Selasa, 10 Mei 2016

Suara Difabel

Hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum adalah hak dasar (basic right) setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Seluruh produk peraturan perundang-undangan tentang Pemilu harus membuka ruang dan akses yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya. Menghilangkan hak memilih bagi warga negara merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Namun demikian, konstitusi juga memberikan batasan kepada setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Pembatasan ini ditetapkan dengan undang-undang. Adapun maksud dari pembatasan ini adalah semata-mata untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil.
Di sekeliling kita, terdapat warga negara penyandang disabilitas, atau dikenal dengan istilah difabel (different ability). Penyandang disabilitas (disability) adalah orang yang mengalami keterbatasan diri.
Apakah mereka berhak memberikan suara atau memilih (right to vote) dalam Pemilu atau pemilihan kepala daerah? Ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada (UU Nomor 8 Tahun 2015) menyebutkan persyaratan bagi pemilih dalam pilkada. Yakni, “tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya”. Dengan kata lain, warga yang mengidap gangguan mental, tidak memenuhi syarat sebagai pemilih.
Ketentuan tersebut dinilai bersifat diskriminatif bagi pengidap disabilitas gangguan mental. Mereka kehilangan hak memilih untuk dapat berpartisipasi dalam memilih calon kepala daerahnya. Ketentuan tersebut juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pelaksanaan Pilkada, khususnya pada tahapan pemutakhiran dan pendaftaran pemilih.
Padahal psikososial atau disabilitas gangguan mental, bukanlah penyakit yang muncul terus menerus dan datang setiap saat. Terkadang gejala gangguan mental muncul pada dirinya. Saat gejala tersebut hilang, dia menjadi normal kembali. Bahkan orang yang bukan penyandang disabilitas pun suatu saat bisa sedih, marah-marah, hingga terganggu jiwanya.
Tidak dapat dipastikan kapan pengidap psikososial kambuh gejalanya. Begitu pula kapan hilangnya juga tidak dapat dipastikan. Bisa saja pengidap disabilitas gangguan mental dalam kondisi sehat saat pendaftaran pemilih.
Ketentuan dalam UU Pilkada tersebut dinilai diskriminatif. Terlebih lagi Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas. Pasal 29 Konvensi PBB tersebut menyebutkan partisipasi penyandang disabilitas dalam kehidupan politik dan publik. Negara harus menjamin hak politik penyandang cacat dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik secara penuh dan efektif, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas. Mereka memiliki hak dan kesempatan untuk memilih dan dipilih. Penyandang cacat juga harus mendapatkan jaminan kemudahan untuk mengakses dan menggunakan prosedur, fasilitas dan materi pemilihan.
Pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, cukup jelas tertoreh dalam konstitusi kita. Penyandang disabiltas berhak hidup sejajar dengan warga lainnya dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kondisi disabilitas tidak boleh menjadi penyebab hilangnya harkat dan martabat seseorang.

Nur Rosihin Ana

Rubrik Editorial Majalah Konstitusi Nomor 111 • Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More