Peninjauan Kembali (PK) merupakan
upaya hukum untuk melindungi terpidana. Selayaknya upaya PK menjadi domain
terpidana atau ahli warisnya. Lalu bagaimana jika PK diajukan oleh jaksa,
apakah ada salah tafsir dalam hukum acara pidana?
Medio
2009 silam, Direktur PT. Era Giat Prima, Djoko Soegiarto Tjandra, melakukan
perjalanan bisnis ke luar negeri. Sejak saat itu hingga kini, Djoko belum
kembali ke Indonesia. Djoko merasa tidak aman dan ketakutan untuk kembali ke
Indonesia. Hal ini akibat PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Demikian
pengakuan istri Djoko Soegiarto Tjandra, Anna Boentaran, yang tertuang dalam
permohonan uji materi Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), selanjutnya
disebut KUHAP, terhadap UUD 1945. Adapun materi yang diujikan yaitu ketentuan
Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Anna
melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ainul Syamsu, pada 17 Maret 2016 mendatangi
gedung Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyerahkan permohonan uji materi KUHAP.
Permohonan ini dilengkapi dengan bukti P1 sampai dengan P14.
Kepaniteraan
Mahkamah meregistrasi permohonan Anna dengan Nomor Perkara 33/PUU-XIV/2016 pada 21
Maret 2016. Mahkamah juga membentuk panel hakim yang terdiri dari tiga hakim
konstitusi untuk memeriksa perkara ini, yakni Manahan MP Sitompul (ketua
panel), I Dewa Gede Palguna, dan Patrialis Akbar, serta didampingi seorang
panitera, Yunita Ramadhani.
Sidang
pemeriksaan pendahuluan digelar pada Kamis 24 Maret 2016. Kemudian pada Selasa
5 April 2016, kuasa hukum Pemohon mendatangi MK untuk menyerahkan perbaikan
permohonan sesuai arahan dan nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Sidang
berikutnya dengan agenda perbaikan permohonan, digelar pada Rabu, 6 April 2016.
Anna
Boentaran merasa dirugikan oleh ketentuan tersebut. Dalam kedudukan hukum (legal
standing), Anna melampirkan bukti sebagai istri yang sah dari Djoko
Soegiarto Tjandra berdasarkan Akte Perkawinan Nomor 2440/1981 tanggal 24
September 1981 (Bukti P-6). Sebagai istri Djoko, Anna mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan sesuai Pasal 28G UUD 1945. Secara implisit, Pasal 28G
UUD 1945 memandang pentingnya perlindungan keluarga guna mencapai tujuan
perkawinan, yaitu “membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu, suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan material” (vide
Penjelasan Umum UU No. 1/1974) (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) (Bukti P-15). Oleh
karenanya, dapat dikatakan bahwa suami istri adalah satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Hal-hal buruk yang menimpa suami akan dirasakan oleh istri, dan
begitupun sebaliknya.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP
Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Upaya PK Jaksa
Anna merasa penegakan hukum terhadap suaminya bertentangan
dengan kepastian hukum yang adil yang menjadi ciri utama dari negara hukum
sesuai Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. PK terhadap putusan
lepas dari tuntutan hukum yang diajukan oleh JPU terhadap suaminya menjadi
penyebab suami Anna belum kembali ke Indonesia.
Djoko Soegiarto Tjandra berstatus sebagai orang yang bebas
merdeka (tidak berstatus sebagai terdakwa atau terpidana) kala ia sedang
melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri pada medio 2009 silam. Hingga
permohonan uji materi KUHAP ini diujikan ke MK pada 17 Maret 2016, ia belum jua
kembali ke Indonesia. Djoko takut kembali ke Indonesia karena adanya upaya PK
yang diajukan oleh JPU.
Menurut Anna, kepergian suaminya sebelum putusan PK bukanlah
pembangkangan hukum. Sebab selama proses penyidikan sampai persidangan di
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, suaminya selalu menaati proses hukum
meskipun dilakukan penahanan terhadapnya.
Adapun PK yang diajukan oleh JPU yaitu PK terhadap putusan lepas
dari tuntutan hukum berdasarkan Putusan PN Jakarta Selatan No. 156/Pid.B/2000/Jak.Sel
jo Putusan No. 1688 K/Pid/2000. PK tersebut diajukan setelah delapan
tahun sejak kedua putusan tersebut di atas mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bahkan putusan kasasi tersebut telah dilaksanakan sebagaimana Surat Perintah
Pelaksanaan Putusan Pengadilan/Mahkamah Agung (MA) No.
Prin-139/o.1.14/Fu.1/09/2001 tanggal 28 September 2001 beserta Berita Acaranya
tanggal 29 September 2001 (Bukti P-16) dan telah pula dieksekusi oleh JPU
sebagaimana terbukti dalam Berita Acara Eksekusi No WKMA/73/VIII/2002 tanggal
22 Agustus 2002 (Bukti P-7).
Namun JPU tetap mengajukan PK yang bertentangan dengan UU.
Apalgi jika PK tersebut diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum (onslag
van rechtvervolging) yang nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 263 ayat
(1) KUHAP.
Putusan PN Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel
tersebut menyatakan Djoko lepas dari tuntutan hukum karena perbuatan yang
didakwakan terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana. Kemudian Putusan MA
Nomor 1688K/Pid/2000, MA menyatakan menolak permohonan kasasi dari Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Oleh karenanya putusan tersebut
tetap mengacu kepada Putusan PN Jakarta Selatan.
Terhadap putusan MA tersebut, JPU mengajukan PK. Putusan
Mahkamah Agung (Peninjauan Kembali) No. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009
menyatakan Djoko terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan
dijatuhi pidana dua tahun penjara.
Putusan No. 12 PK/Pid.Sus/2009 ini diwarnai perbedaan pendapat (dissenting
opinion) dari dua hakim agung, yaitu Komariah Emong Sapardjaja dan Suwardi.
Hakim Agung Komariah Emong Sapardjaja menyatakan, PK adalah upaya hukum yang
diadakan untuk melindungi kepentingan terpidana. Sejalan dengan penafsiran
sistematis berdasarkan Pasal 3 KUHAP, maka PK adalah upaya hukum luar biasa
bagi terpidana, bukan JPU. Sedangkan Hakim Agung Suwardi menyatakan, PK dalam
perkara pidana mengacu kepada Pasal 263 KUHAP sebagai lex specialis dari
Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam
Pasal 263 KUHAP diatur secara tegas dan limitatif bahwa PK hanya dapat diajukan
oleh terpidana dan ahli warisnya dan diajukan terhadap putusan selain bebas dan
lepas dari tuntutan hukum. Oleh karenanya JPU tidak berwenang untuk mengajukan
PK. Terlebih lagi jika PK diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum.
Dengan demikian, Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 harus dipahami dalam
konteks asas pembatasan kewenangan, sehingga PK hanya dapat diajukan oleh
terpidana dan ahli warisnya; dan PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas
dan lepas dari tuntutan hukum.
Kesewenang-wenangan Hukum
Pendapat kedua hakim agung di atas sejalan dengan
prinsip-prinsip due process of law yang menegaskan bahwa penegakan hukum
harus dilaksanakan sesuai hukum, tidak bertentangan dengan undang-undang karena
hal itu akan menghilangkan kepastian hukum serta mengedepankan asas pembatasan
kewenangan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan
pelanggaran hak asasi manusia. Jika JPU sebagai representasi dari pemerintah
ternyata bertindak sewenang-wenang dan mengabaikan perlindungan hak asasi Anna
dan suaminya lantas kemana lagi Pemohon, suami Pemohon, anak-anak dan keluarga
akan mencari kepastian hukum dan jaminan atas perlindungan hukum dan keadilan? Kejaksaan
seharusnya bertanggung jawab atas perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak
asasi manusia dalam penegakan hukum yang dijamin Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Kejaksaan juga harus memastikan bahwa setiap warga negara yang telah menerima
putusan yang berkekuatan hukum tetap harus memperoleh haknya atas jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil, termasuk bagi Pemohon dan keluarga
yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga PK tidak diajukan oleh JPU.
Kesewenang-wenangan hukum tersebut secara nyata-nyata terjadi
kepada suami Anna dan menimbulkan implikasi secara langsung kepada diri Anna,
anak-anak dan keluarga yang sampai ini masih tidak dapat berkumpul layaknya
keluarga pada umumnya dan tidak dapat menikmati hak-hak yang dijamin konstitusi
dan hukum. Implikasi tersebut merugikan hak konstitusional Anna yang dijamin
Pasal 28G UUD 1945 karena hilangnya perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan
dan martabat. Bahkan ketidakpastian hukum dan hilangnya perlindungan martabat
dan kehormatan tersebut secara potensial dapat terjadi kepada Anna, anak-anak
Anna dan keluarganya serta semua rakyat Indonesia manakala berhadapan dengan
hukum.
Menurut Anna, kesewenang-wenangan tersebut terjadi disebabkan
Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak memberikan kepastian hukum, bersifat multitafsir
dan tidak memuat pengaturan secara tegas tentang “konsekuensi yuridis” manakala
PK dilaksanakan tidak sesuai dengan cara-cara yang ditentukan dalam KUHAP. Hal
ini membuka ruang terjadinya penegakan hukum yang represif, tidak berkeadilan
dan melanggar hak asasi yang merugikan Anna, suami, anak-anak, dan keluarganya.
Hak Terpidana dan Ahli Warisnya
Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak menyebutkan JPU sebagai pihak
yang diberi hak untuk mengajukan PK. Maka seharusnya JPU tidak dapat mengajukan
PK. Pengabaian dan ketidakpatuhan terhadap undang-undang dapat merusak tertib
hukum dan menjauhkan kita dari cita hukum nasional yang bersumber dari
Pancasila dan UUD 1945, terlebih lagi jika pengabaian dan ketidakpatuhan itu
dilakukan oleh alat perlengkapan negara sebagaimana terjadi dalam Pengajuan PK
oleh Jaksa Penuntut Umum yang bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Secara prinsipil kaidah dan norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP
seharusnya mengandung pembatasan kewenangan bagi JPU agar tidak mengajukan
permohonan PK. Namun hal itu tidak dipahami dan dihayati dengan baik oleh JPU,
sehingga PK tetap diajukan.
Hanya Terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk
mengajukan PK. Pihak lain termasuk JPU dilarang mengajukan PK. Kemudian,
terhadap putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum, tidak dapat diajukan PK.
Alasan “kepentingan negara” atau “kepentingan umum” yang
seringkali digunakan sebagai alasan oleh JPU dalam mengajukan PK adalah salah
satu bentuk kesewenang-wenangan hukum. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
Kejaksaan ditempatkan sebagai perwakilan negara dan masyarakat umum sehingga
bisa dipastikan bahwa Kejaksaan selalu melakukan penuntutan atas dasar
kepentingan umum dan kepentingan negara. Namun jika alasan tersebut ditafsirkan
secara subyektif, maka hal itu berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi
manusia. Terlebih lagi jika kepentingan negara dan kepentingan umum
dihadap-hadapkan dengan kepentingan pribadi terdakwa dan berakhir pada
keputusan bahwa kepentingan terdakwa harus selalu dikalahkan. Jika penafsiran
semacam itu yang dipupuk dalam pembangunan peradilan pidana kita, maka hal itu
justru akan merusak bangunan sistem peradilan pidana kita karena kepentingan
terdakwa menjadi tidak berharga dan dapat dilanggar kapan saja karena alasan
kepentingan umum atau kepentingan negara.
Alasan “kepentingan negara” dan “kepentingan umum” seharusnya
ditafsirkan sesuai cita hukum nasional agar sejalan dengan Pancasila dan UUD
1945. Alasan yang diemban oleh JPU ini harus diletakkan dalam konteks asas
keseimbangan yang diberikan oleh KUHAP, yaitu adanya upaya hukum luar biasa
yang diberikan kepada Jaksa Agung berupa Kasasi demi kepentingan hukum dan yang
diberikan kepada terpidana dan ahli warisnya berupa PK. Justru PK oleh JPU
bertentangan dengan cita hukum nasional, Pancasila dan UUD 1945, khususnya
Pasal 28D ayat (1) dan pada akhirnya akan merusak bangunan sistem peradilan
pidana Indonesia.
Mahkamah Agung (MA) sampai saat ini merupakan salah satu penjaga
hukum yang dapat mencegah terjadinya pengajuan PK oleh JPU. Hal ini sebagaimana
Putusan MA Nomor 84 PK/Pid/2006 (Bukti P-14) yang dalam pertimbangannya
menyatakan bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya.
Artinya bahwa yang bukan terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan
PK.
Dalam pertimbangan putusan MA tersebut juga ditegaskan bahwa JPU
tidak dapat mengajukan permohonan PK atas putusan pidana yang berkekuatan hukum
tetap. Oleh karenanya apa yang dimohonkan oleh JPU merupakan kesalahan dalam
penerapan hukum acara, sehingga permohonan PK yang diajukan JPU haruslah
dinyatakan tidak dapat diterima.
Pertimbangan tersebut di atas mencerminkan asas legalitas dalam
fungsi negatif yang membatasi kewenangan penegak hukum. Ketentuan Pasal 263 ayat
(1) KUHAP tidak menyebutkan JPU. Hal ini berarti bahwa JPU dilarang mengajukan
permohonan PK.
Putusan MA telah menyatakan JPU tidak berwenang mengajukan PK.
Namun faktanya sampai saat ini masih banyak ditemukan JPU yang mengajukan PK.
Untuk itu diperlukan peran serta MK bersama-sama dengan MA dalam mencegah
pelanggaran UU, yakni pengajuan PK oleh JPU terhadap putusan bebas atau lepas
dari tuntutan hukum, dengan cara memberikan tafsir konstitusional terhadap
Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 agar memberikan kepastian hukum dan
menutup penafsiran yang merugikan hak-hak masyarakat pencari keadilan.
Penemuan Hukum
PK yang diajukan oleh JPU tidak berkaitan dengan implementasi
norma, tetapi merupakan akibat dari norma dan kaidah Pasal 263 ayat (1) KUHAP
yang tidak tegas mengatur larangan PK oleh JPU, sehingga menimbulkan berbagai
penafsiran.
Ketidakjelasan pengaturan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tentang PK
oleh JPU seringkali dipandang sebagai kekosongan hukum, sehingga diperlukan
penemuan hukum. Putusan MA Nomor 84 PK/Pid/2006 adalah penemuan hukum yang
menyelaraskan kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum dalam putusan
tersebut mengacu kepada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang secara prinsipil melarang
JPU dan pihak-pihak lain selain terpidana dan ahli warisnya mengajukan
permohonan PK.
Banyaknya PK yang diajukan oleh JPU secara terus menerus,
menunjukkan bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak menampakkan asasnya sehingga
tidak dapat dipahami dan dihayati dengan baik oleh JPU. Rumusan dan batang
tubuh pasal tersebut tidak menegaskan larangan bagi JPU dalam mengajukan PK,
sehingga menimbulkan penafsiran bahwa PK dapat diajukan oleh JPU.
Tafsir Konstitusional
Anna Boentaran melalui tim kuasa hukumnya memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan kembali asas hukum dalam pasal tersebut
melalui tafsir konstitusional yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah
dengan pasal dimaksud, sehingga dapat memenuhi amanat konstitusi untuk
memberikan kepastian hukum yang adil. Penafsiran ini bukanlah penambahan atau
perubahan norma, melainkan hanya menegaskan kembali asas-asas hukum yang
terkandung dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP melalui tafsir konstitusional
terhadap pasal tersebut. Hal ini dimaksudkan sebagai sanksi yang diharapkan
dapat mendorong penegak hukum agar menegakkan hukum secara hati-hati,
bertanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Semestinya MK yang dikenal sebagai “the guardian and the
final interpreter of constitution” untuk menyatakan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP tidak sesuai dengan kaidah konstitusi tentang asas negara hukum dan asas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta persamaan
di hadapan hukum, perlindungan dari perlakuan diskriminatif, perlindungan atas
pribadi dan keluarga, kehormatan, martabat, perlindungan atas rasa aman dan
dari ketakutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, Anna
Boentaran memohon kepada MK agar memberikan penafsiran konstitusional terhadap
Pasal 263 ayat (1) KUHAP sebagaimana pernah dilakukan oleh MK dalam beberapa
putusan, antara lain Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Putusan No.
49/PUU-VIII/2010.
Penafsiran yang dimaksud adalah jika Pasal 263 ayat (1) KUHAP
dibiarkan tanpa perubahan dan penegasan, maka kaidah undang-undang yang diatur
dalam pasal itu secara kondisional tetap inkonstitusional (conditionally
unconstitutional), yakni bertentangan dengan kaidah-kaidah konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal
28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, agar Pasal 263 ayat (1)
KUHAP menjadi conditionally constitutional, maka haruslah diberi tafsir
konstitusional.
Dalam petitumnya, Anna Boentaran meminta MK agar menyatakan Pasal
263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum
mengikat, sepanjang dimaknai memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau
penegak hukum lainnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung
dan Peninjauan Kembali dari pihak selain terpidana dan ahli warisnya tidak
batal demi hukum.
Atau menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) jika diartikan bahwa “Terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali dari
pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum”.
Nur Rosihin Ana
Rubrik
Catatan Perkara Majalah Konstitusi
Nomor 110 • April 2016
Update 12 Mei 2016
Update 12 Mei 2016
Mahkamah dalam Putusan Nomor
33/PUU-XIV/2016 yang
dibacakan pada Kamis, 12 Mei 2016, menyatakan mengabulkan permohonan Anna Boentaran. Mahkamah
menyatakan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain
selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.
Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain
selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.
Berikut putusannya
PUTUSAN
Nomor 33/PUU-XIV/2016
DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang
mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
diajukan oleh:
Nama
|
:
|
Anna Boentaran
|
Pekerjaan
|
:
|
Mengurus Rumah Tangga
|
Alamat
|
:
|
Jalan Simprug Golf I Kavling 89 RT 003 RW 008,
Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
|
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor
32/SK-SHP/I/2016, bertanggal 28 Januari 2016 memberi kuasa kepada Muhammad Ainul Syamsu, S.H., M.H., Syaefullah Hamid, S.H., Hafisullah Amin
Nasution, S.H., Teuku
Mahdar Ardian, S.HI., Advokat/Kuasa Hukum, pada Kantor Hukum Syamsu
Hamid & Partners, berkantor di Graha Samali Building R. 2001 Lantai 2,
Jalan H. Samali Nomor 31B, Pancoran, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12740, baik
bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa.
Selanjutnya
disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;
[1.2]
|
Membaca
permohonan Pemohon;
|
Mendengar
keterangan Pemohon;
Memeriksa
bukti-bukti Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang
bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 9 Maret 2016 yang diterima
di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah)
pada tanggal 17 Maret 2016 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 55/PAN.MK/2016
dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 33/PUU-XIV/2016
pada tanggal 21 Maret 2016, yang diperbaiki dengan perbaikan permohonan
bertanggal 4 April 2016, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai
berikut:
A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1.
Bahwa Pemohon mengajukan permohonan
uji materi terhadap Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU Nomor 8 Tahun 1981) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat
(2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
2.
Bahwa Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a
UU Nomor 24
Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076) yang pada pokoknya menyebutkan bahwa
salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945); (Bukti P-4)
3.
Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) yang mengatur
bahwa manakala terdapat dugaan suatu Undang-Undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, maka pengujiannya dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi; (Bukti P-5)
4.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan
tersebut di atas, maka Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini;
B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1.
Bahwa Pasal 51 ayat (1) huruf a UU
Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 menyebutkan
bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakukanya undang-undang, yaitu perseorangan
warga negara Indonesia”. Dikatakan pula dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU a quo bahwa “yang dimaksud dengan hak
konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”;
2.
Bahwa berdasarkan ketentuan di atas,
Pemohon selaku warga negara Indonesia dan merupakan istri yang sah dari Joko
Soegiarto Tjandra sebagaimana Akte Perkawinan Nomor 2440/1981 tanggal 24
September 1981 (Bukti P-6),
mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan sesuai Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945. Secara implisit,
Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 memandang pentingnya perlindungan keluarga
guna mencapai tujuan perkawinan, yaitu “membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Untuk itu, suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spirituil dan material” (vide Penjelasan Umum UU No. 1/1974)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) (Bukti P-15). Oleh karenanya, dapat
dikatakan bahwa suami istri adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Hal-hal buruk yang menimpa suami akan dirasakan oleh istri, dan begitupun
sebaliknya.
3.
Bahwa hak-hak yang dijamin oleh
konstitusi dan hukum tersebut di atas belum dapat dinikmati oleh Pemohon karena
kepergian suami Pemohon dari Indonesia disebabkan oleh penegakan hukum yang
bertentangan dengan kepastian hukum yang adil yang menjadi ciri utama dari
negara hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945, yakni Peninjauan Kembali terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap suami Pemohon dalam Peninjauan
Kembali yang menyebabkan sampai saat ini suami Pemohon belum kembali ke
Indonesia. Pemohon sebagai warga negara Indonesia dan istri sah (ahli waris)
dari Joko Soegiarto Tjandra yang diberikan hak oleh Pasal 263 ayat (1) UU Nomor
8 Tahun 1981 untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, maka Pemohon
merasa bahwa hak-hak konstutisional Pemohon baik yang telah disebutkan di atas
maupun yang akan disebutkan kemudian, telah dirugikan dengan berlakunya Pasal
263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981
“Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”
4.
Bahwa sejak tahun 2009 dan masih
berlangsung pada saat Permohonan ini diajukan, suami Pemohon yang pada waktu
itu berstatus sebagai orang yang bebas merdeka dan tidak berstatus sebagai
terdakwa atau terpidana, sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri,
belum kembali ke Indonesia disebabkan karena terjadi ketidakadilan yang
dialaminya atas Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Belum kembalinya suami Pemohon ke Indonesia disebabkan ketakutan dan hilangnya
rasa aman sebagai akibat dari Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum. Kepergian suami Pemohon sebelum putusan Peninjauan Kembali bukanlah
pembangkangan hukum karena selama proses penyidikan sampai persidangan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, suami Pemohon selalu menaati proses hukum
meskipun dilakukan penahanan terhadapnya. Namun rasa aman, perlindungan dan
jaminan atas kepastian hukum yang adil menjadi hilang manakala Jaksa Penuntut
Umum mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/Jak.Sel juncto Putusan Nomor 1688 K/Pid/2000.
Peninjauan Kembali tersebut diajukan setelah 8 (delapan) tahun sejak kedua
putusan tersebut di atas mempunyai kekuatan hukum tetap, bahkan putusan kasasi
tersebut telah dilaksanakan sebagaimana Surat Perintah Pelaksanaan Putusan
Pengadilan/Mahkamah Agung Nomor Prin-139/o.1.14/Fu.1/09/2001 tanggal 28
September 2001 beserta Berita Acaranya tanggal 29 September 2001 (Bukti P-16) dan telah pula dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana
terbukti dalam Berita Acara Eksekusi Nomor
WKMA/73/VIII/2002 tanggal 22 Agustus 2002 (Bukti
P-7). Namun Jaksa Penuntut Umum tetap mengajukan Peninjauan Kembali yang
bertentangan dengan undang-undang. Sebab selain Jaksa Penuntut Umum tidak
diberi hak untuk itu, Peninjauan Kembali tersebut diajukan terhadap putusan
lepas dari tuntutan hukum (onslag van
rechtvervolging) yang nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) UU
Nomor 8 Tahun 1981. Secara berturut-turut dapat dijelaskan proses hukum yang
terjadi terhadap suami Pemohon adalah sebagai berikut:
a. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel, tanggal 28 Agustus 2000 (Bukti P-8)
Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa Suami Pemohon lepas dari tuntutan hukum
karena perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana.
Disebutkan dalam pertimbangan putusan a
quo halaman 349 bahwa:
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
unsur delik tersebut di atas, Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan Terdakwa tersebut di atas, sebagaimana dalam dakwaan primair
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana melainkan
termasuk perkara perdata, maka Terdakwa harus dilepas dari tuntutan hukum
(onslag van rechtsverfolging); satu dan lain hal karena tidak adanya sifat
melawan hukum (wederrechtelijk heid) atas perbuatannya”.
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor
1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 (Bukti P-9)
Dalam kasasi,
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan. Oleh karenanya putusan tersebut tetap mengacu kepada
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (vide
Bukti P-8). Disebutkan dalam pertimbangan putusan kasasi tersebut halaman 221 bahwa:
“Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan
dan pertimbangan yang diuraikan di atas lagi pula tidak ternyata, bahwa putusan
Judex Facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang,
maka permohonan kasasi tersebut ditolak”.
c. Putusan Mahkamah Agung (Peninjauan Kembali)
Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 (Bukti P-10)
Jaksa Penuntut
Umum mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan Mahkamah Agung Nomor
1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001. Dalam putusan tersebut, suami Pemohon
dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi
pidana 2 (dua) tahun penjara. Terdapat dua perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari dua hakim
agung, yaitu Prof. Komariah Emong Sapardjaja dan Suwardi, SH., MH, yang pada
pokok-pokoknya menyatakan sebagai berikut:
1)
Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaja,
SH.
Peninjauan
Kembali adalah upaya hukum yang diadakan untuk melindungi kepentingan
Terpidana. Sejalan dengan penafsiran sistematis berdasarkan Pasal 3 KUHAP, maka
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa bagi Terpidana, bukan Jaksa
Penuntut Umum.
2)
Suwardi, SH., MH.
Peninjauan
Kembali dalam perkara pidana mengacu kepada Pasal 263 KUHAP sebagai lex specialis dari Pasal 23 ayat (1) UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 263 KUHAP diatur
secara tegas dan limitatif bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh
Terpidana dan ahli warisnya dan diajukan terhadap putusan selain bebas dan
lepas dari tuntutan hukum. Oleh karenanya Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang
untuk mengajukan Peninjauan Kembali, terlebih lagi jika Peninjauan Kembali
diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum. Dengan demikian, Pasal 263
ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 harus dipahami dalam konteks asas pembatasan
kewenangan, sehingga Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh Terpidana dan
ahli warisnya; dan Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan
bebas dan lepas dari tuntutan hukum.
Pendapat kedua Hakim Agung
di atas sejalan dengan prinsip-prinsip due
process of law yang menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilaksanakan
sesuai hukum, tidak bertentangan dengan undang-undang karena hal itu akan
menghilangkan kepastian hukum serta mengedepankan asas pembatasan kewenangan
untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) dan pelanggaran hak asasi manusia;
5.
Bahwa meskipun suami Pemohon telah
diputus lepas dari tuntutan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan
Mahkamah Agung dan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu telah
dieksekusi (vide Bukti P-7, P-8 dan P-9),
namun delapan tahun kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali
terhadap suami Pemohon, meskipun Jaksa Penuntut Umum bukan pihak yang diberi
wewenang untuk itu dan putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali adalah
putusan lepas dari tuntutan hukum. Oleh karenanya, Peninjauan Kembali tersebut
melanggar hukum dan bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun
1981. Jika Jaksa Penuntut Umum sebagai representasi dari pemerintah ternyata
bertindak sewenang-wenang dan mengabaikan perlindungan hak asasi Pemohon dan
suami Pemohon dengan mengajukan Peninjauan Kembali, lantas kemana lagi Pemohon,
suami Pemohon, anak-anak dan keluarga akan mencari kepastian hukum dan jaminan
atas perlindungan hukum dan keadilan? Sebagai representasi dari pemerintah yang
bertanggung jawab atas pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia, maka
Kejaksaan seharusnya bertanggung jawab atas perlindungan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia dalam penegakan hukum (vide Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945) dan memastikan bahwa
setiap warga negara yang telah menerima putusan yang berkekuatan hukum tetap
harus memperoleh haknya atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil, termasuk bagi Pemohon dan keluarga (vide Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945), sehingga Peninjauan Kembali tidak diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum;
6.
Bahwa kesewenang-wenangan hukum
tersebut secara nyata-nyata terjadi kepada suami Pemohon dan menimbulkan
implikasi secara langsung kepada Pemohon, anak-anak dan keluarga yang sampai
ini masih tidak dapat berkumpul dengan suami Pemohon layaknya keluarga pada
umumnya dan tidak dapat menikmati hak-hak yang dijamin konstitusi dan hukum
sebagaimanana disebut di atas. Implikasi tersebut merugikan hak konstitusional
Pemohon berdasarkan Pasal 28G Undang-Undang
Dasar 1945 karena nyata-nyata perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan
dan martabat menjadi hilang. Bahkan ketidakpastian hukum dan hilangnya
perlindungan martabat dan kehormatan tersebut secara potensial dapat terjadi
kepada Pemohon, anak-anak Pemohon dan keluarga Pemohon dan semua rakyat
Indonesia manakala berhadapan dengan hukum.
7.
Bahwa menurut hemat Pemohon,
kesewenang-wenangan tersebut terjadi disebabkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8
Tahun 1981 tidak memberikan kepastian hukum, bersifat multi tafsir dan tidak
memuat pengaturan secara tegas tentang “konsekuensi yuridis” manakala
Peninjauan Kembali dilaksanakan tidak sesuai dengan cara-cara yang ditentukan
dalam UU Nomor 8 Tahun 1981. Ketidakpastian hukum dan sifat multi tafsir dari
pasal tersebut di atas membuka ruang terjadinya penegakan hukum yang represif,
tidak berkeadilan dan melanggar hak asasi yang merugikan Pemohon, suami
Pemohon, anak-anak dan keluarga.
8.
Bahwa kerugian konstitusional Pemohon
sebagai akibat dari Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
sebagaimana tersebut di atas adalah hilangnya hak konstitusional atas
perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat dan hak atas rasa aman serta
perlindungan dari ancaman ketakutan (vide
Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945); dan dalam kapasitasnya sebagai istri
sah yang diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali menurut Pasal 263
ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981, maka Pemohon merasa dirugikan disebabkan
hilangnya perlindungan dan jaminan atas kepastian hukum yang berkeadilan
manakala Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan lepas
dari tuntutan hukum;
9.
Bahwa kerugian konstitusional lain
yang diderita oleh Pemohon adalah hilangnya kehormatan dan martabat Pemohon,
suami Pemohon dan anak-anak Pemohon sebagai suatu keluarga (vide Pasal
28G Undang-Undang Dasar 1945) karena seolah-olah suami Pemohon dipandang
sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara padahal
sesuai Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel
tanggal 28 Agustus 2000 (vide Bukti P-8) yang dikuatkan dengan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 (vide
Bukti P-9) yang menyatakan pada pokoknya bahwa perbuatan yang dilakukan
oleh suami Pemohon adalah perbuatan perdata. Berdasarkan hal tersebut, maka
sesungguhnya kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon disebabkan
adanya ketidakpastian hukum dan sifat multi tafsir dalam Pasal 263 ayat (1) UU
Nomor 8 Tahun 1981;
10.
Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan No.
11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 yang menyatakan bahwa hak
konstitusional Pemohon harus memenuhi lima syarat sebagai berikut:
a.
Adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional
tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-undang yang
dimohonkan pengujiannya;
c.
Kerugian konstitusional tersebut harus
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya-tidaknya potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.
Adanya hubungan sebab akibat antara
kerugian tersebut dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya;
e.
Adanya kemungkinan dengan
dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan
tidak akan dan tidak lagi terjadi.
Jika merujuk kepada uraian
Pemohon di atas, maka Pemohon berkeyakinan bahwa syarat-syarat mutlak dalam
pengujian undang-undang ini telah dipenuhi Pemohon, dengan penjelasan sebagai
berikut:
Syarat pertama adalah
Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia yang mempunyai hak
konstitusional berupa hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dan
martabat serta terbebas dari rasa takut dan tidak aman sesuai Pasal 28G Undang-Undang
Dasar 1945; hak untuk mendapat perlindungan dan jaminan atas kepastian hukum
yang adil dan hak terhadap negara agar dapat menegakan hak asasi secara
bertanggung jawab sesuai Pasal 28D ayat ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam hal ini bertindak sebagai Pemohon
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. (vide Bukti P-1)
Syarat kedua, hak dan/atau
kewenangan konstusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Hak
Pemohon dirugikan dengan berlakunya Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981
yang mengandung multi tafsir dan ketidakpastian hukum;
Syarat ketiga, kerugian
konstitusional bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya-tidaknya
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Disebabkan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 1981 yang menyebabkan suami
Pemohon meninggalkan Indonesia. Hal ini menyebabkan Pemohon, suami Pemohon,
anak-anak dan keluarga tidak pernah lagi berkumpul lagi dengan Pemohon
selayaknya sebuah keluarga sampai saat ini. Hal ini menyebabkan hilangnya
perlindungan atas pribadi Pemohon dan suami Pemohon sebagai satu keluarga,
hilangnya kehormatan, martabat dan rasa aman sesuai amanat Pasal 28G
Undang-Undang Dasar 1945;
Syarat keempat, Adanya
hubungan sebab akibat antara kerugian tersebut dan berlakunya undang-undang
yang dimohonkan pengujiannya. Bahwa kerugian konstitusional yang dialami
Pemohon disebabkan kaidah dan norma Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981
yang tidak memberikan kepastian hukum sehingga Jaksa Penuntut Umum mengajukan
Peninjauan Kembali terhadap suami Pemohon. Akibatnya, Pemohon kehilangan
hak-hak konstitusionalnya sebagaimana disebut di atas;
Syarat kelima, kerugian
konstitusional tidak akan terjadi lagi jika permohonan ini dikabulkan. Bilamana
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan ini, diharapkan dapat menegaskan
kembali bahwa hanya terpidana dan ahli warisnya yang berhak untuk mengajukan
Peninjauan Kembali dan harus dilaksanakan berdasarkan cara-cara yang diatur
dalam UU Nomor 8 Tahun 1981. Sekaligus untuk menegaskan bahwa penegakan hukum
harus sesuai dengan norma yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun
1981;
11.
Bahwa uraian di atas membuktikan bahwa
Pemohon yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) sebagai
Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini. Oleh karenanya, Pemohon
memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan bahwa Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing)
dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
C. POKOK PERMOHONAN
1.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Hal ini mengandung pengertian
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Menurut Frederich Julius
Stahl, terdapat tiga ciri negara hukum. Pertama, perlindungan hak asasi
manusia. Kedua, pembagian kekuasaan. Ketiga, pemerintahan berdasarkan
Undang-Undang Dasar. Sejalan dengan itu, AV Decay menegaskan bahwa ciri dari rule of law adalah supremasi hukum,
persamaan di depan hukum dan proses hukum yang adil. Supremasi hukum bermakna
bahwa hukum mengedepankan undang-undang untuk mencegah kesewenang-wenangan
negara terhadap warga negara.
2.
Bahwa sebagai perwujudan dari
perlindungan hak asasi manusia dan supremasi hukum sebagaimana yang diungkapkan
Stahl dan Decay, maka sebuah negara hukum harus mengatur pembatasan kewenangan
penegak hukum secara tegas untuk memastikan bahwa penegakan hukum dapat
menjamin perlindungan, penegakan hak asasi manusia dan kepastian hukum yang
berkeadilan sesuai amanat Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G dan
Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan negara
untuk menjamin dan menegakkan hak asasi manusia, bukan malah sebaliknya, yaitu
menciptakan ketidakadilan, ketidakpastian hukum dan pelanggaran hak asasi.
Dengan menggunakan instrumen hukum pidana, maka negara berkewajiban untuk
memastikan bahwa penegakan hukum pidana melalui hukum acara pidana dapat
melindungi hak asasi manusia dan menjamin kepastian hukum yang berkeadilan;
3.
Bahwa untuk memenuhi kepastian hukum
yang berkeadilan dan perlindungan hak asasi manusia (vide Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945),
Konsideran huruf a UU Nomor 8 Tahun 1981 menggambarkan cita hukum nasional yang
melandasi dibuatnya UU Nomor 8 Tahun 1981 (vide Bukti P-2) yang menyatakan bahwa:
“bahwa negara Republik Indonesia adalah
negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Dilanjutkan
dalam konsideran c bahwa:
“bahwa pembangunan hukum nasional yang
demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak
dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak
hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum,
keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban dan
kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945”
Cita
hukum nasional menekankan perlindungan hak asasi manusia dalam penegakan hukum
demi tercapainya keadilan, ketertiban dan kepastian hukum dengan tetap
mengingatkan peran masyarakat dan penegak hukum secara bersamaan untuk mencapai
pembangunan hukum nasional yang dicita-citakan. Penegakan hukum yang
mengabaikan hak asasi manusia akan merusak cita hukum nasional yang melandasi
UU Nomor 8 Tahun 1981;
4.
Bahwa cita hukum di atas bersumber dari
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman untuk mengukur
apakah suatu undang-undang sesuai dengan cita hukum nasional ataukah justru
bertentangan dengan cita hukum tersebut. Ditegaskan oleh Roeslan Saleh (1996: 16) (Bukti P-11) bahwa:
“cita hukum adalah yang disebut Rechtsidee
dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Mengenai ini Rudolf Stammler
mengemukakan bahwa cita hukum adalah konstruksi pikir yang merupakan keharusan
untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Cita hukum
berfungsi sebagai penentu arah bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Walaupun
disadari benar bahwa titik akhir dari cita-cita masyarakat itu tidak mungkin
dapat dicapai sepenuhnya, namun cita hukum memberikan faedah positif karena ia
mengandung dua sisi: dengan cita hukum kita dapat menguji hukum positif yang
berlaku, dan kepada cita hukum kita dapat mengarahkan hukum positif sebagai
usaha untuk mengatur tata kehidupan masyarakat dan bangsa”.
…
keadilan yang dituju cita hukum itu
menjadi pula usaha dan tindakan mengarahkan hukum positif kepada cita hukum.
Dan dengan begitu maka hukum yang adil adalah hukum yang diarahkan oleh cita
hukum untuk mencapati tujuan-tujuan masyarakat”
Dalam
konteks hukum acara pidana yang secara prinsipil mengatur kewenangan penegak
hukum, maka hukum yang adil adalah hukum yang membatasi kewenangan penegak
hukum berdasarkan undang-undang sedemikian rupa agar dapat menjamin
terlindunginya hak asasi warga negara yang tersangkut dalam proses hukum dan
masyarakat pada umumnya. Cita hukum yang demikian itu memastikan bahwa
penegakan hukum dapat menciptakan tertib hukum masyarakat secara umum sekaligus
pada saat yang sama menjaga terciptanya tertib hukum bagi individu, karena
tertib hukum individu adalah bagian dari masyarakat yang turut memengaruhi
terciptanya tertib hukum masyarakat. Keduanya berjalan seiring;
5.
Bahwa terkait hal ini, Mahkamah
Konstitusi dalam putusan perkara yang mengadili sengketa Pilkada Tahun 2015
telah memberikan pelajaran yang positif kepada bangsa ini untuk senantiasa
patuh dan menerapkan Undang-Undang, sebagaimana dinyatakan dalam ratusan
putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain Putusan Nomor 120/PHP.BUP-XIV/2016
(hlm. 223) yang menyatakan bahwa:
“Meskipun Mahkamah adalah lembaga yang
independen dan para hakimnya bersifat imparsial, bukan berarti hakim konstitusi
dalam mengadili sengketa perselisihan perolehan suara Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota bebas sebebas-bebasnya akan tetapi tetap terikat dengan
ketentuan perundang-undangan yang masih berlaku, kecuali suatu undang-undang
sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah….”
Dalam
pertimbangan selanjutnya (hlm. 232) dinyatakan bahwa:
“… menurut kewenangan a quo, tidak terdapat
pilihan dan alasan hukum lain, selain Mahkamah harus tunduk pada ketentuan yang
secara expressis verbis digariskan dalam UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota…”.
Putusan
a quo mengajarkan bahwa sesungguhnya
tertib hukum hanya tercipta manakala masyarakat dan negara secara bersama-sama
dapat menaati dan mematuhi undang-undang. Kewajiban untuk mematuhi dan menaati
undang-undang juga berlaku bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menegakkan hukum.
Dalam hal Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak menyebutkan Jaksa
Penuntut Umum sebagai pihak yang diberi hak untuk mengajukan Peninjauan
Kembali, maka seharusnya Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan Peninjauan
Kembali. Jika putusan dipahami secara a
contratrio, maka pengabaian dan
ketidakpatuhan terhadap undang-undang dapat merusak tertib hukum dan menjauhkan
kita dari cita hukum nasional yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, terlebih lagi jika pengabaian dan ketidakpatuhan itu dilakukan oleh
alat perlengkapan negara sebagaimana terjadi dalam Pengajuan Peninjauan Kembali
oleh Jaksa Penuntut Umum yang bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8
Tahun 1981;
6.
Bahwa dalam rangka mewujudkan cita
hukum nasional tersebut, negara mengatur dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981
yang menyatakan bahwa “peradilan
dilaksanakan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Pasal
tersebut merujuk kepada asas legalitas dalam fungsi negatif dan fungsi sekunder
hukum pidana yang mengandung ajaran bahwa aturan hukum pidana berfungsi untuk
membatasi kewenangan penegak hukum, bukan memberikan kewenangan. George P
Fletcher mengatakan dalam bukunya “Basic
Concepts of the Criminal Law” (1998: 207) bahwa:
“… the negative principle holds the highest
concern of a legal system should be to protect the citizenry against aggressive
state that will invariably seek to impose its will on its subjects… the rule of
advanced legislative warning serves to
bind the justice against zealous decision making for the sake of immidiate
political objectives. If the judges must justify their decisions in the
language of enacted rules, shared by community as a whole, they are less likely
to act in idiosyncratic ways” (Bukti P-12).
Senafas dengan
pendapat di atas, Soedarto (1981: 150) menyebutkan bahwa:
“… Yang khas bagi hukum pidana ialah fungsi
sekundernya, ialah pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan
secara spontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya.
Tugas yuridis dari hukum pidana bukanlah “policing society” akan tetapi
“policing the police”. (Bukti P-13).
Dengan
demikian, asas legalitas dalam fungsi negatif yang terkandung dalam Pasal 3 UU
Nomor 8 Tahun 1981 mengatur bahwa dalam penegakan hukum, penegak hukum hanya
diperbolehkan menggunakan cara-cara yang diatur secara tegas dalam
undang-undang. Cara-cara yang tidak
diatur atau tidak disebutkan dalam
UU Nomor 8 Tahun 1981 harus dipandang sebagai larangan bagi penegak hukum dan
oleh karenanya tidak dapat dipergunakan dalam penegakan hukum termasuk tetapi
tidak terbatas pada Peninjauan Kembali yang diajukan jaksa (vide Pasal
263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981);
7.
Bahwa Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981
merupakan “soko guru” bagi seluruh ketentuan yang ada dalam UU Nomor 8 Tahun
1981. Sebab, “…cara yang diatur dalam
undang-undang ini” mengandung dua pedoman penting. Pertama, frasa “…cara yang diatur dalam undang-undang ini”
merupakan fondasi pembatasan bagi penegak hukum dalam menggunakan kewenangannya
guna menjamin perlindungan hak asasi manusia. Oleh karenanya, seluruh kebijakan
dan diskresi dalam penegakan hukum hanya dapat diwujudkan melalui cara-cara
yang secara tegas dinyatakan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981. Kebijakan dan
diskresi yang menyimpang dari apa yang telah ditegaskan oleh UU Nomor 8 Tahun
1981 harus dipandang sebagai penyalahgunaan diskresi (misuse of discretion) yang
bertentangan dengan undang-undang. Kedua, frasa “…cara yang diatur dalam undang-undang ini” mengandung pengertian
bahwa hanya undang-undang yang menjadi sumber hukum acara pidana Indonesia.
Ketentuan perundang-undangan lain di luar undang-undang dan putusan pengadilan
tidak dapat dijadikan sumber hukum terlebih lagi jika putusan tersebut
bertentangan dengan undang-undang yang mengatur hukum acara pidana tersebut;
8.
Bahwa meskipun secara historis dan
teleologis, pembentuk undang-undang merumuskan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981
sebagai pembatas kewenangan penegak hukum, namun kaidah dan norma dalam pasal
tersebut tidak secara tegas menyebutkan hal itu. Terlebih lagi bahwa tidak ada
penjelasan apapun dalam Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981, sehingga
asas-asas, maksud dan tujuan yang terkandung dalam pasal tersebut menjadi
terabaikan dan pada akhirnya tidak dapat dijadikan pedoman dalam mencegah
munculnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) dalam penegakan hukum pidana. Oleh karena asas dan prinsip yang
membatasi kewenangan penegak hukum pidana tidak terejawantahkan dalam Pasal 3
UU Nomor 8 Tahun 1981, maka potensi-potensi penyalahgunaan kekuasaan dapat
terjadi dalam setiap tahap proses penegakan hukum pidana termasuk tetapi tidak
terbatas pada Peninjauan Kembali sesuai Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun
1981;
9.
Bahwa untuk memberikan kepastian hukum
yang adil guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka perlu kiranya
Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali asas, maksud dan tujuan yang terkandung
dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981 agar dapat memberikan kepastian hukum dan
dijadikan pedoman dalam penegakan hukum termasuk tetapi tidak terbatas pada
penegakan hukum berdasarkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 sehingga
dapat menciptakan pedoman dan pembatasan bagi Jaksa Penuntut Umum agar dalam
penegakan hukum hanya menggunakan cara-cara yang ditegaskan dalam hukum, yakni
Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas
atau lepas dari tuntutan hukum. Apabila rumusan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8
Tahun 1981 dibiarkan begitu saja tanpa penafsiran konstitusional, maka hal itu
berpotensi menciptakan penyalahgunaan kekuasaan karena tidak ada batasan dan
konsekuensi bagi penegak hukum manakala para penegak hukum menggunakan
kewenangannya secara berlebihan dan mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak
asasi dalam penggunaan upaya hukum luar biasa;
10.
Bahwa sebagai “soko guru” yang secara
tersirat melandasi seluruh ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, maka asas
hukum yang tersirat dalam Pasal 3, yaitu pembatasan kewenangan, harus
ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 sehingga dapat dijadikan
pedoman bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menggunakan upaya hukum luar biasa yang
disediakan oleh UU Nomor 8 Tahun 1981. Dengan demikian, pengalaman pahit yang
secara nyata dialami oleh suami Pemohon yang menjadi korban dalam Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh Jaksa, tidak terjadi lagi;
11.
Bahwa secara prinsipil kaidah dan
norma Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 seharusnya mengandung pembatasan
kewenangan bagi Jaksa Penuntut Umum agar tidak mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali, namun hal itu tidak dipahami dan dihayati dengan baik oleh Jaksa
Penuntut Umum, sehingga Peninjauan Kembali tetap diajukan, meskipun dalam
Putusan Pengadilan Negeri No 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel (vide Bukti P-8) dan
putusan Mahkamah Agung No. 1688 K/Pid/2000 (vide Bukti P-9) suami
Pemohon dilepaskan dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor
8 Tahun 1981, hanya Terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk
mengajukan Peninjauan Kembali, sehingga pihak lain termasuk Jaksa Penuntut Umum
dilarang mengajukan Peninjauan Kembali dan terhadap putusan bebas dan lepas
dari tuntutan hukum tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali. Namun hal ini
dilanggar oleh Jaksa Penuntut Umum yang tetap mengajukan Peninjuan Kembali
terhadap suami Pemohon;
12.
Bahwa alasan “kepentingan negara” atau
“kepentingan umum” yang seringkali digunakan sebagai alasan oleh Jaksa Penuntut
Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali adalah salah satu bentuk
kesewenang-wenangan hukum. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Kejaksaan
ditempatkan sebagai perwakilan negara dan masyarakat umum sehingga bisa
dipastikan bahwa Kejaksaan selalu melakukan penuntutan atas dasar kepentingan
umum dan kepentingan negara. Namun jika alasan tersebut ditafsirkan secara
subyektif, maka hal itu berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
Terlebih lagi jika kepentingan negara dan kepentingan umum dihadap-hadapkan
dengan kepentingan pribadi Terdakwa dan berakhir pada keputusan bahwa
kepentingan Terdakwa harus selalu dikalahkan. Jika penafsiran semacam itu yang
dipupuk dalam pembangunan peradilan pidana kita, maka hal itu justru akan
merusak bangunan sistem peradilan pidana kita karena kepentingan Terdakwa
menjadi tidak berharga dan dapat dilanggar kapan saja karena alasan kepentingan
umum atau kepentingan negara.
13.
Bahwa sudah sepatutnya alasan
“kepentingan negara dan kepentingan umum” seharusnya ditafsirkan sesuai cita
hukum nasional agar sejalan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Merujuk kepada konsideran huruf c UU Nomor 8 Tahun 1981 yang merupakan cita
hukum nasional dalam pembentukan Hukum Acara Pidana Nasional, maka alasan
“kepentingan negara” atau “kepentingan umum” yang diemban oleh Jaksa Penuntut
Umum harus diletakkan dalam konteks asas keseimbangan yang diberikan oleh UU
Nomor 8 Tahun 1981, yaitu adanya upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada
Jaksa Agung berupa Kasasi Demi Kepentingan Hukum (vide Pasal 259 UU Nomor 8
Tahun 1981) dan yang diberikan kepada Terpidana dan ahli warisnya berupa
Peninjauan Kembali (vide Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun
1981). Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum justru bertentangan
dengan cita hukum nasional, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya
Pasal 28D ayat (1) dan pada akhirnya akan merusak bangunan sistem peradilan
pidana Indonesia;
14.
Bahwa sampai saat ini Mahkamah Agung
merupakan salah satu penjaga hukum yang dapat mencegah terjadinya pengajuan
Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana Putusan Mahkamah Agung
Nomor 84 PK/Pid/2006 (Bukti P-14) yang menyatakan dalam pertimbangannya
bahwa:
“Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah
menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, kecuali putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum, Terpidana dan
ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahakamah
Agung;
Bahwa ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan
limitatif bahwa yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali adalah Terpidana atau
ahli warisnya. Hal ini berarti bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya
tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali;
Bahwa due process of law tersebut berfungsi sebagai
pembatasan kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat, dan
bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat disimpangi,
karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum;
Menimbang berdasarkan hal-hal tersebut disimpulkan bahwa
Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas
putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya apa yang dimohonkan
oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan kesalahan dalam penerapan hukum acara,
sehingga permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa Penuntut Umum
haruslah dinyatakan tidak dapat diterima”
Pertimbangan
tersebut di atas mencerminkan asas legalitas dalam fungsi negatif yang
membatasi kewenangan penegak hukum. Oleh karena Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8
Tahun 1981 tidak menyebutkan Jaksa Penuntut Umum, maka hal itu berarti bahwa
Jaksa Penuntut Umum dilarang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Esensi
pertimbangan tersebut di atas sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan Nomor 120/PHP.BUP-XIV/2016 yang pada pokoknya menyatakan
keharusan untuk menaati dan mematuhi undang-undang, termasuk tetapi tidak
terbatas pada Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981. Meskipun putusan
Mahkamah Agung telah menyatakan Jaksa
Penuntut Umum tidak berwenang mengajukan Peninjauan Kembali, namun sampai saat
ini masih banyak ditemukan Jaksa Penuntut Umum yang mengajukan Peninjauan
Kembali. Untuk itu diperlukan peran serta Mahkamah Konstitusi bersama-sama
dengan Mahkamah Agung dalam mencegah pelanggaran UU, yakni pengajuan Peninjauan
Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas atau lepas dari
tuntutan hukum, dengan cara memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 263
ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 agar memberikan kepastian hukum dan menutup
penafsiran yang merugikan hak-hak masyarakat pencari keadilan;
15.
Bahwa Peninjauan Kembali yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum tidak berkaitan dengan implementasi norma, tetapi
merupakan akibat dari norma dan kaidah Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang tidak
tegas mengatur larangan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga
menimbulkan berbagai penafsiran. Berbagai penafsiran tersebut dapat dilihat
dari beberapa pernyataan Kejaksaan Agung dalam beberapa berita online sebagai
berikut:
a.
“Kejaksaan
akan Terus Ajukan PK” (Republika Online) tanggal 5 September 2009
Terkait rencana
Peninjauan Kembali Jaksa terhadap Joko S Tjandra, Jaksa Agng Hendarman Supandji
mengakui bahwa Pasal 263 KUHAP hanya memberikan hak Peninjauan Kembali kepada
terpidana dan ahli warisnya, namun pasal
tersebut tidak menyebutkan larangan jaksa untuk mengajukan PK. (Bukti P-17)
b.
“Dalam Kasus
Akbar, Hak Jaksa untuk Ajukan PK Dipertanyakan” (HukumOnline) tanggal 17
Februari 2004
“Menanggapi
pendapat yang menolak Peninjauan Kembali Jaksa terhadap Akbar Tanjung yang
diputus bebas, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman menyatakan bahwa
ia sependapat bahwa terpidana dan ahli warisnya diberikan hak Peninjauan
Kembali. Namun tidak ada larangan yang
tegas bagi jaksa menempuh upaya hukum luar biasa itu. Hak jaksa memang tidak
diatur, tetapi juga tidak ada larangan. (Bukti P-18)
Pernyataan
tersebut di atas menunjukkan bahwa persoalan utamanya tidak terletak pada
persoalan implementasi norma, melainkan pada ketidakjelasan norma dan kaidah
Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 sehingga Kejaksaan menganggap bahwa
Jaksa Penuntut Umum tidak dilarang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali.
16.
Bahwa ketidakjelasan pengaturan Pasal
263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Peninjauan Kembali oleh Jaksa
Penuntutan Umum seringkali dipandang sebagai kekosongan hukum, sehingga
diperlukan penemuan hukum. Secara prinsipil, tindakan penegak hukum baik itu
tindakan menyidik, menuntut dan mengadili adalah proses penemuan hukum yang
akan berakhir pada dua hal. Pertama, penemuan hukum yang menyatakan suatu
peristiwa tertentu memenuhi unsur delik. Kedua, penemuan hukum yang menyatakan
suatu peristiwa tidak memenuhi unsur delik. Hans Kelsen menjelaskan tentang kesenjangan hukum (gap in the law adalah istilah yang
digunakan oleh Kelsen untuk
menggambarkan kekosongan hukum) dalam bukunya “The Pure Theory of Law” (1967: 246) sebagai berikut:
“In order to judge the theory of gaps in the
law it is necessary to determine the circumstances under which, according to
that theory, a gaps in the law occurs. According to this theory, the valid law
is not applicable in a concrete case if no general legal norm refers to this
case; therefore the court is obliged to fill the gap by creating a
corresponding norm. The essential argument is that the application of the valid
law, as a conclusion from the general to particular, is logically impossible in
this case because the necessary condition- the validity of a general norm
referring to this case- is missing. This
theory is erroneous because it ignores the fact that the legal order permits
the behavior of an individual when the legal order does not obligate the
individual to behave otherwise. The Application of the valid legal order is
not impossible in this case in which traditional theory assumes a gap. The
application of a single norm, to be true, is not possible, but the application
of legal order-and that, too, is law application- is possible. (Bukti P-19)
Dari penjelasan
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada suatu peristiwa yang dinamakan
kekosongan hukum melainkan, dalam konteks hukum pidana, adalah suatu peristiwa
yang memenuhi atau tidak memenuhi rumusan delik. Dalam hal undang-undang tidak
melarang perbuatan tertentu, maka hal itu berarti undang-undang membolehkan
siapapun untuk melakukan perbuatan tersebut. Pernyataan bahwa suatu peristiwa
memenuhi atau tidak memenuhi unsur delik adalah sebuah penemuan hukum (rechtvinding). Sementara itu dalam
konteks hukum acara pidana yang memiliki mekanisme kebalikan dari hukum pidana,
yakni perbuatan yang dapat digunakan dalam penegakan hukum adalah perbuatan
yang secara tegas diatur dalam undang-undang, sedangkan perbuatan yang tidak
diatur dipandang sebagai dilarangnya penggunaan perbuatan tersebut dalam
penegakan hukum, maka kesimpulannya adalah apakah Peninjauan Kembali yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum diatur ataukah tidak diatur dalam UU Nomor 8
Tahun 1981. Dalam hal UU Nomor 8 Tahun 1981 mengatur Peninjauan Kembali oleh
Jaksa Penuntut Umum, maka upaya hukum luar biasa tersebut diperbolehkan.
Sebaliknya, dalam hal UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak mengatur Peninjauan Kembali
oleh Jaksa Penuntut Umum, maka hal itu berarti Jaksa Penuntut Umum dilarang
mengajukan upaya hukum tersebut. Dengan demikian, tidak adanya pengaturan
Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam UU Nomor 8 Tahun 1981
bukanlah suatu kekosongan hukum, tetapi suatu larangan bagi Jaksa Penuntut Umum
untuk menggunakan upaya hukum tersebut. Dalam kaitannya dengan itu pula, maka
penemuan hukum tidak selalu dimaknai dengan penjatuhan pidana di luar aturan
pidana (hukum pidana) atau dengan pelanggaran prosedur yang ditentukan dalam
hukum acara pidana;
17.
Bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 84
PK/Pid/2006 (vide Bukti
P-14) adalah penemuan hukum
yang menyelaraskan kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum dalam putusan
tersebut mengacu kepada Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang secara
prinsipil melarang Jaksa Penuntut Umum dan pihak-pihak lain selain terpidana
dan ahli warisnya mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Keadilan dalam
putusan a quo terletak pada kesesuaian aturan dengan asas hukum yang
melatarbelakanginya. Putusan tersebut merupakan penemuan hukum yang sebenarnya
dengan tetap mengacu kepada aturan dan asas hukum;
18.
Bahwa frasa “kepastian hukum yang
adil” dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyiratkan bahwa kepastian hukum dapat
berjalan seiring dengan keadilan. Kepastian hukum yang adil sebagaimana amanat
konstitusi adalah kepastian hukum yang berlandaskan asas hukum. Dengan kata
lain, kepastian hukum yang adil adalah kepastian hukum yang berasal dari
undang-undang atau aturan yang sesuai dan sejalan dengan asas hukum. Kesesuaian
aturan hukum dengan asas hukum inilah yang menjadi tolak ukur apakah suatu
aturan dikatakan adil atau tidak adil. Dengan demikian, keadilan bukanlah
penilaian subyektif atas moralitas atau etis suatu hal tertentu. Dalam konteks
permohonan ini, maka Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 dapat dikatakan
adil manakala aturan tersebut berlandaskan asas hukum yang termuat secara jelas
dalam batang tubuhnya. Meskipun secara teleologis Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8
Tahun 1981 bertujuan untuk memberikan hak kepada warga negara yang terjerat
proses hukum dan membatasi kewenangan penegak hukum, namun pasal tersebut tidak
dapat menampakkan asas pemberian hak bagi terpidana dan asas pembatasan kewenangan terhadap penegak hukum
dalam batang tubuhnya. Akibatnya, asas hukum tidak terejewantahkan dengan baik
dalam pasal tersebut sehingga tidak memberikan pedoman yang jelas bagi Jaksa
Penuntut Umum. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Peninjauan Kembali yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum secara terus menerus, menunjukkan bahwa Pasal
263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak menampakkan asasnya sehingga tidak
dapat dipahami dan dihayati dengan baik oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan
demikian, Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak memberikan kepastian
hukum dan keadilan. Dikatakan tidak memberikan kepastian hukum karena rumusan
dan batang tubuh pasal tersebut tidak menegaskan larangan bagi Jaksa Penuntut
Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali, sehingga menimbulkan penafsiran bahwa
Peninjauan Kembali dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dikatakan tidak
memberikan keadilan, karena Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak
menampakkan asas pembatasan kewenangan penegak hukum yang terkandung dalam
Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981, sehingga menyebabkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor
8 Tahun 1981 tidak sejalan dengan asas pembatasan kewenangan.
Berdasarkan hal
itu, permohonan ini memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan kembali
asas hukum dalam pasal tersebut melalui tafsir konstitusional yang menjadi satu
kesatuan yang tidak terpisah dengan pasal dimaksud, sehingga dapat memenuhi
amanat konstitusi untuk memberikan kepastian hukum yang adil.
19.
Bahwa meskipun secara prinsipil hukum
acara pidana tidak memuat sanksi pidana, namun sanksi atau konsekuensi terhadap
penegakan hukum yang keliru dan sewenang-wenang sangat diperlukan untuk
memastikan bahwa amanat konstitusi untuk memberikan perlindungan hak asasi dan
kepastian hukum yang adil dapat terwujud dalam penegakan hukum di Republik
Indonesia. Untuk itu diperlukan penegasan tentang larangan penegakan hukum yang
menggunakan cara-cara yang tidak diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 dengan
menyatakan penegakan hukum semacam itu batal demi hukum. Penafsiran ini
bukanlah penambahan atau perubahan norma, melainkan hanya menegaskan kembali
asas-asas hukum yang terkandung dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981
melalui tafsir konstitusional terhadap pasal tersebut. Hal ini dimaksudkan
sebagai sanksi yang diharapkan dapat mendorong penegak hukum agar menegakkan
hukum secara hati-hati, bertanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku;
20.
Bahwa berdasarkan uraian-uraian di
atas jelaslah kiranya bahwa norma Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal
263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak seusai dengan kaidah konstitusi yang
menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945. Kaidah-kaidah undang-undang itu juga tidak sesuai
dengan kaidah konstitusi yang mengatur tentang pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini sejalan dengan tidak
dilaksanakannya kewajiban pemerintah cq.
