Tujuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan empat perorangan warga negara indonesia, pada 28 Oktober 2009 mendaftarkan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengujikan konstitusionalitas materi UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ketujuh badan hukum privat dimaksud yaitu: Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sedangkan bertindak sebagai Pemohon perorangan, yaitu mantan Presiden (alm.) K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan K.H. Maman Imanul Haq.
Materi UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diujikan yaitu Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4a. Menurut para Pemohon, materi pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 29 ayat (2). Dalam amar putusan yang dibacakan pada Senin (19/04/2010), Mahkamah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurunkan UU yang mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan mengajarkan agama sebagai suatu mata pelajaran, sesuai dengan agama masing-masing. Mengajarkan agama berarti mengajarkan kebenaran keyakinan agama kepada peserta didik, yaitu siswa dan mahasiswa. Praktik demikian pada kenyataannya telah berlangsung lama dan tidak dipersoalkan legalitasnya. Oleh karenanya, domain keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah domain forum internum yang merupakan konsekuensi penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Setiap propaganda yang semakin menjauhkan warga negara dari Pancasila tidak dapat diterima oleh warga negara yang baik.
Dalam pendapatnya, Mahkamah menyatakan, atas nama kebebasan, seseorang atau kelompok tidak dapat dapat mengikis religiusitas masyarakat yang telah diwarisi sebagai nilai-nilai yang menjiwai berbagai ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Pasal-pasal penodaan agama tidak semata-mata dilihat dari aspek yuridis saja melainkan juga aspek filosofisnya yang menempatkan kebebasan beragama dalam perspektif keindonesiaan, sehingga praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia. Terlebih lagi, aspek preventif dari suatu negara menjadi pertimbangan utama dalam suatu masyarakat yang heterogen.
Dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepada setiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang. Jadi pembatasan kebebasan itu sah asalkan melalui perundang-undangan dan itu juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Alasan dan Pendapat berbeda
Dalam pembacaan putusan ini, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Harjono dan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Harjono dalam alasannya menyatakan bahwa bahwa meskipun UUD 1945 menyatakan hak beragama sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable right) namun kebebasan untuk memanifestasikan kepercayaan atau agama dapat dibatasi yaitu hanya dengan UU yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban, keselamatan atau moral dan untuk melindungi hak-hak fundamental dan kebebasan orang lain (vide Declaration on the Elimination of All of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief Article).
Hakim Konstitusi Maria Farida dalam pendapatnya menyatakan Berdasarkan pasal 38E, 28I, dan 29 UUD 1945, sebenarnya UUD 1945 saat ini sangat memberikan hak dan jaminan secara konstitusional, bahkan memberikan kepada setiap orang kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Hak dan jaminan konstitusional itu dijamin pula dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, 1/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan juga 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Secara yuridis jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam rezim hukum di Indonesia dinyatakan dengan landasan yang sangat kuat, sehingga dengan demikian negara Republik Indonesia juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban konstitusional untuk menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut, khususnya hak setiap orang terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar