Minggu, 20 Maret 2016

Kejahatan Demokrasi

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem ini bertumpu pada daulat rakyat, bukan daulat pemimpin, daulat pemerintah atau daulat raja. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan. Adapun amanat yang diemban oleh para wakil rakyat, presiden dan pejabat publik lainnya, adalah bersumber dari rakyat. Rakyat memiliki hak dan kebebasan serta partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini menempatkan demokrasi sebagai sistem yang dianggap ideal.
Sejatinya demokrasi itu mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Yakni sila keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Proses musyawarah untuk mencapai mufakat dan sistem perwakilan, merupakan perwujudan demokrasi. Maka tak heran jika sejak awal kemerdekaan, demokrasi telah diterapkan di Indonesia.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan ajang kompetisi memperebutkan suara rakyat untuk meraih jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebagai ajang kompetisi, pilkada harus diselenggarakan oleh lembaga yang kredibel. Penyelenggara harus memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, serta tidak berpihak kepada salah satu pasangan calon.
Parameter pilkada berkualitas adalah pilkada yang yang dilaksanakan secara free and fair. Pelaksanaan pilkada yang tidak free and fair, sarat dengan berbagai pelanggaran, menunjukkan penyelenggara pilkada tidak mempunyai integritas, profesionalisme, dan akuntabilatas. Akibatnya, kepala daerah yang terpilih diragukan legitimasinya. Oleh karena itu, pilkada harus diemban oleh para penyelenggara pilkada yang mempunyai moral yang kuat dan bertintegritas. Sebab, penyeleggara pilkada yang tidak mempunyai integritas dan tidak profesional, sangat berpengaruh terhadap keberadaan sistem demokrasi kita.
Pilkada secara serentak tahap pertama tahun 2015 dilaksanakan di 268 daerah. Secara umum, pelaksanaan pilkada berjalan dengan baik, lancar, dan aman. Namun demikian, kontestasi demokrasi lokal ini tak luput dari sengketa. Sebanyak 151 permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada) masuk ke MK. Dari 151 perkara tersebut, 5 perkara diputus pemungutan suara ulang. Mayoritas perkara diputus tidak dapat diterima (136 perkara), 5 perkara ditarik kembali oleh Pemohon, 3 perkara ditolak, dan 2 perkara masih dalam proses.
Mahkamah memerintahkan pencoblosan ulang di lima daerah, yaitu Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Memberamo Raya, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Muna. Perintah pemungutan suara ulang dijatuhkan karena adanya pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan pilkada. Ironisnya, dari lima kabupaten tersebut, tindak pelanggaran Pilkada di empat kabupaten dilakukan oleh penyelenggara, dalam hal ini KPU Kabupaten atau jajarannya. Sedangkan satu kabupaten, yaitu Pilkada Kabupaten Muna, pelanggaran dilakukan oleh dua orang oknum pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali.
Seluruh elemen penyelenggara pilkada harus independen, menjaga integritas dan mematuhi peraturan perundang-undangan. Tindakan elemen penyelenggara pilkada di empat daerah tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tindakan tersebut telah mengebiri suara rakyat, mencoreng demokrasi yang mulai bersemi di negeri ini. Selayaknya ada ada efek jera bagi mereka. Penyelenggara pilkada yang terbukti melakukan kejahatan demokrasi harus diberi sanksi.
Demokrasi membutuhkan kejujuran, keterbukaan, persatuan, dan pengertian demi kesejahteraan seluruh negeri. Penyelenggaraan Pilkada yang demokratis dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara yang mempunyai integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas.


Nur Rosihin Ana

Rubrik Editorial Majalah Konstitusi Nomor 109 • Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More