Kejaksaan dalam menjamin perlindungan dan penegakan hak asasi dalam penegakan
hukum berdasarkan Pasal 28I ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945. Pada akhirnya, tidak adanya perlindungan hak
asasi dan kepastian hukum dalam penegakan hukum terhadap suami Pemohon
melahirkan perlakuan diskriminatif (vide Pasal 28I ayat (2) UUD 1945) dan
merugikan hak konstitusional Pemohon berupa hilangnya perlindungan terhadap
keluarga, hilangnya rasa aman dan perlindungan dari ketakutan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945;
21.
Bahwa menghadapi kenyataan di atas,
sesuai dengan isi permohonan ini, maka semestinya Mahkamah Konstitusi yang
dikenal sebagai “the guardian and the final interpreter of constitution”
untuk menyatakan bahwa kaidah-kaidah undang-undang yang diatur dalam Pasal 263
ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak sesuai dengan kaidah konstitusi tentang
asas negara hukum dan asas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta persamaan di hadapan hukum, perlindungan dari perlakuan
diskriminatif, perlindungan atas pribadi dan keluarga, kehormatan, martabat,
perlindungan atas rasa aman dan dari ketakutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang
Dasar 1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dimohon dapat memberikan penafsiran konstitusional terhadap Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981
sebagaimana pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan
Mahkamah, antara lain Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor
49/PUU-VIII/2010.
22.
Bahwa penafsiran yang dimaksud adalah
jika Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 dibiarkan tanpa perubahan dan
penegasan, maka kaidah undang-undang yang diatur dalam pasal itu secara
kondisional tetap inkonstitusional (conditionally unconstitutional),
yakni bertentangan dengan kaidah-kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat
(4) Undang-Undang Dasar 1945.
23.
Bahwa untuk menjadikan kaidah
undang-undang dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 menjadi conditionally
constitutional, maka kaidah itu haruslah diberi tafsir konstitusional sehingga selengkapnya berbunyi “Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali dari pihak
selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum”.
24.
Bahwa tafsir konstitusional tidak
menjadikan Mahkamah Konsitusi sebagai legislator (positive legislator) karena tafsir
konstitusional tersebut tidak melahirkan norma baru, tetapi hanya menegaskan
secara tertulis asas-asas yang melatarbelakangi Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8
Tahun 1981 yang merujuk kepada Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981, yaitu pembatasan
kewenangan bagi Jaksa Penuntut Umum berupa larangan untuk mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum.
Penafsiran konstitusional guna menegaskan prinsip-prinsip hukum dalam sebuah
ketentuan adalah hal yang wajar dan dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi,
antara lain dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang memberikan tafsir
konstitusional terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, sehingga
seorang anak yang lahir di luar perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarganya, tetapi juga mempunyai hubungan perdata
dengan ayah dan keluarga ayahnya (Bukti
P-20). Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak untuk
mendapatkan pengakuan dan kasih sayang kedua orang tuanya. Hak tersebut tidak
dapat dicabut dengan alasan tidak terpenuhinya kewajiban administratif. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir konstitusional
yang menegaskan pemenuhan kebutuhan anak sebagai prinsip dasar yang melatarbelakangi
Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974.
Sejalan dengan
putusan di atas, permohonan ini memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memberikan tafsir konstitusional yang menegaskan kembali asas-asas hukum yang
tersirat dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 dengan merujuk kepada
Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981 yang mengandung asas legalitas dalam fungsi
negatif dan asas pembatasan kewenangan terhadap penegak hukum sebagai asas
fundamen dalam hukum acara pidana Indonesia, yakni bahwa hanya terpidana dan
ahli warisnya yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap
putusan pemidanaan, sedangkan penegak hukum termasuk tetapi tidak terbatas pada
Jaksa Penuntut Umum dilarang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali,
khususnya terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum;
25.
Penafsiran semacam ini akan membuat
kaidah-kaidah Undang-Undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 263 ayat (1) UU
Nomor 8 Tahun 1981 itu secara kondisional adalah konstitusional (conditionally
constitution) terhadap kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan penafsiran di atas, maka setiap penegakan
hukum harus menggunakan cara-cara yang diatur dalam Undang-Undang. Cara-cara
yang tidak diatur dalam undang-undang harus dianggap sebagai larangan sehingga
cara itu tidak boleh digunakan dalam penegakan hukum karena penggunaan cara
yang tidak diatur dalam Undang-Undang menyebabkan batal demi hukum, termasuk
berkenaan dengan pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali, in casu Jaksa Penuntut Umum;
26.
Bahwa untuk memperkuat dalil-dalil
yang Pemohon kemukakan di atas, dalam pemeriksaan perkara ini, Pemohon selain
mengajukan bukti-bukti, juga akan menghadirkan ahli-ahli untuk memperkuat
dalil-dalil Pemohon;
D. PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang
diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, serta keterangan para ahli yang
akan didengar dalam pemeriksaan perkara, dengan ini Pemohon memohon kepada Yang
Mulia Majelis Hakim Konstitusi agar berkenan memberikan putusan sebagai
berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk
menguji ketentuan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209) terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk
seluruhnya;
2.
Menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sepanjang dimaknai memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau
penegak hukum lainnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung
dan Peninjauan Kembali dari pihak selain terpidana dan ahli warisnya tidak
batal demi hukum;
3.
Menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai
memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau penegak hukum lainnya untuk
mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali
dari pihak selain terpidana dan ahli warisnya tidak batal demi hukum;
4.
Atau jika Majelis Hakim Konstitusi
berpendapat dan menganggap Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon kiranya
Majelis Hakim Konstitusi agar dapat memberikan tafsir konstitusional
terhadap Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) jika diartikan bahwa
“Terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan
Peninjauan Kembali dari pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi
hukum”.
5.
Memerintahkan pemuatan putusan ini
dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim
Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et
bono)
[2.2] Menimbang
bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan
bukti-bukti surat atau tertulis, yang disahkan di persidangan pada tanggal 6 April 2016,
dan diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-20 sebagai berikut:
1.
|
Bukti P-1
|
:
|
Fotokopi Kartu
Tanda Penduduk atas nama Anna Boentaran;
|
2.
|
Bukti P-2
|
:
|
Fotokopi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
|
3.
|
Bukti P-3
|
:
|
Fotokopi Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
4.
|
Bukti P-4
|
:
|
Fotokopi
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
|
5.
|
Bukti P-5
|
:
|
Fotokopi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
|
6.
|
Bukti P-6
|
:
|
Fotokopi Akta
Perkawinan Nomor 2440/1981, bertanggal 24 September 1981;
|
7.
|
Bukti P-7
|
:
|
Fotokopi Berita
Acara Eksekusi Nomor WKMA/73/VIII/2002, bertanggal 22 Agustus 2002, Perihal:
Eksekusi;
|
8.
|
Bukti P-8
|
:
|
Fotokopi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel, bertanggal 28 Agustus 2000;
|
9.
|
Bukti P-9
|
:
|
Fotokopi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000, bertanggal 28 Juni 2001;
|
10.
|
Bukti P-10
|
:
|
Fotokopi Putusan
Mahkamah Agung Peninjauan Kembali Nomor 12PK/Pid.Sus/2009, bertanggal 11 Juni
2009;
|
11.
|
Bukti P-11
|
:
|
Fotokopi Buku Roeslan
Saleh berjudul; “Pembinaan
Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional” (1996);
|
12.
|
Bukti P-12
|
:
|
Fotokopi Buku George P
Fletcher, “Basic Concepts of the
Criminal Law” (1998);
|
13.
|
Bukti P-13
|
:
|
Fotokopi Buku Soedarto berjudul “Hukum dan Hukum Pidana” (1981);
|
14.
|
Bukti P-14
|
:
|
Fotokopi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 84 PK/Pid/2006, bertanggal 8 Juli 2007;
|
15.
|
Bukti P-15
|
:
|
Fotokopi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
|
16.
|
Bukti P-16
|
:
|
Fotokopi Surat
Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan/Mahkamah Agung RI No.
Prin-139/O.1.14/Fu.1/09/2001 tanggal 28 September 2001 dan Berita Acara,
bertanggal 29 September 2001;
|
17.
|
Bukti P-17
|
:
|
Fotokopi
Artikel Media Masa Republika Online “Kejaksaan
Akan Terus Ajukan PK”, bertanggal 5 September 2009;
|
18.
|
Bukti P-18
|
:
|
Fotokopi Artikel Media Masa dalam Hukum Online “Dalam Kasus
Akbar, Hak Jaksa untuk Ajukan PK Dipertanyakan”, bertanggal 17 Februari 2004;
|
19.
|
Bukti P-19
|
:
|
Fotokopi Buku The Pure Theory of
Law (Bab V);
|
20.
|
Bukti P-20
|
:
|
Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, bertanggal
17 Februari Tahun 2012;
|
[2.3] Menimbang
bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi
di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
3.
PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.1]
Menimbang bahwa
berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
Bahwa permohonan Pemohon adalah
pengujian konstitusionalitas Pasal
263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) selanjutnya disebut UU 8/1981, yang
menyatakan:
Pasal
263 ayat (1):
“Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”;
Terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang menyatakan:
Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945:
“Negara Indonesia
adalah negara hukum”
Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”
Pasal
28G UUD 1945:
(1)
Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi;
(2)
Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945:
“Setiap
orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.”
[3.2]
Menimbang bahwa
permohonan Pemohon adalah untuk pengujian konstitusionalitas norma
Undang-Undang, in casu Pasal 263 ayat
(1) UU 8/1981 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, dan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, sehingga Mahkamah
berwenang mengadili permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.3]
Menimbang bahwa
berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh
UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a.
perorangan warga
negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b.
kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan
demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus
menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a.
kedudukannya
sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b.
kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang
diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
[3.4]
Menimbang bahwa
Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan
Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan
selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a.
adanya hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b.
hak dan/atau
kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
c.
kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d.
adanya hubungan
sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e.
adanya kemungkinan
bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.5]
Menimbang bahwa Pemohon mendallilkan sebagai warga negara Indonesia (vide
bukti P-1) yang merupakan istri yang sah dari Joko Soegiarto Tjandra (vide
bukti P-6). Bahwa suami Pemohon (Joko Soegiarto Tjandra) telah diputus lepas
dari segala tuntutan hukum berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel, bertanggal 28
Agustus 2000, dan dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000, bertanggal
28 Juni 2001 dan telah
berkekuatan hukum tetap (vide bukti P-8 dan bukti P-9). Namun, pada tanggal 11 Juni 2009 Mahkamah Agung melalui Putusan
Peninjauan Kembali Nomor 12PK/Pid.Sus/2009 (vide bukti P-10), telah menghukum suami Pemohon
(Joko Soegiarto Tjandra) atas dasar permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan
oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mendasarkan pada Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981.
Dengan adanya putusan Mahkamah Agung dimaksud, Pemohon merasa haknya atas
kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
telah dilanggar dan dirugikan. Kerugian dimaksud, menurut Pemohon, timbul
karena adanya penafsiran terhadap Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 yang diperluas
oleh Jaksa/Penuntut Umum dan kemudian diterima oleh Mahkamah Agung. Selain tidak memberikan kepastian hukum,
menurut Pemohon, penafsiran di atas juga menyebabkan hilangnya hak konstitusional atas
perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat dan hak atas rasa aman serta
perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
[3.6]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana dijelaskan pada paragraf [3.5]
di atas, telah terang bagi
Mahkamah bahwa Pemohon telah memenuhi syarat menjadi
Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang
mengadili permohonan Pemohon dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo,
selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;
Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa pokok permohonan sebagaimana
dimaksud oleh Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 263 ayat (1) UU
8/1981 yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28G, dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
Untuk membuktikan dalilnya
Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-20 yang selengkapnya termuat
dalam bagian Duduk Perkara;
[3.9] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok
permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan
dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau
Presiden” dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain, Mahkamah
dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang
berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena
permasalahan hukum dan permohonan a quo telah jelas, Mahkamah akan
memutus permohonan a quo tanpa
mendengar keterangan dan/atau meminta risalah rapat dari Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan/atau Presiden;
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah
memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon dan bukti surat/tulisan Pemohon,
Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa
dalam praktik, acapkali terjadi kesalahan dalam penjatuhan putusan yang
disebabkan oleh kekeliruan dalam hal fakta hukumnya (feitelijke dwaling) maupun kekeliruan dalam hal hukumnya sendiri (dwaling omtrent het recht). Kesalahan
dalam penjatuhan putusan ini dapat merugikan terpidana maupun masyarakat
pencari keadilan dan negara. Sepanjang masih dalam ruang lingkup upaya hukum
biasa, terhadap kesalahan demikian, baik terpidana maupun Jaksa/Penuntut Umum
dapat melakukan upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi. Namun terhadap
putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, hanya ada dua upaya hukum
luar biasa yang dapat dilakukan yaitu, Kasasi demi kepentingan hukum oleh
Jaksa/Penuntut Umum atau Peninjauan Kembali yang merupakan hak terpidana maupun
ahli warisnya;
Jika
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu adalah putusan yang oleh
terpidana atau ahli warisnya dirasa merugikan terpidana karena terpidana
ataupun ahli warisnya merasa bahwa negara telah salah mempidana seseorang yang
sesungguhnya tidak bersalah atau memberatkan terpidana, maka lembaga Peninjauan
Kembali bisa menjadi upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana
ataupun ahli warisnya [vide Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981], dengan memenuhi
syarat yang ditentukan oleh Pasal 263 ayat (2) UU 8/1981;
Dengan
demikian sistem hukum pidana yang dibangun oleh UU 8/1981 telah memberikan
kesempatan yang sama baik kepada terpidana maupun kepada Jaksa/Penuntut Umum
yang mewakili kepentingan negara untuk melakukan upaya hukum luar biasa
terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum ataupun putusan pemidanaan yang dinilai
oleh Jaksa/Penuntut Umum tidak memberikan rasa keadilan pada masyarakat, maka
Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan banding atau kasasi, sedangkan terhadap
putusan pemidanaan yang dinilai oleh terpidana atau ahli warisnya tidak
memberikan rasa keadilan kepada pihaknya, maka dapat diajukan upaya hukum
peninjauan kembali;
Pasal
263 ayat (1) UU 8/1981 menyatakan, “Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Dari rumusan Pasal
263 ayat (1) UU 8/1981 tersebut, menurut Mahkamah, ada empat landasan pokok
yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas
tersurat dalam Pasal dimaksud, yaitu:
1.
Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak);
2.
Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum;
3.
Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh
terpidana atau ahli warisnya;
4.
Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap
putusan pemidanaan;
[3.11] Menimbang
bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali dilandasi filosofi pengembalian hak dan
keadilan seseorang yang meyakini dirinya mendapat perlakuan yang tidak
berkeadilan yang dilakukan oleh negara berdasarkan putusan hakim, oleh karena
itu hukum positif yang berlaku di Indonesia memberikan hak kepada terpidana
atau ahli warisnya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yang dinamakan
dengan Peninjauan Kembali. Dengan kata lain, lembaga Peninjauan Kembali ditujukan
untuk kepentingan terpidana guna melakukan upaya hukum luar biasa, bukan
kepentingan negara maupun kepentingan korban. Sebagai upaya hukum luar biasa
yang dilakukan oleh terpidana, maka subjek yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali
adalah hanya terpidana ataupun ahli warisnya, sedangkan objek dari pengajuan
Peninjauan Kembali adalah putusan yang menyatakan perbuatan yang didakwakan
dinyatakan terbukti dan dijatuhi pidana. Oleh karena itu, sebagai sebuah konsep
upaya hukum bagi kepentingan terpidana yang merasa tidak puas terhadap putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum tidaklah termasuk ke dalam objek pengajuan Peninjauan
Kembali, karena putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum pastilah
menguntungkan terpidana;
Pranata
Peninjauan Kembali diadopsi semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli
warisnya dan hal tersebut merupakan esensi dari lembaga Peninjauan Kembali.
Apabila esensi ini ditiadakan maka lembaga Peninjauan Kembali akan kehilangan
maknanya atau menjadi tidak berarti;
Peninjauan
Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan oleh terpidana atau
ahli warisnya harus pula dipandang sebagai bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia
bagi warga negara, karena dalam hal ini seorang terpidana yang harus berhadapan
dengan kekuasaan negara yang begitu kuat. Lembaga Peninjauan Kembali sebagai
salah satu bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia yang menjiwai kebijakan sistem
peradilan pidana Indonesia;
[3.12] Menimbang
bahwa dalam praktiknya Mahkamah Agung ternyata menerima permohonan Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, terlepas dari dikabulkan atau
ditolaknya permohonan dimaksud. Terhadap keadaan tersebut, telah timbul silang
pendapat, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum tentang apakah
Jaksa/Penuntut Umum berhak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Oleh karena itu, demi kepastian hukum, Mahkamah memandang penting untuk
mengakhiri silang pendapat dimaksud;
[3.13] Menimbang
bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008,
bertanggal 15 Agustus 2008, dalam salah satu pertimbangannya telah menyatakan
sebagai berikut:
“[3.22] ... Pertanyaan
timbul apakah Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan PK jika dilihat dari rumusan
Pasal 263 ayat (1). Memang Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan
permohonan PK, karena falsafah yang mendasari PK adalah sebagai instrumen bagi
perlindungan hak asasi terdakwa, untuk memperoleh kepastian hukum yang adil
dalam proses peradilan yang dihadapinya. Memang ada kemungkinan kesalahan dalam
putusan pembebasan terdakwa atau ditemukannya bukti-bukti baru yang menunjukkan
kesalahan terdakwa, seandainya bukti tersebut diperoleh sebelumnya. Namun,
proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan, dan putusan di peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi,
dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa/Penuntut Umum
menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Oleh karena itu, dipandang adil jikalau pemeriksaan PK tersebut dibatasi hanya
bagi terpidana atau ahli warisnya karena Jaksa/Penuntut Umum dengan segala
kewenangannya dalam proses peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi,
dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup. ...”;
Dengan
pertimbangan sebagaimana diuraikan dalam putusan Mahkamah Nomor 16/PUU-VI/2008
di atas telah jelas bahwa hak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali
adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak Jaksa/Penuntut Umum. Jika
Jaksa/Penuntut Umum melakukan Peninjauan Kembali, padahal sebelumnya telah
mengajukan kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan
hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan kembali hak kepada
Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali tentu menimbulkan
ketidakpastian hukum dan sekaligus tidak berkeadilan;
Ketika
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum diterima, maka
sesungguhnya telah terjadi dua pelanggaran prinsip dari Peninjauan Kembali itu
sendiri, yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek Peninjauan Kembali.
Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek Peninjauan Kembali
menurut Undang-Undang adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara itu,
dikatakan ada pelanggaran terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dijadikan objek Peninjauan
Kembali.
[3.14] Menimbang
bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas Mahkamah memandang penting
untuk menegaskan kembali bahwa norma Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 adalah norma
yang konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain selain bahwa peninjauan
kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, dan tidak boleh
diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Pemaknaan
yang berbeda terhadap norma a quo akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikannya inkonstitusional. Untuk itu
Mahkamah perlu menegaskan bahwa demi kepastian hukum yang adil norma Pasal 263
ayat (1) UU 8/1981 menjadi inkonstitusional jika dimaknai lain.
4. KONKLUSI
Berdasarkan
penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah
berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut
hukum secara bersyarat;
Berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR
PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon;
1.1.
Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD
1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang
dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo;
1.2.
Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain
selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Demikian
diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi,
yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, I Dewa Gede
Palguna, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Aswanto, dan
Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal tiga belas, bulan April, tahun dua ribu enam belas,
dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua belas, bulan Mei, tahun
dua ribu enam belas, selesai diucapkan pukul
09.30 WIB, oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap
Anggota, Manahan M.P Sitompul, I Dewa
Gede Palguna, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, Aswanto, dan Suhartoyo, masing-masing
sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera
Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden/yang mewakili, dan Dewan
Perwakilan Rakyat/yang mewakili.
Ketua,
ttd.
Arief Hidayat
Anggota-Anggota,
ttd.
Manahan M.P Sitompul
|
ttd.
I Dewa Gede Palguna
|
ttd.
Patrialis Akbar
|
ttd.
Wahiduddin Adams
|
ttd.
Aswanto
|
ttd.
Suhartoyo
|
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Yunita Rhamadani
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar