Jakarta,
MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya menyatakan
permohonan tidak dapat diterima atas uji materi Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang, dan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan (JPSK), Selasa (20/4/2010), di ruang pleno gedung MK.
Para Pemohon, Sri Gayatri (korban dari bailout
Bank Century) dan pemohon lainnya sebagai warga negara dirugikan hak
konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU
6/2009, serta Perpu 4/2008 karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G
ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Dalam Pasal 11 ayat (4) dinyatakan, “Dalam
hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik
dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan,
Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang
pendanaannya menjadi beban Pemerintah”. Kemudian ayat (5)
menyatakan,“Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai
kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas
pembiayaan darurat dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam Undang-Undang tersendiri”
Berwenang Adili Perpu
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Mahkamah berpendapat, "Terhadap permohonan pengujian Undang-Undang in casu UU 6/2009, sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo," kata Akil di depan persidangan.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Mahkamah berpendapat, "Terhadap permohonan pengujian Undang-Undang in casu UU 6/2009, sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo," kata Akil di depan persidangan.
Sedangkan
terhadap permohonan pengujian Perpu in casu Perpu 4/2008, lanjut Akil
Mochtar, Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8
Februari 2010 dalam pertimbangan hukum paragraf [3.13], Pasal 22 ayat
(1) UUD 1945 menyatakan, ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Hak
membuat peraturan sebagai pengganti UU tidak diberikan kepada DPR
karena pembuatan peraturan di DPR memerlukan waktu yang cukup lama,
melalui rapat-rapat di DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR
kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi.
"Pembuatan
Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada
penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara
absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena
sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden
tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga
syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa," kata Akil
Mochtar saat membacakan pertimbangan hukum putusan MK 138/PUU-VII/2009
tanggal 8 Februari 2010.
Adapun ketiga syarat tersebut, lanjut Akil, adalah sebagai berikut, “(i)
adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang
dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau
ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut
tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur
biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan
yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,” tandas Akil.
Karena
yang diujikan oleh para Pemohon adalah Perpu 4/2008 maka pertimbangan
hukum Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Pebruari 2010 di atas,
menurut Mahkamah, mutatis mutandis juga berlaku bagi pengujian Perpu yang diajukan oleh para Pemohon;
Tidak Ada Kerugian Spesifik dan Aktual
Namun berkenaan dengan legal standing (kedudukan hukum), pendapat Mahkamah yang dibacakan bergantian oleh Hakim Konstitusi Harjono dan Maria Farida Indrati menyatakan, kerugian yang didalilkan para Pemohon tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya pasal yang diujikan tersebut.
Namun berkenaan dengan legal standing (kedudukan hukum), pendapat Mahkamah yang dibacakan bergantian oleh Hakim Konstitusi Harjono dan Maria Farida Indrati menyatakan, kerugian yang didalilkan para Pemohon tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya pasal yang diujikan tersebut.
Di
samping itu, tidak terdapat jaminan dengan dikabulkannya permohonan,
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan oleh para Pemohon tidak
akan atau tidak lagi terjadi.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, para Pemohon tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, sehingga menurut Mahkamah, pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan.
Sidang
pengucapan putusan untuk perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 ini dilakukan
oleh Sembilan hakim konstitusi dan dihadiri Pemohon dan kuasanya,
Pemerintah, dan DPR. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar