Tahun 2015 telah berlalu. Banyak pelajaran berharga yang dapat
dipetik dari setiap jejak langkah selama setahun ini. Jejak khidmah dan kiprah
Mahkamah Konstitusi selama 2015 semakin mengukuhkan jatidirinya sebagai penjaga
konstitusi dan pelindung hak konstitusional warga negara. Ikhtiar dan ijtihad
yang ditorehkan MK semata demi tegaknya keadilan sosial dan demokrasi, baik
demokrasi di tingkat nasional maupun lokal.
Setiap
insan dituntut berlaku adil sekaligus menjadi penegak keadilan. Definisi
keadilan secara umum yaitu menempatkan sesuatu secara proporsional, memberikan
hak kepada pemiliknya. Keadilan adalah memperlakukan sama terhadap hal-hal yang
sama dan memperlakukan berbeda terhadap dua hal yang memang berbeda. Konsep
keadilan yang demikian merupakan pengetahuan yang bersifat umum (tacit
knowledge). Antitesis dari keadilan yaitu kezaliman. Keadilan dan kezaliman
merupakan dua sisi kehidupan yang saling bertolak belakang.
Lembaga
peradilan sebagai organ penegak keadilan dituntut mampu memberikan rasa
keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Namun dalam praktiknya, penegakan
hukum oleh lembaga peradilan lebih memprioritaskan aspek kepastian hukum
dibandingkan aspek keadilan dan kemanfaatan. Aspek kepastian hukum menggeser
aspek keadilan. Hal ini tentu mencederai rasa keadilan masyarakat pencari
keadilan. Padahal Sejatinya kepastian hukum merupakan bagian dari ikhtiar untuk
mewujudkan keadilan.
Tujuan
Hukum sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Secara teoretis terdapat
tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan merupakan
tujuan utama yang bersifat universal. Ditinjau dari teori etis (etische theorie)
hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Keadilan adalah mahkota
hukum.
Sila
kelima dasar negara Pancasila tegas menyebutkan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat”. Amanat sila kelima ini berarti bahwa negara memikul tanggung jawab
untuk menciptakan keadilan dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, baik
dalam bidang politik, hukum, ekonomi, budaya, pemerintahan, HAM. Implementasi
keadilan di bidang politik antara lain dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang menjamin penyelenggaraan sistem politik yang demokratis
dan adanya perlindungan kemerdekaan politik bagi seluruh warga tanpa adanya
diskriminasi.
Khidmah Mahkamah
Berbagai
permasalahan hukum dan konstitusi menemukan titik solusi sejak Mahkamah
Konstitusi (MK) berdiri pada 2003. Segala ikhtiar dan ijtihad telah dilakukan
demi tegaknya keadilan sosial dan demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Peran tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan kewenangan konstitusional MK
dalam berbagai putusan, baik pengujian undang-undang maupun penyelesaian
sengketa kewenangan lembaga negara, yang menyangkut hajat hidup orang banyak
sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Selain
itu, sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, MK juga berperan menjadi
penyeimbang dan kontrol dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. MK menilai,
dalam era reformasi, demokrasi harus diimbangi dengan nomokrasi. Peran tersebut
juga diimplementasikan oleh MK melalui berbagai putusan pengujian undang-undang
tentang pemilihan kepala daerah (UU Pilkada) yang diajukan selama 2015.
Terlebih, momentum penyelenggaraan pilkada secara serentak yang dimulai pada 9
Desember 2015 menjadi kesempatan pertama bagi MK untuk menjalankan fungsi
pengawalan demokrasi lokal secara langsung. Sebagaimana diketahui,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
menyatakan, sebelum terbentuk badan peradilan khusus yang menangani
perkara-perkara perselisihan hasil pilkada, MK diberikan kewenangan untuk
menjalankan fungsi tersebut.
Sementara
itu, di luar pelaksanaan kewenangan-kewenangan konstitusionalnya, MK Indonesia
terpilih menjadi presiden Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan Lembaga Sejenis
se-Asia (The Association of Asia Constitutional Courts and Equivalent
Institutions atau AACC). Sebagai Presiden AACC, pada 2015 MK telah menunjukkan
peran pentingnya dalam kancah internasional dengan menggelar beberapa kegiatan
berskala internasional yang melibatkan mahkamah konstitusi dan lembaga sejenis
dari berbagai negara di dunia. MK Indonesia juga kerap diundang oleh MK atau
lembaga internasional lainnya untuk membagi pengalaman praktik konstitusional
MK Indonesia.
Keadilan
Sosial dan Demokrasi Lokal
Putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi merefleksikan penegakan keadilan sosial dan demokrasi, baik
demokrasi dalam skala nasional maupun lokal. Putusan-putusan MK memadukan sisi
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Sejak
berdiri pada 2003 hingga akhir 2015, MK telah melaksanakan tiga kewenangannya,
yakni kewenangan melakukan pengujian undang-undang (PUU), sengketa kewenangan
lembaga negara (SKLN), dan peselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Sedangkan
dua kewenangan lainnya, hingga detik ini belum pernah dilakukan. Yakni
kewenangan memutus pembubaran partai politik dan memberikan putusan dalam
proses pemberhentian presiden/wakil presiden dalam masa jabatannya. Kedua
kewenangan ini belum pernah dilakukan karena memang belum pernah ada permohonan
yang masuk ke MK terkait dua perkara ini.
Dalam
perkembangannya, berdasarkan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, MK mengemban amanat untuk
mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) yang
sebelumnya berada di Mahkamah Agung (MA). Namun, pada Mei 2014 MK mengeluarkan
Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah
bukan merupakan bagian dari rezim Pemilu sehingga MK tidak memiliki wewenang
untuk memeriksa dan memutusnya.
Sepanjang
tahun 2015, MK telah menerima dan meregistrasi sebanyak 141 perkara yang
terdiri dari perkara pengujian undang-undang sebanyak 140 perkara dan satu
perkara SKLN. Selain itu, terdapat perkara yang merupakan tindak lanjut perkara
tahun sebelumnya sebanyak 80 perkara. Dengan demikian, total perkara tahun 2015
yang ditangani MK sejumlah 221 perkara. Dari sejumlah perkara tersebut, telah
diputus sebanyak 158 perkara. Sisanya sebanyak 63 perkara dilanjutkan proses
pemeriksaannya pada 2016.
“Sepanjang
2015, MK telah melunasi tunggakan sebanyak 80 perkara pengujian undang-undang
yang merupakan sisa dari tahun 2014 lalu. Kemudian, MK telah menerima dan
meregistrasi sebanyak 141 perkara yang terdiri dari perkara pengujian
undang-undang sebanyak 140 perkara dan satu perkara SKLN. MK pun memutuskan
beberapa putusan yang fenomenal, di antaranya membatalkan seluruh Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA),” kata Ketua MK Arief
Hidayat di hadapan insan media saat memaparkan refleksi kinerja MK 2015 dan
proyeksi 2016, Rabu (30/12) di Gedung MK.
Adapun
sejak berdiri pada tahun 2003 sampai 2015, MK telah telah meregistrasi sebanyak
2.056 perkara. Dari seluruh perkara tersebut, telah diputus sebanyak 1.993
perkara dengan rincian sebanyak 330 perkara dikabulkan, 1.013 perkara ditolak,
499 perkara tidak dapat diterima, 13 perkara gugur, 120 perkara ditarik kembali
oleh Pemohon, dan 5 perkara Tidak Berwenang. Adapun sisanya, sebanyak 63
perkara masih dalam proses persidangan. Mahkota Keadilan Sosial
Ijtihad
yang telah ditorehkan MK dalam putusan pengujian UU memberi arah bagi dinamika
keadilan sosial dan iklim demokrasi yang sehat di Indonesia. MK memandang
keadilan sosial sebagai mahkota hukum yang harus tetap tegak berdiri. Dalam hal
ini MK merefleksikannya melalui putusan-putusan yang semata berpihak kepada
keadilan sosial.
Beberapa
putusan sepanjang 2015 yang menjadi putusan fenomenal (landmark decision) yang
merefleksikan keadilan sosial di antaranya, yaitu MK membatalkan seluruh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Putusan
bernomor 85/PUU-XI/2013 tersebut menyatakan UU SDA tidak memenuhi enam prinsip
dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Selain itu, ketentuan Hak Guna
Usaha Air dalam UU SDA dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber
air, sungai, danau, atau rawa. Padahal, Hak Guna Usaha Air merupakan instrumen
pengendalian, bukan instrumen penguasaan. Swasta tidak boleh melakukan
penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan
pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang
ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat.
Pada
persidangan pleno pengucapan putusan, Kamis, 9 Juli 2015, MK menyatakan
Konsumen PT PLN Persero yang tidak memiliki Sertifikat Laik Operasi (SLO) tidak
terancam sanksi kurungan penjara, melainkan hanya sanksi denda. Hal tersebut
ditegaskan MK dalam putusan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan). Dalam Putusan nomor
58/PUU-XIII/2015, MK menyatakan tidak tepat apabila ketiadaan SLO dalam
instalasi listrik dikenakan sanksi pidana penjara. Pelanggaran administrasi
karena tidak adanya SLO dalam instalasi listrik bukanlah tindakan kejahatan
pembunuhan, pelanggaran HAM, atau pencurian yang menghilangkan hak orang lain.
Oleh karena itu, sanksi pidana penjara yang dijatuhkan kepada masyarakat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik bertentangan dengan
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Kemudian
pada Kamis 10 Desember 2015, melalui putusan nomor 31/PUU-XIII/2015 MK juga
menegaskan bahwa pasal penghinaan merupakan delik aduan. Dengan kata lain,
Pejabat yang merasa dicemarkan nama baiknya harus melaporkan sendiri kerugian
tersebut kepada pihak yang berwenang. Dalam putusannya, MK menyatakan frasa ‘kecuali
berdasarkan Pasal 316’ dalam ketentuan Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana bertentangan dengan Konstitusi.
