Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 145/PUU-VII/2009
Pemohon:
Sri Gayatri, Adhie M. Massardi, Agus Wahid, Agus Joko Pramono, Halim Dat
Kui, M. Hatta Taliwang.
Pokok Perkara:
Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU 6/2009) dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (Perpu 4/2008).
Norma yang diuji:
Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5)
UU 6/2009, serta Perpu 4/2008
Norma UUD 1945 sebagai
penguji:
Pasal 1 Ayat (3), Pasal 23 Ayat
(1), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat
(2), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Amar Putusan:
Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan:
20 April 2010
Sri Gayatri dkk. adalah nasabah Bank Century (BC) yang
menyimpan uang di BC dalam bentuk deposito. Oleh pengelola dan/atau atas
perintah dari pihak yang terafiliasi dengan BC, deposito tersebut dialihkan ke
dalam bentuk Discretionary Fund PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia
(ADS) yang nota bene adalah pemilik saham BC.
Pengalihan simpanan deposito
tersebut dilakukan oleh pegawai dan/atau direksi BC, dan diproses di kantor BC.
Mereka meyakinkan bahwa Discretionary Fund tersebut merupakan produk BC.
Hal ini diperkuat dengan putusan Pengadilan Arbitrase Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) Yogyakarta, yang menyatakan bahwa Bank Mutiara (semula
Bank Century) bersalah dan harus mengembalikan uang konsumen nasabah BC
dan/atau PT ADS.
Namun setelah BC diambil alih
dan menerima bailout dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdasarkan Perpu
4/2008, BC tidak pernah memenuhi kewajibannya kepada nasabah, termasuk Sri
Gayatri. Padahal BC sudah mendapat bailout sebesar Rp 6,7 triliun. Padahal,
Pemohon sebagai nasabah pada Bank yang mengikuti program penjaminan simpanan
nasabah bank oleh LPS, baik secara langsung maupun tidak langsung Pemohon ikut
membayar premi penjaminan simpanan nasabah di LPS.
Implikasi dari Perpu 4/2008
yang diberlakukan terhadap BC, selanjutnya BC berganti pemegang saham, berganti
direksi, dan berganti nama menjadi Bank Mutiara. Namun pergantian-pergantian
tersebut justru mengaburkan dan menghilangkan hak-hak Sri Gayatri sebagai
nasabah BC sehingga berpotensi menderita kerugian Rp. 69.000.000.000,- (enam
puluh sembilan miliar rupiah).
Dalil Permohonan
Pemohon mendalilkan, berlakunya
UU 6/2009 juncto UU 3/2004, khususnya Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5),
yang selanjutnya oleh Pemerintah (Presiden) digunakan sebagai dasar untuk
menerbitkan Perpu 4/2008, menyebabkan hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar
dan dirugikan sebagaimana telah dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat
(1) Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2).
Pasal 11 ayat (4) dan ayat
(5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004, berbunyi: ayat (4) “Dalam hal suatu
Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi
mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat
memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban
Pemerintah”.
Kemudian ayat (5) “Ketentuan
dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang
berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat dan sumber pendanaan
yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam
Undang-Undang tersendiri”;
Pemerintah menerbitkan Perpu
4/2008 pada tanggal 15 Oktober 2008 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk mengantisipasi kemungkinan situasi krisis keuangan yang
berdampak sistemik dan mengantisipasi krisis keuangan global. Namun faktanya
justru dengan keluarnya Perpu ini telah berdampak luas dan merugikan
kepentingan para Pemohon, karena justru uang simpanan Sri Gayatri tidak dibayar
oleh BC (Bank Mutiara).
Dalam Sidang Paripurna DPR RI
pada tanggal 18 Desember 2008, DPR RI telah membuat keputusan bahwa Perpu
4/2008 tidak diterima. Dengan demikian, maka Perpu 4/2008 telah terbukti
ditolak dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dicabut.
Namun faktanya, Pemerintah tetap menganggap Perpu 4/2008 tidak atau belum
pernah ditolak oleh DPR RI, dengan alasan bahwa DPR RI tidak secara nyata
menyatakan menolak, karena sebagian fraksi ada yang menyatakan menolak, sebagian
yang lain menyatakan menerima, bahkan ada fraksi yang menyatakan belum
menerima.
Menurut Pemohon, norma Pasal
29 Perpu 4/2008 dapat mempersulit kontrol publik dan cenderung mengarah kepada
penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan sempit, dan berpotensi merugikan
para Pemohon, sehingga para perumus Perpu ini yakni Gubernur Bank Indonesia
(BI), Menteri Keuangan, dan Presiden harus bertanggung jawab secara hukum.
Keberadaan Pasal 29 Perpu 4/2008
telah memberikan kewenangan berlebihan, karena akan melindungi para pembuat dan
pengambil kebijakan (Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia) dari jeratan
hukum, sehingga mengandung cacat konstitusional. Hal ini terbukti dengan telah
dikucurkannya dana talangan (bailout) kepada BC yang semestinya tidak
layak menerima. Hal mana kebijakan bailout tersebut telah merugikan
hak-hak konstitusional dan kepentingan para Pemohon;
Selain itu, dalam Pasal 5
Perpu 4/2008 juga diatur mengenai pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua
merangkap anggota dan Gubernur BI sebagai Anggota. Hal ini tentu dapat
mengaburkan independensi BI, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU
3/2004 yang menyebutkan bahwa ”Bank Indonesia adalah lembaga negara yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam Undang-undang ini”.
Legal Standing tidak
Terpenuhi
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal
11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004 dan Perpu 4/2008,
khususnya dalam Pasal 29 yang memberikan kekebalan hukum (imunitas) terhadap KSSK
yaitu Menteri Keuangan dan Gubernur BI atas tindakannya membuat keputusan atau
kebijakan penyelamatan perbankan, sama sekali tidak berkaitan dengan hak
konstitusional para Pemohon yang termaktub dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah
berpendapat, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal
verband) antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya Pasal 11 ayat
(4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004 dan Pasal 29 Perpu 4/2008
yang dimohonkan pengujian.
Selain itu, menurut Mahkamah,
tidak terdapat jaminan dengan dikabulkannya permohonan a quo, kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan oleh para Pemohon tidak akan atau tidak
lagi terjadi.
Sehingga Mahkamah
berpendapat, para Pemohon tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal
standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Nomor
006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007
bertanggal 20 September 2007, untuk mengajukan permohonan, sehingga
pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan.
Dalam putusannya Majelis Hakim Konstitusi menyatakan permohonan para
Pemohon tidak dapat diterima. Sidang Pleno Pengucapan Putusan perkara Nomor
145/PUU-VII/2009 ini dilakukan oleh Hakim Konstitusi yang terdiri Moh. Mahfud
MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria
Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, M. Arsyad Sanusi, Ahmad Fadlil Sumadi,
dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar