Pemilihan kepala
daerah (pilkada) secara serentak gelombang pertama akan digelar pada 9 Desember
2015 mendatang. Pilkada ini untuk memilih kepala daerah yang masa jabatannya
berakhir pada 2015 hingga rentang Januari-Juli 2016.
Pilkada secara serentak
merupakan hal baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Secara praksis
pilkada serentak belum memiliki rujukan. Di sisi lain, pilkada serentak 2015
diharapkan menjadi barometer bagi penyelenggaraan pilkada serentak berikutnya,
yakni pilkada serentak pada 2017, 2018, 2020, 2022, 2023. Barulah pada 2027,
pilkada direncanakan dapat digelar serentak secara nasional.
Berkaca pada proses
demokrasi di lapis bawah, betapa suksesi kepemimpinan di tingkat desa dari masa
ke masa patut menjadi pembelajaran yang berharga. Pada saat Presiden/Wakil
Presiden masih dipilih oleh MPR, anggota legislatif tidak dipilih langsung, dan
kepala daerah masih dipilih oleh DPRD, masyarakat di desa sudah terbiasa
menyalurkan suaranya secara langsung dalam pemilihan kepala desa (pilkades).
Pada saat pilkada
belum digelar serentak, pilkades digelar serentak di tingkat kabupaten/kota.
Kemudian saat pilkada menemui masalah karena hanya diikuti pasangan calon
tunggal, pilkades justru sudah terbiasa dengan hal ini. Kontestasi pilkades melawan
“bumbung” kosong atau kotak kosong, merupakan praktik demokrasi yang sudah
berlangsung lama di tingkat desa.
Kisah Tahanta dalam
kontestasi pilkades cukup unik dan menarik. Tahanta merupakan calon tunggal
dalam Pilkades Dlingo, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Empat kali
berturut-turut ia kalah dalam pilkades. Padahal lawan Tahanta adalah kotak
kosong. Barulah pada putaran kelima, ia berhasil mengungguli lawannya yang tak
lain adalah kotak kosong.
Tragedi demokrasi
terjadi di saat calon tunggal memunculkan calon boneka. Misalnya yang terjadi
di Blitar, Jawa Timur. Sebanyak 153 desa di Blitar ikut pilkades serentak yang
digelar pada 27 Oktober 2013. Uniknya, sebanyak 23 desa pesertanya adalah
pasangan suami istri (pasutri). Para suami itu merupakan calon tunggal. Mereka
khawatir kalah melawan kotak kosong. Lalu mereka mendaftarkan istri mereka
untuk ikut dalam kontestasi pilkades. Mereka menjadikan istri mereka sebagai
calon boneka.
Tentu pilkada tidak
sesederhana pilkades. Persyaratan menjadi calon kepada daerah, tidak semudah
dan semurah pilkades. Pasangan calon kepala daerah diusulkan oleh partai
politik (parpol), gabungan parpol, atau dari jalur perseorangan (independen).
Parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah
memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD
atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di
daerah yang bersangkutan.
Sedangkan syarat
dukungan bagi calon perseorangan, MK pada Selasa (29/9/2015) lalu mengeluarkan
Putusan Nomor 60/PUU-XIII/2015. MK memutuskan, dasar perhitungan persentase
dukungan bagi calon kepala daerah dari jalur perseorangan adalah mengacu pada
Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu sebelumnya. Namun, karena tahapan pilkada
serentak 2015 telah berjalan, maka putusan ini berlaku setelah pilkada serentak
2015.
Lalu bagaimana jika
hanya ada pasangan calon tunggal dalam pilkada? Penundaan pilkada karena hanya
diikuti satu pasangan calon, tentu merugikan hak konstitusional warga negara,
yaitu hak untuk memilih dan dipilih. Adanya pasangan calon tunggal tidak dapat
dijadikan sebagai alasan untuk menunda pelaksanaan pilkada. KPU harus
menetapkan pasangan calon tunggal setelah jangka waktu tiga hari penundaan
terlampaui, namun tetap hanya ada satu pasangan calon.
Putusan MK Nomor
100/PUU-XIII/2015 membuka sumbatan keran demokrasi pelaksanaan pilkada di
sejumlah daerah yang semula ditunda karena hanya diikuti oleh satu pasangan
calon. Solusi jitu ala MK dalam putusannya yaitu, pemilih cukup menyatakan
“setuju” atau “tidak setuju”. Jadi, jika pilkada di daerah Anda hanya diikuti
satu pasangan calon, Anda tinggal pilih “setuju” atau “tidak setuju”. Gitu aja
kok repot.
Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik “Editorial”
Majalah Konstitusi No. 104 – Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar