai terdakwa, ada penangguhan penahanan, trus banding, sekarang sedang kasasi, tapi kasasinya belum turun," kata Pemohon.
Dalam tuntutannya (petitum), Yusri meminta Mahkamah agar menerima dan mengabulkan permohonannya. Di samping itu, juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 268 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 268 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan  hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Menanggapi permohonan, Panel Hakim yang memeriksa perkara ini, H.M. Akil Mochtar sebagai Ketua dan dua anggota Maria Farida Indrati dan Arsyad Sanusi menganggap kewenangan Mahkamah dalam permohonan sudah memenuhi syarat, termasuk kedudukan hukum Pemohon (legal standing), yaitu perorangan warga negara Indonesia. Sedangkan mengenai kerugian konstitusional, Akil mempertanyakan. "Kerugian Saudara adalah karena dengan pengajuan PK itu, hak Saudara menjadi dirugikan karena Saudara pernah ditahan, kemudian ditangguhkan, dan sekarang perkaranya dalam proses kasasi," jelas Akil.
Akil menilai belum ada kerugian konstitusional yang diderita Pemohon dengan berlakunya Pasal yang diujikan. "Apabila pasal ini dinyatakan tidak mempunyi kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah, maka apakah saudara tidak bisa dieksekusi karena Saudara mengajukan PK?" kata Akil.
Sementara itu, Anggota Panel Maria Farida Indrati menanyakan mengenai kepastian hukum yang dimaksudkan Pemohon. Lebih lanjut Maria menjelaskan, yang dimaksud kepastian hukum berarti upaya hukum sudah tertutup. "Kepastian hukum ini yang harus dijelaskan," papar Maria. Menurut Maria, PK itu diajukan jika ada ada alat bukti baru (novum). "Apakah Bapak punya bukti baru yang diajukan untuk PK ini?" tanya Maria. Permintaan PK juga tidak dibatasi dengan jangka waktu tertentu. "Jadi, kapan pun bisa," tandas Maria.
Sementara itu Anggota Panel Arsyad Sanusi menelusuri kasus pidana yang menimpa Yusri. Yusri divonis satu tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. "Dulu waktu putusan pengadilan negeri, Saudara didakwa melakukan korupsi?" tanya Arsyad. "Ya," jawab Yusri singkat. "Setelah itu dihukum," lanjut Arsyad. "Dihukum satu tahun," jawab Yusri. Tidak puas dengan putusan PN, Yusri menyatakan Banding. Tapi putusan Banding justru menguatkan putusan sebelumnya. Setelah itu dia menyatakan Kasasi pada 2007. Yusri mengaku menjalani hukuman selama 4 bulan, kemudian memohon penangguhan penahanan.
Arsyad kemudian mengorek keterangan mengenai kasasi yang diajukan Yusri. "Kalau kasasi diajukan 2007, pasti sudah ada putusannya itu," selidik Arsyad. Yusri akhirnya mengakui kasasinya ditolak. Menurut Arsyad, hal inilah yang mendasari permohonan, bahwa PK sebagai upaya hukum luar biasa itu tidak menangguhkan eksekusi. Tatkala putusan kasasi turun, eksekutornya jaksa, sekalipun mengajukan PK. Arsyad kemudian menanyakan kerugian konstitusional Pemohon. "Apanya yang melanggar undang-undang dasar, sedangkan proses Saudara itu masih berlangsung," tanya Arsyad.   
Di akhir persidangan pemeriksaan pendahuluan, Ketua Majelis Hakim Panel Akil Mochtar memberi kesempatan Yusri untuk memperbaiki permohonan paling lambat 14 hari. (Nur Rosihin Ana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More