Sabtu, 20 Februari 2016

Kapasitas dan Kualitas Mufakat Jahat

Pemufakatan jahat hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kapasitas dan kualitas untuk melakukan tindak pidana tertentu. Pengaturan pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor yang merujuk kepada Pasal 88 KUHP menimbulkan multitafsir bagi penegak hukum. Pengertian pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi syarat lex certa, tidak jelas dan membuka potensi terjadinya pelanggaran hak asasi.
Demikian antara lain dalil permohonan pengujian Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945).
Permohonan tersebut diajukan oleh Setya Novanto (Setnov). Melalui surat bertanggal 2 Februari 2016, Setnov melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ainul Syamsu, dkk, mengajukan permohonan tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Setelah permohonan dinilai lengkap, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan ini dengan Nomor Perkara 21/PUU-XIV/2016 pada 17 Februari 2016. Saat mengajukan permohonan ini ke MK, Setnov berstatus sebagai Terperiksa dalam penyelidikan atas “dugaan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia”.

Pasal 88 KUHP

Dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih telah sepakat untuk melakukan kejahatan.
Pasal 15 UU Tipikor
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 sampai dengan Pasal 14.

Kapasitas dan Kualitas
Menurut Setnov, sangat tidak tepat jika ketentuan tentang pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor itu diterapkan kepadanya. Sebab ia maupun Muhammad Riza Chalid bukanlah orang-orang yang berwenang, dan bukan penentu kebijakan pemerintah dalam memperpanjang izin PT Freeport Indonesia. Keduanya bukan pula pejabat PT Freeport Indonesia yang dapat menentukan kebijakan divestasi saham yang dimilikinya.
Menurut Setnov, dirinya dan Muhammad Riza Chalid sama sekali tidak mempunyai kapasitas dan kualitas untuk melakukan pemufakatan jahat berdasarkan Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Berbeda halnya jika pemufakatan jahat itu dilakukan bersama dengan pihak PT Freeport Indonesia yang mempunyai kewenangan dan kebijakan untuk melepas saham yang dimilikinya atau dengan oknum eksekutif yang memiliki kewenangan untuk memperpanjang izin kontrak PT Freeport Indonesia.
Hal tersebut terjadi karena ketidakjelasan pengaturan pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor yang merujuk kepada Pasal 88 KUHP sehingga menimbulkan multitafsir bagi penegak hukum. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menyederhanakan frasa “dua orang atau lebih” hanya pada persoalan kuantitas, yaitu jumlah orang yang bersepakat; bukan pada persoalan kualitas, yaitu apakah sejumlah orang itu memiliki kualitas dan kapasitas untuk melakukan tindak pidana tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan pemaknaan dan penjelasan lebih lanjut mengenai frasa “permufakatan jahat”. Menurut Setnov, pemufakatan jahat hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kapasitas dan kualitas untuk melakukan tindak pidana tertentu. Simplifikasi kaidah dan norma “pemufakatan jahat” menjadi hanya sekedar dua orang yang berdiskusi dan bercakap tanpa melihat kapasitas dan kualitas orang-orang tersebut untuk melakukan tindak pidana, akan melahirkan konsekuensi praktis yang diwujudkan dalam penegakan hukum yang tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi warga negara yang menjalani proses hukum.

Ambigu dan Multitafsir
Ambiguitas dan multitafsir frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor mendorong terjadinya proses hukum yang merugikan hak-hak konstitusional Setnov. Ketidakpastian hukum dalam pengertian tentang pemufakatan jahat, rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor juga tidak memenuhi syarat lex certa.
Ketidakcermatan perumusan pasal ini terlihat dalam frasa “tindak pidana korupsi” yang tidak menyebutkan jenis-jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud. Hal ini pada akhirnya tidak memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana yang dialami Setnov (Pemohon). Dalam beberapa surat panggilan yang dikirimkan oleh Direktur Penyelidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, tidak disebutkan bentuk dan pasal dari tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa, tetapi hanya menyebutkan “dugaan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia”.
Di satu sisi, hal ini tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon terkait dengan pasal yang digunakan oleh penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan hukum. Di sisi lain, ketidakcermatan rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan penegak hukum karena sangat dimungkinkan bahwa dugaan-dugaan hanya didasarkan pada penilaian subyektif dan merupakan perbuatan yang tidak pernah dilarang dalam undang-undang.
Sangat dimungkinkan surat panggilan tersebut didasari pemahaman bahwa terhadap orang-orang yang diduga melakukan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi cukup digunakan Pasal 15 UU Tipikor tanpa merujuk kepada tindak pidana pokoknya sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14. Setnov meyakini bahwa tindakan tersebut disebabkan ketidaktegasan dan ketidakcermatan rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor.
Kerugian konstitusional yang potensial terjadi manakala proses hukum tetap dipaksakan dan dijatuhkan pidana berdasarkan aturan pidana yang multitafsir adalah tersendatnya dan berhentinya karir politik Setnov yang telah dibina sejak lama. Keadaan ini dapat menghambat aktivitas politik dan kewajiban serta tugas negara yang diemban Setnov sebagai Anggota DPR RI. Potensi kerugian konstitusional tersebut di atas hanya melengkapi kerugian konstitusional yang telah dan sedang dialami oleh Pemohon, yaitu tidak terpenuhinya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang disebabkan berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor yang multi tafsir.
Kerugian konstitusional itu tidak akan terjadi lagi jika permohonan ini dikabulkan. Dengan dikabulkannya permohonan ini, maka Direktur Penyelidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan penegak hukum lain tidak akan menerapkan ketentuan Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor secara membabi buta tanpa melihat kapasitas dan kualitas orang tersebut untuk melakukan tindak pidana, terlebih kepada Pemohon.
Dalam asas legalitas terkandung asas lex certa yang mengajarkan bahwa undang-undang harus diatur secara cermat untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dalam penegakan hukumnya. Pengertian pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi syarat lex certa, tidak jelas dan membuka potensi terjadinya pelanggaran hak asasi disebabkan penegakan hukum yang keliru.
Dalam KUHP, tindak pidana pemufakatan jahat diatur dalam Pasal 110 dan Pasal 125 mengatur tentang pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan terhadap keamanan negara berdasarkan Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 dan Pasal 124. Berbagai tindak pidana keamanan negara dalam beberapa pasal tersebut tidak mensyaratkan kualitas dan kualifikasi tertentu bagi subjek deliknya sehingga setiap orang dapat mewujudkan delik tersebut dan dapat pula diterapkan pemufakatan jahat dengan pengertian “dua orang atau lebih yang bersepakat melakukan kejahatan”. Namun persoalannya menjadi berbeda manakala pemufakatan jahat dengan pengertian tersebut diberlakukan terhadap delik-delik yang mensyaratkan kualitas tertentu, seperti pejabat negara atau pegawai negeri sipil yang diatur dalam UU Tipikor. Sebab manakala definisi pemufakatan jahat tidak diubah, maka definisi pemufakatan jahat akan digunakan untuk menjerat siapapun yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana meskipun orang-orang tersebut tidak mempunyai kualitas tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.
Dapat dibayangkan betapa seorang Anggota DPR RI yang merupakan pejabat negara saja dapat mengalami tindakan represif sebagai akibat dari berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor yang sumir, tidak jelas dan tidak memenuhi asas lex certa. Apalagi terhadap warga negara biasa yang bukan pejabat negara yang lebih rentan untuk menerima tindakan represif dari negara dengan menggunakan aturan hukum yang sumir, tidak jelas dan tidak memenuhi asas lex certa. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negaralah terutama pemerintah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Namun kenyataannya negara belum dapat melaksanaan kewajiban konstitusional dengan baik.
Meskipun pemufakatan jahat ditetapkan sebagai tindak pidana tersendiri, namun secara esensial pemufakatan jahat tidak berdiri sendiri dan tergantung dengan tindak pidana lainnya. Oleh karenanya seharusnya Pasal 15 UU Tipikor menyebutkan jenis-jenis tindak pidana korupsi (strafbaar) sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14. Namun kenyataannya, Pasal 15 UU Tipikor hanya menyebutkan “dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14” yang mengandung pengertian bahwa dalam menjatuhkan pidana, hakim bebas untuk memilih ancaman pidana berdasarkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14 tanpa menyebutkan terhadap tindak pidana apa seseorang dituduh dalam sebuah proses hukum.
Frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor seharusnya menguraikan strafbaar (perbuatan yang dilarang) dalam bentuk kalimat definisional atau dengan merujuk kepada pasal tertentu yang merupakan tindak pidana korupsi. Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 125 KUHP dapat dijadikan contoh dalam merumuskan pemufakatan jahat secara cermat agar tidak melahirkan ketidakpastian hukum. Disebutkan dalam Pasal 110 ayat (1) KUHP bahwa “pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut”. Disebutkan juga dalam Pasal 125 KUHP bahwa “pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, diancam dengan pidana paling lama enam tahun”. Kedua pasal tersebut mengatur pemufakatan jahat terhadap tindak pidana menurut Pasal 104, 106, 107, 108 dan Pasal 125 sebagai perbuatan yang dilarang (strafbaar) sehingga memberikan kepastian hukum bahwa pemufakatan jahat secara limitatif hanya dapat dikaitkan dengan tindak pidana tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan Pasal 15 UU Tipikor yang tidak mengatur strafbaar secara mendetail karena hanya mencantumkan frasa “tindak pidana korupsi”.
Ketidakcermatan dalam Pasal 15 UU Tipikor juga dapat disimpulkan dari dicantumkannya “Pasal 14” sebagaimana frasa “…sampai Pasal 14”, padahal Pasal 14 UU Tipikor tidak mengatur tentang tindak pidana, sehingga tidak dapat disematkan pemufakatan jahat terhadap Pasal 14 dan lagi pula Pasal 14 tidak mencantumkan ancaman pidana. Sejatinya Pasal 14 UU Tipikor mengatur tentang asas kekhususan sistematis (specialiteit systematische) sehingga pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 14 UU Tipikor tidak dimungkinkan.
Ketidaktegasan dan ketidakcermatan rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor berpotensi menghilangkan kepastian hukum, jaminan dan perlindungan hak asasi setiap orang yang terlibat dalam proses hukum dengan dugaan tindak pidana berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor. Sebab, tanpa pengaturan yang tegas dan cermat tentang bentuk-bentuk tindak pidana dalam frasa “tindak pidana korupsi” yang diatur dalam Pasal 15 UU Tipikor, setiap orang yang terlibat proses hukum tidak akan mengetahui tuduhan terhadap dirinya.

Tafsir Ulang
Norma Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan kaidah konstitusi yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, bertentangan dengan kaidah konstitusi yang mengatur tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, Setnov berharap Mahkamah Konstitusi yang dikenal sebagai “the guardian and the final interpreter of constitution” untuk menyatakan bahwa kaidah-kaidah undang-undang yang diatur dalam 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor adalah bertentangan dengan kaidah konstitusi. Mahkamah Konstitusi dapat memberikan penafsiran ulang terhadap Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor sebagaimana pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010.
Dalam petitumnya, Setnov meminta MK menyatakan frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dengan “dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas dan kapasitas untuk melakukan tindak pidana bersepakat melakukan tindak pidana”. Menyatakan Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dengan “setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 3 atau Pasal 5 sampai dengan Pasal 13 diancam dengan pidana yang sama dengan pasal-pasal tersebut”.


Nur Rosihin Ana

Rubrik “Catatan Perkara” Majalah Konstitusi Nomor 108 • Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More