Adapun
perkara lain yang telah diputus kabul oleh MK antara lain putusan UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU Sistem Keolahragaan Nasional;
UU Hukum Acara Pidana; UU Otoritas Jasa Keuangan; UU Aparatur Sipil Negara; UU
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
UU Advokat; UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan Tata Usaha
Negara; UU Ketenagakerjaan; UU Kehutanan; dan UU Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
Sepanjang
2015, perkara PUU diregistrasi Kepaniteraan MK adalah sebanyak 140 perkara dan
sisa tahun sebelumnya 80 perkara, sehingga jumlah perkara yang ditangani
sebanyak 220 perkara. Dari jumlah tersebut, telah diputus 157 perkara dan
sisanya, sebanyak 63 perkara masih dalam proses pemeriksaan. Adapun jika
dirinci berdasarkan amar putusan, sebanyak 25 perkara dikabulkan, 50 perkara
ditolak, 61 perkara tidak dapat diterima, 4 perkara gugur, 15 perkara ditarik
kembali oleh Pemohon, 2 perkara tidak berwenang.
Kemudian
pada Kamis 10 Desember 2015, melalui putusan nomor 31/PUU-XIII/2015 MK juga
menegaskan bahwa pasal penghinaan merupakan delik aduan. Dengan kata lain,
Pejabat yang merasa dicemarkan nama baiknya harus melaporkan sendiri kerugian
tersebut kepada pihak yang berwenang. Dalam putusannya, MK menyatakan frasa ‘kecuali
berdasarkan Pasal 316’ dalam ketentuan Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana bertentangan dengan Konstitusi.
Adapun
perkara lain yang telah diputus kabul oleh MK antara lain putusan UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU Sistem Keolahragaan Nasional;
UU Hukum Acara Pidana; UU Otoritas Jasa Keuangan; UU Aparatur Sipil Negara; UU
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
UU Advokat; UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan Tata Usaha
Negara; UU Ketenagakerjaan; UU Kehutanan; dan UU Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
Sepanjang
2015, perkara PUU diregistrasi Kepaniteraan MK adalah sebanyak 140 perkara dan
sisa tahun sebelumnya 80 perkara, sehingga jumlah perkara yang ditangani
sebanyak 220 perkara. Dari jumlah tersebut, telah diputus 157 perkara dan
sisanya, sebanyak 63 perkara masih dalam proses pemeriksaan. Adapun jika
dirinci berdasarkan amar putusan, sebanyak 25 perkara dikabulkan, 50 perkara
ditolak, 61 perkara tidak dapat diterima, 4 perkara gugur, 15 perkara ditarik
kembali oleh Pemohon, 2 perkara tidak berwenang.
Total
sebagaimana tersebut adalah dalam rangka menguji konstitusionalitas sebanyak 76
undang-undang. Dari total 76 undang-undang yang dimohonkan untuk diuji ke MK
selama 2015, terdapat beberapa undang-undang yang memiliki frekuensi pengujian
yang cukup tinggi yaitu:
1. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang diuji sebanyak
31 kali.
2. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diuji sebanyak 12 kali.
3. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diuji sebanyak 6 kali.
4. Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diuji sebanyak
5 kali.
5. Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebanyak 4 kali.
6. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebanyak 4 kali.
7. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial sebanyak 4 kali.
8. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebanyak 4
kali.
9. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebanyak 4 kali.
10. Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebanyak 4 kali.
Perkara
PUU yang diregistrasi MK cenderung mengalami peningkatan yang fluktuatif dari
tahun ke tahun. Kenaikan signifikan terjadi dalam empat tahun terakhir. Jika
pada 2003-2010 perkara PUU masih pada kisaran angka 24-86 perkara, pada 2012
perkara PUU yang diregistrasi meningkat yaitu sebanyak 118, kemudian pada 2013
menurun sebanyak 109, pada 2014 sebanyak 140, dan pada 2015 sebanyak 140
perkara.
Berdasarkan
grafik di atas, total perkara PUU yang ditangani MK sejak 2003 hingga 2015
sebanyak 921 perkara dan telah diputus sebanyak 858 perkara. Adapun rincian
perkara yang diputus jika diklasifikasikan berdasarkan amar putusan, sebanyak
203 perkara dikabulkan, 297 perkara ditolak, 251 perkara tidak diterima, 13 perkara
gugur, 89 perkara ditarik kembali, dan terhadap 5 perkara MK menyatakan tidak
berwenang. Sedangkan sisanya, sebanyak 63 perkara PUU masih dilanjutkan proses
pemeriksaannya pada 2016.
Kewenangan
MK untuk melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial
review/constitutional review) dilandasi oleh Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kemudian teknis pelaksanaannya diatur
dalam Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian UU.
Permohonan
judicial review, dapat digolongkan dalam dua jenis, yakni pengujian terhadap
materi undang-undang atau norma hukum (biasa disebut pengujian materiil) dan
pengujian terhadap prosedur pembentukan undang-undang, (biasa disebut pengujian
formil). Dalam praktiknya, pengujian materiil dan pengujian formil dapat
dilakukan bersamaan oleh Pemohon yang sama.
Nur
Rosihin Ana
Dalam Rubrik
Laporan Utama Majalah Konstitusi Nomor 107 • Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar