Erwin
Arifin dan Priyo Budi Utomo telah ditetapkan sebagai pasangan calon
bupati/wakil bupati Lampung Timur. Namun Priyo meninggal dunia di masa kampanye
sehingga Erwin tidak memiliki pasangan. Akibatnya pencalonan Erwin dalam
Pilkada serentak 2015 dinyatakan gugur. Erwin menggugat ketentuan Pasal 54 ayat
(5) UU Pilkada yang menyebabkan pencalonannya gugur.
Pasangan
Erwin Arifin dan Priyo Budi Utomo dikukuhkan sebagai pasangan calon bupati
Lampung Timur oleh Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten
Lampung Timur Nomor 42/Kpts/KPU.Kab.008-435605/2015 tentang Pasangan Calon
Bupati dan wakil Bupati yang Memenuhi Persyaratan Menjadi Peserta Pemilihan
Bupati dan wakil Bupati Lampung Timur Tahun 2015. Namun, di tengah
berlangsungnya tahapan masa kampanye, tepatnya pada 3 November 2015, cawabup
Priyo Budi Utomo meninggal dunia. Sejak meninggalnya Priyo otomatis Erwin tidak
memiliki pasangan.
Atas
meninggalnya Priyo, KPU Lampung Timur menerbitkan SK Nomor
56/Kpts/KPU.Kab-008.435605/2015. Intinya, SK ini menyatakan pasangan calon
Erwin-Priyo gugur. Posisi Priyo tidak dapat digantikan calon lain. SK KPU
Lampung Timur Nomor 56/Kpts/KPU.Kab-008.435605/2015 ini merujuk pada Pasal 83
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 tahun 2015 yang mendasarkan pada ketentuan Pasal
54 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Ana
Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Erwin
merasa hak konstitusionalnya yakni hak untuk dipilih, direnggut oleh ketentuan
tersebut. Melalui konsultan hukum yang tergabung dalam Badan Bantuan Hukum dan
Advokasi (BBHA) Pusat DPP PDI Perjuangan, Erwin mengadukan hal ini ke Mahkamah
Konstitusi (MK).
Salah
seorang kuasa hukum Erwin, Sirra Prayuna, pada 6 November 2015 mendatangi MK
untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada. Permohonan
ini dilengkapi dengan daftar bukti P-1 sampai P-5. Setelah berkas permohonan
lengkap, pada 13 November 2015 Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan ini
dengan Nomor 140/PUU-XIII/2015.
Sidang
perdana perkara Nomor 140/PUU-XIII/2015 ihwal uji materi UU Pilkada ini digelar
pada Selasa, 24 November 2015 dengan panel hakim Maria Farida Indrati (ketua
panel), I Dewa Gede Palguna, dan Wahiduddin Adams, serta didampingi seorang
Panitera Pengganti, Achmad Edi Subiyanto. Selanjutnya, pada 27 November 2015,
kuasa hukum Erwin lainnya, Badrul Munir mendatangi MK untuk menyerahkan
perbaikan permohonan. Sidang berikutnya dengan agenda perbaikan permohonan
digelar pada Kamis, 3 Desember 2015. Dalam persidangan ini, kuasa hukum Erwin,
menambahkan bukti P-6 beserta surat kuasa.
Gugur
di Etape Kampanye
Sejak
meninggalnya Priyo Budi Utomo, hak konstitusional Erwin yang dijamin oleh
konstitusi yakni hak untuk dipilih dalam Pilkada Lampung Timur, serta merta
hilang. Hal ini akibat berlakunya ketentuan norma Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada.
Menurut Erwin, pemberlakuan Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada merugikan hak
konstitusional Erwin dan warga negara lainnya yang dijamin oleh Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan UU Hak Asasi Manusia.
Pasal
27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.” Hal ini diperkuat dengan Pasal 43 UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap warga Negara
berhak dipilih dan memih dalam pemilu.” Sedangkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
mengatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Gugur
dalam kontestasi Pilkada karena pasangan calon meninggal saat tahapan kampanye,
bukan hanya terjadi kali ini saja. Hal ini sebelumnya juga terjadi Kabupaten
Toli-toli tahun 2010, cawabup Amiruddin H. Nua meninggal dunia sehingga
menyebabkan pasangannya tereliminasi dari pencalonan. Calon kepala daerah
lainnya yang meninggal di etape kampanye yaitu Ruswandi Hasan (cabup Mesuji
Tahun 2011), Chalik Effendi (cabup Oku Selatan Tahun 2010), Henry Edom (cawabup
Bulungan Tahun 2005), dan Zubaidah Hambali (cabup Lampung Utara Tahun 2008).
Inkonsistensi
Arti
Menurut
Pemohon, telah terjadi inkonsistensi penerapan makna pada frasa “pasangan
calon” dalam tahapan pemilihan dalam UU Pilkada. Hal ini berakibat pada
perlakuan yang diskriminatif terhadap pasangan calon yang dinyatakan
berhalangan tetap. Menurut Penjelasan Umum huruf c UU Pilkada, Pasangan calon
dalam konsepsi Perppu adalah calon kepala daerah dipilih tanpa wakil. Di dalam
UU ini, konsepsi tersebut diubah kembali seperti mekanisme sebelumnya, yaitu
pemilihan secara berpasangan atau paket. Atas dasar demikian, paradigma yang
terdapat dalam UU Pilkada sama dengan paradigma yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur tentang Pemilihan Kepala
Daerah.
Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Nomor 40/PUU-VIII/2010 berpandangan bahwa pasangan
calon adalah satu paket sebagaimana paradigma yang dianut oleh UU Pilkada yang
diuji ini. Mahkamah dalam putusan tersebut menyatakan bahwa ketentuan pasal 63
ayat (2) UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) tidak bertentangan
dengan UUD 1945 karena menurut Mahkamah tidak ada pemberlakuan berbeda atas
setiap orang atau kelompok dan tidak ada perbedaan tafsir yang menimbulkan
pelanggaran terhadap konstitusi. Substansi Pasal 63 ayat (2) UU Pemda tersebut
adalah sama persis dengan pasal 54 ayat (5) UU Pilkada yang diuji.
Dengan
demikian maka pengguguran secara serta merta bagi pasangan calon disebabkan
wafatnya pasangannya adalah konstitusional nyata-nyata tidak tercermin dalam
Pasal 54 UU Pilkada itu sendiri. Sebab, dalam Pasal 54 ayat (1), ayat (4), ayat
(6) tidak diterapkan secara seragam konsepsi “pasangan calon adalah satu
kesatuan pasangan calon.” Ketentuan Pasal 54 ayat (1), (4), (6) UU Pilkada
masih memberikan kesempatan untuk dilakukan penggantian pasangan calon yang
berhalangan tetap. Penerapan konsepsi yang berbeda antara pasal 54 ayat (5)
dengan pasal 54 ayat (1), ayat (4), dan ayat (6) UU Pilkada nyata-nyata telah
bertentangan dengan prinsip non diskriminasi sebagamaina diatur dalam pasal 28I
ayat (2) UUD 1945.
Wilayah
Takdir
Mahkamah
Konstitusi pada Senin 19 Juli 2010 mengeluarkan Putusan Nomor 40/PUU-VIII/2010
ihwal pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD
1945. Pada halaman 31 putusan tersebut, Mahkamah berpendapat, “meninggalnya
salah satu pasangan calon sehingga menyebabkan pasangannya tidak dapat
mengikuti Pemilukada adalah suatu takdir Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak dapat
diprediksi oleh manusia; Ia berlaku untuk pasangan manapun sesuai
kehendak-Nya.”
Menurut
Erwin, meninggal dunia adalah takdir. Sedangkan pengguguran atas nama UU
terhadap calon yang masih hidup, bukanlah takdir. Pertimbangan hukum Mahkamah
dalam Putusan Nomor 40/PUU-VIII/2010 tersebut sangatlah tidak relevan.
Pengguguran pasangan calon dikarenakan meninggalnya salah satu pasangan calon
sebagai takdir, menurut hemat Erwin adalah tidak tepat. Sebab masih terdapat
hak konstitusional pasangannya yang masih hidup yang dihilangkan. Kecuali kedua
orang yang merupakan satu pasangan calon sama-sama berhalangan tetap.
Seharusnya
yang dianggap sebagai takdir, menurut Pemohon, adalah mengenai kematian salah
satu pasangan calon. Sementara bagi pasangan calon yang masih hidup yang tidak
dapat mengikuti Pemilukada, bukanlah takdir melainkan akibat hukum dari
pemberlakuan UU.
Peristiwa
hukum meninggalnya Priyo Budi Utomo yang merupakan pasangan Pemohon, adalah
sebuah manifestasi dari takdir Ilahi yang tentu saja di luar kehendak manusia.
Artinya hal itu di luar kehendak dan kendali Erwin, penyelenggara Pemilu,
peserta Pemilu yang lain, para calon pemilih, pembuat UU (Pemerintah dan DPR)
bahkan juga Mahkamah Konstitusi.
Semestinya
yang hilang hanyalah hak calon wakil bupati Priyo Budi Utomo dikarenakan
meninggal dunia. Sedangkan bagi Erwin Arifin yang masih hidup dan sudah
ditetapkan sebagai calon Bupati semestinya tetap memiliki hak konstitusional
untuk dipilih maupun memilih. Rumusan norma Pasal 54 Ayat (5) UU Pilkada sama sekali
tidak memberikan jalan keluar bagi Erwin. Bahkan rumusan tersebut menimbulkan
kekosongan hukum yang mengancam hak Erwin untuk dipilih.
Perlakuan
Sama
Mahkamah
dalam banyak putusannya sering kali menyampaikan pendirian Mahkamah sebagai
pengawal konstitusi. Mahkamah tidak boleh membiarkan terjadinya pelanggaran
terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Hal ini salah satunya tercermin
dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 yang menyatakan,
“Mahkamah, sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, tidak akan membiarkan
adanya norma dalam Undang-Undang yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan
amanat perlindungan konstitusional yang dikonstruksikan Mahkamah.”
Kemudian,
Mahkamah dalam Putusan MK No 100/PUU-XIII/2015 mengizinkan pembukaan
pendaftaran kembali bagi calon tunggal peserta Pilkada dengan pertimbangan demi
menjamin terpenuhinya hak konstitusi warga negara. Mahkamah menyatakan bahwa
Pilkada harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan calon.
Dengan
demikian, maka menurut Erwin, apa yang dialaminya ini dapat menjadi
pertimbangan bagi Mahkamah untuk memberikan kesempatan yang sama dalam hal ini
untuk mengajukan wakil pengganti demi terpenuhinya hak konstitusional Erwin.
Seharusnya, pertimbangan hukum yang sama berlaku pula dan menjadi dasar
Mahkamah dalam memutus permohonan Erwin ini. Sebab, bila dicermati, situasi dan
kondisi yang sama juga sedang berlaku bagi Erwin saat ini, dimana hak
konstitusi Erwin selaku warga negara untuk memilih dan dipilih menjadi terlanggar
dengan adanya ketentuan norma pasal 54 ayat (5) UU Pilkada. Perlakuan yang sama
juga berlaku bagi Erwin. Semestinya Mahkamah juga memberikan pertimbangan hukum
dan dasar pemikiran yang sama bagi Erwin dengan apa yang telah menjadi
pertimbangan hukum dan dasar pemikiran Mahkamah pada Putusan Nomor
100/PUU-XIII/2015 tersebut.
Oleh
karena itu, dalam petitum Erwin memohon Mahkamah agar mengabulkan
permohonannya. Erwin meminta Mahkamah menyatakan pasal 54 ayat (5) UU Pilkada
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkuatan hukum tetap, sepanjang tidak
dimaknai mencakup pengertian “Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada
saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat 2 (dua)
pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan Pemilihan dilanjutkan dan
pasangan calon yang berhalangan tetap dapat diganti dengan diberikan waktu yang
wajar dan patut.”
Nur
Rosihin Ana
Dalam
Rubrik Catatan Perkara Majalah Konstitusi Nomor 107 • Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar