Pelaksanaan Pemilihan kepala daerah
(pilkada) serentak nasional akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2015.
Namun pilkada Kota Surabaya dan beberapa kota lain di Indonesia terancam
dibatalkan atau ditunda pelaksanaannya dikarenakan hanya ada satu pasangan
calon pendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana
(Risma-Wisnu) resmi mendaftar sebagai calon walikota dan wakil walikota
Surabaya. Risma-Wisnu mendatangi Kantor KPU Kota Surabaya dengan menaiki becak
diantar para pendukungnya, Ahad (26/7/2015) lalu. Hari itu merupakan hari
pertama KPU Kota Surabaya membuka pendaftaran. Hingga batas akhir pendaftaran,
ternyata belum juga muncul pasangan calon lain yang mendaftar. KPU Kota
Surabaya pun melakukan perpanjangan masa pendaftaran.
Ketentuan dalam UU Pilkada mensyaratkan
pilkada paling sedikit diikuti oleh dua pasangan calon. Ketentuan ini
berpotensi menyebabkan pelaksanaan Pilkada Kota Surabaya dan beberapa kota lain
di Indonesia terancam dibatalkan atau ditunda.
Merasa dirugikan dengan persyaratan
tersebut, calon wakil walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana bersama seorang
warga Surabaya, H. Syaifuddin Zuhri, pada 24 Juli 2015 mengajukan permohonan
uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan ini diregistrasi
Kepaniteraan Mahkamah dengan Ana
Nomor 96/PUU-XIII/2015 pada 11 Agustus
2015.
Whisnu dalam permohonannya mengujikan
sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU PERKARA
Pilkada) Terhadap Undang Undang Dasar
1945. Adapun materi yang diujikan yaitu, Pasal 121 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015, dan Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2), Pasal 122 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
Pasal 51 Ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015
“Berdasarkan
berita acara penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPU Propinsi
menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Gubernur dan calon Wakil
Gubernur dengan Keputusan KPU Propinsi”
Pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015
“Berdasarkan
berita acara penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPU Kabupaten/Kota
menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Bupati dan calon Wakil Bupati
serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota dengan Keputusan KPU
Kabupaten/Kota”
Pasal 121 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015
“Dalam hal di suatu wilayah Pemilihan terjadi bencana alam,
kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan
terganggunya seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan maka dilakukan Pemilihan
susulan.”
Minimal Dua Pasang
Ketentuan pasal 51 ayat (2) dan pasal 52
ayat (2) UU Pilkada diatur mengenai peserta pemilihan “paling sedikit 2 (dua)”
pasangan calon. Para Pemohon berdalil bahwa ketentuan pasal 51 Ayat (2), pasal
52 Ayat (2), pasal 121 Ayat (1) dan 122 Ayat (1) UU Pilkada ini dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum akibat penafsiran yang salah terkait ketentuan
penundaaan pemilihan.
Menurut Para Pemohon, UU Pilkada tidak
mengantisipasi situasi yang menyebabkan pasangan calon peserta pilkada kurang
dari dua pasangan calon. Situasi ini terjadi bukan akibat kesalahan dari
pasangan calon yang sudah memenuhi persyaratan. Karena itu, menjadi tidak adil
jika situasi tersebut menyebabkan ketidakpastian bagi pasangan calon sebagai
peserta pemilihan.
Perlakuan tidak yang adil ini tentu
membuat pasangan calon menderita kerugian materiil dan immateriil. Sebab untuk
dapat diusulkan sebagai calon dari partai politik (parpol), gabungan parpol,
atau perseorangan, seorang calon harus mengeluarkan biaya,tenaga dan pikiran
yang tidak sedikit. Kebutuhan biaya dimaksud antara lain untuk melakukan survei
elektabilitas, meminta rekomendasi partai atau gabungan partai atau pengumpulan
dukungan calon perseorangan. Kekecewaan mendalam dialami calon dan pendukungnya
jika kemudian tidak jadi peserta pemilihan.
Ketentuan “paling sedikit 2 (dua)”
tersebut telah bertentangan dengan konstitusi karena didalam aturan pemilihan
secara demokratis pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak mensyaratkan harus ada
paling sedikit 2 (dua) pasangan calon, artinya ukuran demokrasi dalam
konstitusi itu tidak tergantung dengan jumlah calon karena substansi demokrasi
itu adalah pada proses penyaluran hak politik warga negara dan bukan pada
jumlah peserta pemilihannya;
Dengan demikian menurut para Pemohon,
frasa “paling sedikit 2(dua)” dalam ketentuan pasal 51 ayat (2) dan pasal 52
ayat (2) UU Pilkada yang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat.
Tunda Pilkada
Ketentuan pasal 121 Ayat (1) dan 122 Ayat
(1) UU Pilkada mengatur ketentuan tentang “Pemilihan Susulan dan Pemilihan Lanjutan.”
Menurut para Pemohon, Tidak ada ada penjelasan dan definisi khusus mengenai hal
ini. Bahkan di dalam ketentuan penjelasannya pun dikatakan “cukup jelas”.
Pelaksanaan ketentuan pasal 51 Ayat (2),
pasal 52 Ayat (2), pasal 121 Ayat (1) dan pasal 122 Ayat (1) UU Pilkada akan
digunakan sebagai alasan penundaan Pilkada karena hanya ada satu pasangan
calon. Ketentuan pasal-pasal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum akibat
penafsiran yang salah terkait ketentuan penundaaan pemilihan.
Pemberhentian seluruh tahapan dikarenakan
hanya ada satu pasangan calon perserta pilkada yang kemudian dijadikan alasan
penundaan pilkada, jelas merugikan hak-hak konstitusional dari Para Pemohon
sebagaimana telah dijamin oleh Pasal 18 Ayat (4), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal
28D Ayat (3) UUD 1945. Para
Ketentuan penundaan yang diatur Pasal 121
ayat (1) UU Pilkada itu menyangkut keadaan yang tidak bisa diatasi pada saat
proses pemilihan berlangsung. Misalnya bencana alam, kekacauan dan kegentingan
yang memaksa sehingga penyelenggaraan pemilihan dalam suasana yang aman dan
nyaman menjadi tidak dapat terpenuhi. Pengertian “gangguan lainnya” dalam Pasal
121 ayat (1) UU Pilkada tidak boleh diartikan selain daripada keadaan yang
sudah diatur dalam pasal 122 ayat (1) UU Pilkada termasuk proses dan tata cara
pelaksanaannya kembali sebagai pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Penetapan
penundaan pada pasal 122 ayat (1) UU Pilkada penekanannya hanya pada suatu
keadaan yang menimbulkan gangguan teknis pelaksanaan pilkada.
Menurut Pemohon, penundaan yang didasarkan
karena hanya ada satu pasangan calon, bukan termasuk dalam jenis gangguan yang
dapat menyebabkan penundaan pelaksanaan pemilihan. Sangat tidak tepat jika
kemudian penundaan penyelenggaraan pemilihan disebabkan “ganguan lainnya” itu
dengan alasan peserta pemilihan kurang dari dua pasangan calon. Sementara
substansi aturan dalam proses pendaftaran calon peserta pemilihan sesuai UU
Pilkada tegas hanya mengatur tentang penundaan waktu pendaftaran pasangan calon
bukan penundaan yang membatalkan penyelenggaraan pemilihan secara keseluruhan.
Sebab jika penundaan penyelenggaraan itu terjadi, maka jelas sekali penerapan
aturan itu berpotensi menimbulkan kerugian yang akan dialami oleh partai
politik, pasangan calon dan rakyat di suatu wilayah pemilihan, serta merupakan
pembentukan norma baru yang bukan merupakan kewenangan KPU selaku Penyelenggara
Pemilu.
Oleh karena itu, KPU selaku penyelenggara
pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tidak boleh melakukan penundaan. KPU
harus melanjutkan tahapan pemilihan meskipun hanya ada satu pasangan calon
peserta pemilihan.
Para Pemohon sangat berharap agar
penyelenggaraan pilkada tetap dilaksanakan serentak 9 Desember 2015, meskipun
hanya ada satu pasangan calon, sehingga tidak ada daerah yang ditunda
pelaksanaannya 2017. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan frasa
“paling sedikit 2 (dua) pasangan calon” dalam Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52
ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum
mengikat. Menyatakan frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 121 Ayat (1) UU
Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang dimaknai jika diakibatkan hanya ada satu Pasangan Calon. Kemudian
menyatakan Pasal 122 Ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
berkekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai jika diakibatkan hanya ada 1 satu
Pasangan Calon.
Selain itu, meminta MK agar memerintahkan
KPU selaku penyelenggara pemilihan untuk mencabut penetapan penundaan
pemilihan. KPU harus tetap melanjutkan tahapan pemilihan gubernur, bupati dan
walikota secara serentak pada bulan Desember 2015.
Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik “Catatan Perkara” Majalah
Konstitusi No. 103 – September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar