Hak untuk memilih dan dipilih dalam
pemilihan umum adalah hak dasar (basic right) setiap warga negara yang
dijamin oleh konstitusi. Seluruh produk peraturan perundang-undangan tentang
Pemilu harus membuka ruang dan akses yang seluas-luasnya bagi setiap warga
negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya. Menghilangkan hak memilih bagi
warga negara merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Namun demikian, konstitusi juga memberikan
batasan kepada setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Pembatasan
ini ditetapkan dengan undang-undang. Adapun maksud dari pembatasan ini adalah
semata-mata untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil.
Di sekeliling kita, terdapat warga
negara penyandang disabilitas, atau dikenal dengan istilah difabel (different
ability). Penyandang disabilitas (disability) adalah orang yang
mengalami keterbatasan diri.
Apakah mereka berhak memberikan suara
atau memilih (right to vote) dalam Pemilu atau pemilihan kepala daerah?
Ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada (UU Nomor 8 Tahun 2015)
menyebutkan persyaratan bagi pemilih dalam pilkada. Yakni, “tidak sedang
terganggu jiwa/ingatannya”. Dengan kata lain, warga yang mengidap gangguan
mental, tidak memenuhi syarat sebagai pemilih.
Ketentuan tersebut dinilai bersifat
diskriminatif bagi pengidap disabilitas gangguan mental. Mereka kehilangan hak
memilih untuk dapat berpartisipasi dalam memilih calon kepala daerahnya.
Ketentuan tersebut juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses
pelaksanaan Pilkada, khususnya pada tahapan pemutakhiran dan pendaftaran
pemilih.
Padahal psikososial atau disabilitas
gangguan mental, bukanlah penyakit yang muncul terus menerus dan datang setiap
saat. Terkadang gejala gangguan mental muncul pada dirinya. Saat gejala
tersebut hilang, dia menjadi normal kembali. Bahkan orang yang bukan penyandang
disabilitas pun suatu saat bisa sedih, marah-marah, hingga terganggu jiwanya.
Tidak dapat dipastikan kapan pengidap
psikososial kambuh gejalanya. Begitu pula kapan hilangnya juga tidak dapat
dipastikan. Bisa saja pengidap disabilitas gangguan mental dalam kondisi sehat
saat pendaftaran pemilih.
Ketentuan dalam UU Pilkada tersebut
dinilai diskriminatif. Terlebih lagi Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB
tentang Hak Penyandang Disabilitas. Pasal 29 Konvensi PBB tersebut menyebutkan
partisipasi penyandang disabilitas dalam kehidupan politik dan publik. Negara
harus menjamin hak politik penyandang cacat dapat berpartisipasi dalam
kehidupan politik dan publik secara penuh dan efektif, baik secara langsung
maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas. Mereka memiliki hak dan
kesempatan untuk memilih dan dipilih. Penyandang cacat juga harus mendapatkan
jaminan kemudahan untuk mengakses dan menggunakan prosedur, fasilitas dan
materi pemilihan.
Pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum, cukup jelas tertoreh dalam konstitusi kita. Penyandang
disabiltas berhak hidup sejajar dengan warga lainnya dalam segala bidang
kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kondisi disabilitas tidak
boleh menjadi penyebab hilangnya harkat dan martabat seseorang.
Nur Rosihin Ana
Rubrik Editorial Majalah Konstitusi Nomor 111 • Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar