Rabu, 20 Januari 2016

Khidmah Mengawal Keadilan Sosial dan Demokrasi Lokal

Pergantian tahun 2015 ke 2016 hendaknya menjadi momentum untuk melakukan muhasabah, refleksi dan proyeksi. Segala apa yang terjadi di 2015 patut menjadi bahan evaluasi dalam penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan Indonesia menuju terwujudnya keadilan sosial.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memberi arti tersendiiri bagi pemulihan keadilan sosial dan demokrasi. Para pendiri bangsa telah mengumandangkan keadilan sosial menjadi cita-cita besar yang ingin diwujudkan sejak Indonesia diproklamirkan. Cita-cita ini ditorehkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sila Pancasila kelima.
Amanat konstitusi ini senantiasa dijaga MK melalui putusan-putusannya. Sepanjang 2015 MK menorehkan beberapa putusan yang merefleksikan keadilan sosial. Misalnya putusan yang cukup fenomenal tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Dalam Putusan 85/PUU-XI/2013 MK dengan lantang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). MK dengan lugas menegaskan bahwa hak guna usaha air merupakan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan. Swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas SDA. Swasta hanya dapat melakukan pengusahaan dalam alokasi tertentu dengan izin yang ketat.
Penghujung 2015 merupakan tahun politik lokal yang ditandai dengan adanya perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak. Sebanyak 264 daerah mengikuti pilkada serentak etape pertama yang digelar pada 9 Desember 2015. Pilkada serentak etape berikutnya rencananya digelar pada 2017, 2018, 2020, 2022, 2023. Pilkada serentak secara nasional diharapkan benar-benar dapat diselenggarakan pada 2027.
Pilkada secara langsung oleh rakyat pertama kali digelar pada Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara. Sejak itulah pilkada digelar di daerah-daerah dalam waktu yang berbeda-beda alias tidak serentak. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari pelaksanaan pilkada tidak serentak selama satu dasawarsa ini.
Sejarah perjalanan pilkada di Indonesia mayoritas menyisakan sengketa. Kiprah MK dalam menangani perkara sengketa pilkada bermula pada Oktober 2008. Kemudian pada 19 Mei 2014, MK mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa penyelesaian sengketa pilkada bukan wewenang MK. Namun demikian, MK tetap berwenang mengadilinya sebelum lahirnya UU yang mengaturnya.
Mengemban amanat bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi amanat yang menyangkut daulat rakyat. Pada suatu masa, muruah MK terjun bebas ke titik nadir. Ketua MK kala itu, M. Akil Mochtar, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada Rabu, 2 Oktober 2013 malam. Akil ditangkap terkait perkara suap pilkada. Kasus Akil menjadi pelajaran berharga bagi dunia peradilan, wabil khusus segenap jajaran MK agar tidak mempermainkan perkara yang ditanganinya.
Sejak pendaftaran PHP Kada dibuka MK pada 16-26 Desember 2015, MK menerima pendaftaran PHP kada sebanyak 147 permohonan dari 132 daerah. Sebanyak 128 perkara PHP kada diajukan oleh pasangan calon bupati, 11 perkara diajukan oleh pasangan calon walikota, sebanyak 6 perkara diajukan oleh pasangan calon gubernur, 1 perkara diajukan oleh pemantau pilkada dengan calon tunggal di Kabupaten Tasikmalaya, dan 1 pemohon yang bukan pasangan calon kepala daerah, yaitu pemohon perkara PHP kada Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Pilkada secara langsung oleh rakyat merupakan manifestasi dari daulat rakyat. Mempermainkan perkara sengketa pilkada merupakan pengkhianatan terhadap daulat rakyat. Semoga MK purna mengemban amanat mengawal daulat rakyat dalam pilkada serentak 2015 dengan sepenuh khidmah, sehingga husnulkhatimah.

Nur Rosihin Ana


Dalam Rubrik Editorial Majalah Konstitusi Nomor 107 • Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More