Persidangan
uji materi UU LLAJ masih dalam proses pemeriksaan, manakala redaktur Majalah
Konstitusi berdialog dengan Wahyu M, seorang operator alat berat. Melalui
jejaring media sosial, Wahyu berkisah tentang aktivitasnya. Profesi yang
ditekuni Wahyu membutuhkan keterampilan khusus yang memadai. Selain itu, ia
telah lama mengantongi surat izin untuk menjadi operator.
Jenis alat berat yang sering
dioperasikan Wahyu adalah ekskavator. Fungsi utama ekskavator adalah untuk
menggali tanah. Ekskavator juga merupakan jenis alat berat yang multifungsi,
antara lain dalam pengerjaan proyek pengerukan, sloping, dumptuck, memecah
batu, menghancurkan bangunan, dan sebagainya.
Wahyu bekerja pada lembaga plat
merah. Impian dia kelak ingin menjadi pengusaha alat berat. Minimal menjadi
instruktur operator alat berat. Setidaknya dia dapat berbagi ilmu dan
pengalaman kepada orang lain.
Satu hal yang terlewat dari Wahyu,
dia belum mengetahui bahwa alat berat masuk dalam kategori kendaraan bermotor.
Begitulah ketentuan dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU
LLAJ).
Penempatan alat berat sebagai kendaraan
bermotor tentu menimbulkan beberapa konsekuensi. Di antaranya, alat berat harus
menjalani uji tipe dan uji berkala serta memiliki perlengkapan kendaraan
seperti halnya kendaraan bermotor.
Persyaratan uji tipe dan uji berkala
tidak mungkin dapat dipenuhi oleh alat berat. Sebab karakteristik alat berat
tidak pernah sama dengan kendaraan bermotor. Alat berat seperti crane, mesin
gilas (stoomwaltz), excavator, vibrator, bulldozer dan batching plant tidak
memiliki ban karet seperti kendaraan bermotor pada umumnya. Roda alat berat
tersebut terbuat dari besi, sehingga tidak mungkin memenuhi syarat kedalaman
alur ban. Bahkan terdapat alat berat yang sama sekali tidak bergerak seperti crane
dan batching plant. Tidak mungkin crane dan batching plant
dapat memenuhi persyaratan laik jalan. Sebab keduanya tidak memiliki rem,
tidak memiliki roda depan dan tidak menggunakan ban.
Alat berat juga diharuskan memiliki
perlengkapan kendaraan bermotor seperti sabuk keselamatan, ban cadangan,
segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda. Ketentuan-ketentuan dalam UU LLAJ
ini secara imperatif mengharuskan adanya Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
(STNK) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU LLAJ. Lalu bagaimana jika ketentuan-ketentuan
dalam UU LLAJ tidak dapat dipenuhi, tentu berakibat alat berat tidak dapat
dioperasikan.
Operator alat berat harus memiliki
Surat Izin Mengemudi (SIM). Padahal operator alat berat membutuhkan keahlian
tertentu yang tidak ada relevansinya dengan SIM B II. Alat berat hanya dapat
dioperasikan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan khusus alat berat tanpa
harus memiliki SIM B II.
Selayaknya alat berat diatur dalam
peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan sifat, jenis, dan fungsinya.
Hal ini untuk memberikan jaminan hukum bagi kepemilikan dan keamanan alat
berat, pertanggungjawaban atas risiko yang mungkin ditimbulkannya, dan menyusun
database inventarisasi alat berat.
Kategorisasi alat berat sebagai
kendaraan bermotor merupakan pengaturan yang tidak cermat. Sebab secara
teleologis, alat berat dan kendaraan bermotor jelas berbeda. Alat berat
merupakan alat produksi yang dibuat secara khusus guna memudahkan kegiatan
produksi. Sedangkan fungsi kendaraan bermotor adalah sebagai moda transportasi
barang atau orang. Perbedaan teleologis tersebut cukup menjadi bukti bahwa alat
berat tidak dapat disamakan dengan kendaraan bermotor.
Nur Rosihin Ana
Rubrik Editorial Majalah
Konstitusi Nomor 110 • April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar