Periodisasi masa jabatan hakim pengadilan pajak akan
mengurangi konsentrasi hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka. Sebaiknya pembatasan masa jabatan hakim hanya berkaitan dengan usia
pensiun.
Kekuasaan kehakiman
yang merdeka merupakan instrumen menegakkan hukum dan keadilan. Sudah
seharusnya tidak ada batasan yang menghalangi kemerdekaan kehakiman dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan. Hakim sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman sudah seharusnya tidak diliputi keraguan dan ketidakpastian terhadap
masa jabatan dan periodisasinya. Sebab hal ini sangat menggangu konsentrasinya
dalam memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa untuk menegakkan hukum dan
keadilan.
Namun berlakunya
ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), justru dinilai
menciptakan ketidakpastian jabatan hakim. Bahkan menimbulkan keragu-raguan dan
ketidaknyamanan dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sebagai hakim.
Demikian dalil
permohonan uji materi UU Pengadilan Pajak yang diajukan oleh Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) Cabang Pengadilan Pajak. Permohonan ini diterima oleh
Mahkamah Konstitusi pada 7 Desember 2015. Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi
permohonan ini dengan Nomor 6/PUU-XIV/2016 pada 16 Februari 2016. Mahkamah juga
menetapkan panel hakim konstitusi yang memeriksa permohonan ini, yakni Hakim
Konstitusi Wahiduddin Adams (Ketua Panel), Patrialis Akbar, dan Suhartoyo.
Sidang pemeriksaan pendahuluan digelar pada Selasa, 23 Februari 2016. Kemudian
sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan digelar pada Senin, 7 Maret
2016.
Para Pemohon
memberikan kuasa kepada Center for Strategic Studies University of Indonesia
(CSSUI). Para Pemohon yang nota bene para hakim Pengadilan Pajak, dalam legal
standing-nya menyebutkan norma yang diuji membatasi hak-hak para Pemohon
yang dijamin Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD1945.
Kemudian, menghalangi
kemerdekaan kehakiman yang dijamin Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Benturan Kekuasaan Kehakiman
Hakim sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman seharusnya terbebas dari keraguan dan ketidakpastian masa
jabatan. Sebab hal ini akan menghilangkan konsentrasinya dalam memeriksa,
memutus, dan mengadili sengketa untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut para Pemohon,
ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Nomor 14 Tahun 2002
justru menciptakan ketidakpastian masa depan setelah memangku jabatan hakim.
Bahkan menimbulkan keragu-raguan, dan ketidaknyamanan dalam melaksanakan tugas
dan kewenangan. Hal ini langsung maupun tidak langsung menurunkan kualitas
putusan dan pelaksanaan kinerja dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
Ketentuan Pasal 8 ayat
(3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak mengandung benturan
terhadap hakikat kekuasaan kehakiman yang merdeka yang langsung maupun tidak
langsung berpotensi menyebabkan kerugian bagi Pemohon. Bahkan mengurangi etos
kerja dan kualitas kinerja dan putusan yang sesuai dengan tujuan hukum dan
keadilan. Hakim Pengadilan Pajak sudah semestinya tidak diganggu dan terbagi
konsentrasinya dengan permasalahan masa jabatan dan periodeisasi jabatan dan
usia akhir jabatan.
Selain itu, ketentuan
yang diujikan tersebut bertentangan dengan kepentingan hukum dan konstitusi.
Bahkan bertentangan dengan kepentingan umum (in strijd met het algemeen
belang) karena ketentuan tersebut berpotensi menurunkan kualitas putusan
terhadap sengketa perpajakan serta mengurangi minat orang-orang yang mempunyai
potensi dan kemampuan yang baik dan berkualitas untuk menjadi hakim Pengadilan Pajak.
Usia Pensiun
Periodeisasi ketua,
wakil ketua, dan hakim Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
di tingkat pertama, sebaiknya hanya dibatasi pada masa jabatan berkaitan dengan
usia pensiun. Seharusnya Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak dimaknai
sama dengan usia hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Hal ini sebagaimana
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah terakhir dengan
UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Ketentuan
masa pensiun ketua, wakil ketua, dan hakim PTUN sebagaimana Pasal 19 ayat (1)
huruf c UU PTUN adalah 67 tahun. Sedangkan masa pensiun ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim Pengadilan Pajak adalah 65 tahun.
Hal tersebut
menunjukkan ketidaksamaan di hadapan hukum mengingat Pengadilan Pajak adalah
pengadilan khusus di lingkungan PTUN, yang langsung putusannya disamakan dengan
pengadilan tinggi, karena upaya hukum pengadilan pajak langsung dilakukan
peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Ketidakpastian hukum dan ketidaksamaan di
hadapan hukum tersebut berdampak sistemik dan berkelanjutan bagi berlangsungnya
Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Saat ini hakim
Pengadilan Pajak berjumlah 46 hakim. Sementara 14 hakim dalam waktu dekat
memasuki usia pensiun. Sementara perkara yang masuk di Pengadilan Pajak setiap
hari berkisar 55 perkara sampai 60 perkara.
Hakikat Kekuasaan yang Merdeka
Para Pemohon berdalil
kekuasaan kehakiman yang merdeka seharusnya tidak berada pada pengaruh atau
potensi pengaruh, pikiran, atau perasaan yang langsung maupun tidak langsung
menyebabkan ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan Pajak menjadi tidak
merdeka. Hal ini berpotensi mempengaruhi langsung maupun tidak langsung untuk
menghasilkan putusan dan kinerja yang berkualitas bagi hukum dan keadilan.
Padahal Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan Kekuasaan Kehakiman merupakan
Kekuasaan yang Merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.
Rumusan Pasal 24 ayat
(1) UUD 1945 tersebut secara konstitusional menjadi dasar hukum yang mengatur
hakim pengadilan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak dapat berada
pada pengaruh, tekanan, dan perasaan yang mengurangi konsentrasinya dan
kemerdekaannya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Pandangan klasik mengenai
kekuasaan kehakiman yang merdeka hakikatnya terbebasnya pejabat pelaksana
kekuasaan kehakiman dari adanya aturan, kebijakan, keputusan, perilaku, dan
tekanan yang menyebabkan atau bahkan berpotensi menyebabkan berkurangnya
kemerdakaan hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Pengadilan Pajak
sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan agar pengadilan
tidak menjadi suatu alat kekuasaan (machtsapparaat), tetapi menjadi
suatu alat hukum (rechtsapparaat). Dengan demikian, politik hukum apapun
sudah semestinya dan seharusnya tidak menyebabkan Pengadilan Pajak menjadi
seakan-akan di bawah kekuasaan pemerintah yang memiliki kewenangan alam
pengelolaan di bidang perpajakan, karena seharusnya merupakan alat kekuasaan
negara untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Pemberlakuan Pasal 8
ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak berpotensi
mengurangi kemerdekaan hakim serta mengurangi konsentrasinya dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara perpajakan karena dalam pelaksanaannya tidak
konsisten dan tidak konsekuen sesuai dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Padahal, dalam konsep manajemen administrasi yang baik, ketua, wakil ketua, dan
hakim tidak dibatasi periodeisasi jabatan kecuali masa jabatannya yang sesuai
dengan masa pensiunnya. Pengaturan mealui periodeisasi akan mengurangi
konsentrasinya dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Menurut hemat para
Pemohon, sangat tepat apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Ketentuan Pasal 8
ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak merupakan pasal yang
potensial dikualifikasi melanggar prinsip perlindungan jaminan atas kepastian
hukum dan persamaan di hadapan hukum bagi terwujudnya kekuasaan kehakiman yang
merdeka sekaligus bagi terwujudnya penegakan hukum dan keadilan bagi wajib
pajak. Dengan perumusan Pasal yang demikian, ketentuan tersebut tidak
proporsional dan tidak konsisten, sehingga dengan sendirinya bertentangan
dengan Pasal 24 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, para
Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah Menyatakan Pasal 8 ayat (3) UU
Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat secara hukum.
Kemudian menyatakan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak sepanjang
frasa, “telah berusia 65 (enam puluh lima) tahun” berlaku konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang usia diartikan
konsisten dan sama dengan ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara, yaitu 67 (enam puluh tujuh) tahun.
Nur Rosihin Ana
Rubrik Catatan
Perkara
Majalah Konstitusi Nomor 109 • Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar