Pemilihan
umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh
rakyat, pertama kali digelar di Indonesia pada Juni 2005. Sebelumnya, kepala
daerah dan wakilnya, dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Adapun
asas hukum pilkada langsung yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka
mulai Juni 2005 kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur, bupati,
walikota) dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pilkada belum
masuk dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Baru setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada
masuk dalam rezim pemilu, sehingga dinamakan pemilukada.
Penyelenggaraan
Pilkada secara langsung menjelma menjadi isu krusial pada 2014. Hal ini
mendorong Pemerintah untuk mengusulkan RUU Pilkada. DPR dalam sidang Paripurna
25 September 2014, memutuskan RUU Pilkada usulan Pemerintah ini menjadi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. UU Pilkada ini pada intinya mengembalikan mekanisme pemilihan kepala
daerah menjadi tidak langsung. Dengan kata lain, penentuan kepala daerah
dipilih oleh DPRD.
Beberapa
alasan yang mendasari pemilihan tidak langsung antara lain, pilkada langsung
menyebabkan maraknya politik uang, biaya politik yang tinggi menjadi penghalang
munculnya calon berkualitas, memunculkan politik balas budi, dan penghematan
anggaran cukup signifikan. Pilkada langsung dituding menjadi pemicu konflik
horizontal di masyarakat. Selain itu, maraknya kasus kepala daerah yang
terpilih dalam pilkada banyak yang menjadi tersangka. Bahkan penangkapan mantan
Ketua MK M. Akil Mochtar oleh KPK, juga terkait sengketa pilkada di MK.
Layu
sebelum berkembang. Begitulah nasib Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014. Di
tengah polemik pro-kontra pilkada oleh DPRD, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait
pilkada, pada Kamis 2 Oktober 2014. Yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada). Perppu ini mencabut
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur mekanisme pemilihan
kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD. Salah satu pertimbangan
lahirnya perppu ini adalah karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 mendapatkan
penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah
menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
Kemudian
Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perppu ini intinya menghapus tugas dan
wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.
Perppu
Nomor 1 Tahun 2014 disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat paripurna DPR RI
yang digelar pada Selasa 20 Januari 2015. Pemerintah selanjutnya menetapkannya
sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Namun,
lagi-lagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 ini pun tak luput dari revisi. Lalu
lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik Laporan Utama Majalah “Konstitusi” No.
103 September 2015, hal. 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar