Pergantian
tahun 2015 ke 2016 hendaknya menjadi momentum untuk melakukan muhasabah,
refleksi dan proyeksi. Segala apa yang terjadi di 2015 patut menjadi bahan
evaluasi dalam penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan Indonesia menuju
terwujudnya keadilan sosial.
Eksistensi
Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memberi arti
tersendiiri bagi pemulihan keadilan sosial dan demokrasi. Para pendiri bangsa
telah mengumandangkan keadilan sosial menjadi cita-cita besar yang ingin
diwujudkan sejak Indonesia diproklamirkan. Cita-cita ini ditorehkan dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sila Pancasila kelima.
Amanat
konstitusi ini senantiasa dijaga MK melalui putusan-putusannya. Sepanjang 2015
MK menorehkan beberapa putusan yang merefleksikan keadilan sosial. Misalnya
putusan yang cukup fenomenal tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Dalam Putusan
85/PUU-XI/2013 MK dengan lantang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air (UU SDA). MK dengan lugas menegaskan bahwa hak guna
usaha air merupakan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan. Swasta
tidak boleh melakukan penguasaan atas SDA. Swasta hanya dapat melakukan
pengusahaan dalam alokasi tertentu dengan izin yang ketat.
Penghujung
2015 merupakan tahun politik lokal yang ditandai dengan adanya perhelatan
pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak. Sebanyak 264 daerah
mengikuti pilkada serentak etape pertama yang digelar pada 9 Desember 2015.
Pilkada serentak etape berikutnya rencananya digelar pada 2017, 2018, 2020,
2022, 2023. Pilkada serentak secara nasional diharapkan benar-benar dapat
diselenggarakan pada 2027.
Pilkada
secara langsung oleh rakyat pertama kali digelar pada Juni 2005 di Kabupaten
Kutai Kartanegara. Sejak itulah pilkada digelar di daerah-daerah dalam waktu
yang berbeda-beda alias tidak serentak. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari
pelaksanaan pilkada tidak serentak selama satu dasawarsa ini.
Sejarah
perjalanan pilkada di Indonesia mayoritas menyisakan sengketa. Kiprah MK dalam
menangani perkara sengketa pilkada bermula pada Oktober 2008. Kemudian pada 19
Mei 2014, MK mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa
penyelesaian sengketa pilkada bukan wewenang MK. Namun demikian, MK tetap
berwenang mengadilinya sebelum lahirnya UU yang mengaturnya.
Mengemban
amanat bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi amanat yang menyangkut daulat
rakyat. Pada suatu masa, muruah MK terjun bebas ke titik nadir. Ketua MK kala
itu, M. Akil Mochtar, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada
Rabu, 2 Oktober 2013 malam. Akil ditangkap terkait perkara suap pilkada. Kasus
Akil menjadi pelajaran berharga bagi dunia peradilan, wabil khusus segenap
jajaran MK agar tidak mempermainkan perkara yang ditanganinya.
Sejak
pendaftaran PHP Kada dibuka MK pada 16-26 Desember 2015, MK menerima
pendaftaran PHP kada sebanyak 147 permohonan dari 132 daerah. Sebanyak 128
perkara PHP kada diajukan oleh pasangan calon bupati, 11 perkara diajukan oleh
pasangan calon walikota, sebanyak 6 perkara diajukan oleh pasangan calon
gubernur, 1 perkara diajukan oleh pemantau pilkada dengan calon tunggal di
Kabupaten Tasikmalaya, dan 1 pemohon yang bukan pasangan calon kepala daerah,
yaitu pemohon perkara PHP kada Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Pilkada
secara langsung oleh rakyat merupakan manifestasi dari daulat rakyat.
Mempermainkan perkara sengketa pilkada merupakan pengkhianatan terhadap daulat
rakyat. Semoga MK purna mengemban amanat mengawal daulat rakyat dalam pilkada
serentak 2015 dengan sepenuh khidmah, sehingga husnulkhatimah.
Nur
Rosihin Ana
Dalam Rubrik Editorial Majalah
Konstitusi Nomor 107 • Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar