Demokrasi merupakan sistem pemerintahan oleh rakyat dan
untuk rakyat. Sistem ini bertumpu pada daulat rakyat, bukan daulat pemimpin,
daulat pemerintah atau daulat raja. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah
pemilik kedaulatan. Adapun amanat yang diemban oleh para wakil rakyat, presiden
dan pejabat publik lainnya, adalah bersumber dari rakyat. Rakyat memiliki hak
dan kebebasan serta partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini
menempatkan demokrasi sebagai sistem yang dianggap ideal.
Sejatinya demokrasi itu mengacu pada nilai-nilai
Pancasila. Yakni sila keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Proses musyawarah untuk
mencapai mufakat dan sistem perwakilan, merupakan perwujudan demokrasi. Maka
tak heran jika sejak awal kemerdekaan, demokrasi telah diterapkan di Indonesia.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan ajang
kompetisi memperebutkan suara rakyat untuk meraih jabatan kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Sebagai ajang kompetisi, pilkada harus diselenggarakan
oleh lembaga yang kredibel. Penyelenggara harus memiliki integritas,
profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, serta tidak berpihak kepada
salah satu pasangan calon.
Parameter pilkada berkualitas adalah pilkada yang yang
dilaksanakan secara free
and fair. Pelaksanaan pilkada yang tidak free and fair,
sarat dengan berbagai pelanggaran, menunjukkan penyelenggara pilkada tidak
mempunyai integritas, profesionalisme, dan akuntabilatas. Akibatnya, kepala
daerah yang terpilih diragukan legitimasinya. Oleh karena itu, pilkada harus
diemban oleh para penyelenggara pilkada yang mempunyai moral yang kuat dan
bertintegritas. Sebab, penyeleggara pilkada yang tidak mempunyai integritas dan
tidak profesional, sangat berpengaruh terhadap keberadaan sistem demokrasi
kita.
Pilkada secara serentak tahap pertama tahun 2015
dilaksanakan di 268 daerah. Secara umum, pelaksanaan pilkada berjalan dengan
baik, lancar, dan aman. Namun demikian, kontestasi demokrasi lokal ini tak
luput dari sengketa. Sebanyak 151 permohonan perselisihan hasil pemilihan
kepala daerah (PHP Kada) masuk ke MK. Dari 151 perkara tersebut, 5 perkara
diputus pemungutan suara ulang. Mayoritas perkara diputus tidak dapat diterima
(136 perkara), 5 perkara ditarik kembali oleh Pemohon, 3 perkara ditolak, dan 2
perkara masih dalam proses.
Mahkamah memerintahkan pencoblosan ulang di lima
daerah, yaitu Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Memberamo Raya, Kabupaten
Kepulauan Sula, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Muna. Perintah
pemungutan suara ulang dijatuhkan karena adanya pelanggaran-pelanggaran dalam
penyelenggaraan pilkada. Ironisnya, dari lima kabupaten tersebut, tindak
pelanggaran Pilkada di empat kabupaten dilakukan oleh penyelenggara, dalam hal
ini KPU Kabupaten atau jajarannya. Sedangkan satu kabupaten, yaitu Pilkada
Kabupaten Muna, pelanggaran dilakukan oleh dua orang oknum pemilih yang
mencoblos lebih dari satu kali.
Seluruh elemen penyelenggara pilkada harus independen,
menjaga integritas dan mematuhi peraturan perundang-undangan. Tindakan elemen
penyelenggara pilkada di empat daerah tersebut merupakan pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Tindakan tersebut telah mengebiri suara rakyat, mencoreng demokrasi yang
mulai bersemi di negeri ini. Selayaknya ada ada efek jera bagi mereka.
Penyelenggara pilkada yang terbukti melakukan kejahatan demokrasi harus diberi
sanksi.
Demokrasi membutuhkan kejujuran, keterbukaan, persatuan,
dan pengertian demi kesejahteraan seluruh negeri. Penyelenggaraan Pilkada yang
demokratis dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara yang
mempunyai integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas.
Nur Rosihin Ana
Rubrik Editorial Majalah Konstitusi Nomor 109 • Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar