Minggu, 20 September 2015

Menyoal Syarat Minimal Peserta Pilkada

Pelaksanaan Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2015. Namun pilkada Kota Surabaya dan beberapa kota lain di Indonesia terancam dibatalkan atau ditunda pelaksanaannya dikarenakan hanya ada satu pasangan calon pendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana (Risma-Wisnu) resmi mendaftar sebagai calon walikota dan wakil walikota Surabaya. Risma-Wisnu mendatangi Kantor KPU Kota Surabaya dengan menaiki becak diantar para pendukungnya, Ahad (26/7/2015) lalu. Hari itu merupakan hari pertama KPU Kota Surabaya membuka pendaftaran. Hingga batas akhir pendaftaran, ternyata belum juga muncul pasangan calon lain yang mendaftar. KPU Kota Surabaya pun melakukan perpanjangan masa pendaftaran.
Ketentuan dalam UU Pilkada mensyaratkan pilkada paling sedikit diikuti oleh dua pasangan calon. Ketentuan ini berpotensi menyebabkan pelaksanaan Pilkada Kota Surabaya dan beberapa kota lain di Indonesia terancam dibatalkan atau ditunda.
Merasa dirugikan dengan persyaratan tersebut, calon wakil walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana bersama seorang warga Surabaya, H. Syaifuddin Zuhri, pada 24 Juli 2015 mengajukan permohonan uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan ini diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah dengan Ana
Nomor 96/PUU-XIII/2015 pada 11 Agustus 2015.
Whisnu dalam permohonannya mengujikan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU PERKARA
Pilkada) Terhadap Undang Undang Dasar 1945. Adapun materi yang diujikan yaitu, Pasal 121 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, dan Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2), Pasal 122 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.

Pasal 51 Ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015
“Berdasarkan berita acara penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPU Propinsi menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dengan Keputusan KPU Propinsi”
Pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015
“Berdasarkan berita acara penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPU Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota dengan Keputusan KPU Kabupaten/Kota”
Pasal 121 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015
“Dalam hal di suatu wilayah Pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan terganggunya seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan maka dilakukan Pemilihan susulan.”

Minimal Dua Pasang
Ketentuan pasal 51 ayat (2) dan pasal 52 ayat (2) UU Pilkada diatur mengenai peserta pemilihan “paling sedikit 2 (dua)” pasangan calon. Para Pemohon berdalil bahwa ketentuan pasal 51 Ayat (2), pasal 52 Ayat (2), pasal 121 Ayat (1) dan 122 Ayat (1) UU Pilkada ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum akibat penafsiran yang salah terkait ketentuan penundaaan pemilihan.
Menurut Para Pemohon, UU Pilkada tidak mengantisipasi situasi yang menyebabkan pasangan calon peserta pilkada kurang dari dua pasangan calon. Situasi ini terjadi bukan akibat kesalahan dari pasangan calon yang sudah memenuhi persyaratan. Karena itu, menjadi tidak adil jika situasi tersebut menyebabkan ketidakpastian bagi pasangan calon sebagai peserta pemilihan.
Perlakuan tidak yang adil ini tentu membuat pasangan calon menderita kerugian materiil dan immateriil. Sebab untuk dapat diusulkan sebagai calon dari partai politik (parpol), gabungan parpol, atau perseorangan, seorang calon harus mengeluarkan biaya,tenaga dan pikiran yang tidak sedikit. Kebutuhan biaya dimaksud antara lain untuk melakukan survei elektabilitas, meminta rekomendasi partai atau gabungan partai atau pengumpulan dukungan calon perseorangan. Kekecewaan mendalam dialami calon dan pendukungnya jika kemudian tidak jadi peserta pemilihan.
Ketentuan “paling sedikit 2 (dua)” tersebut telah bertentangan dengan konstitusi karena didalam aturan pemilihan secara demokratis pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak mensyaratkan harus ada paling sedikit 2 (dua) pasangan calon, artinya ukuran demokrasi dalam konstitusi itu tidak tergantung dengan jumlah calon karena substansi demokrasi itu adalah pada proses penyaluran hak politik warga negara dan bukan pada jumlah peserta pemilihannya;
Dengan demikian menurut para Pemohon, frasa “paling sedikit 2(dua)” dalam ketentuan pasal 51 ayat (2) dan pasal 52 ayat (2) UU Pilkada yang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Tunda Pilkada
Ketentuan pasal 121 Ayat (1) dan 122 Ayat (1) UU Pilkada mengatur ketentuan tentang “Pemilihan Susulan dan Pemilihan Lanjutan.” Menurut para Pemohon, Tidak ada ada penjelasan dan definisi khusus mengenai hal ini. Bahkan di dalam ketentuan penjelasannya pun dikatakan “cukup jelas”.
Pelaksanaan ketentuan pasal 51 Ayat (2), pasal 52 Ayat (2), pasal 121 Ayat (1) dan pasal 122 Ayat (1) UU Pilkada akan digunakan sebagai alasan penundaan Pilkada karena hanya ada satu pasangan calon. Ketentuan pasal-pasal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum akibat penafsiran yang salah terkait ketentuan penundaaan pemilihan.
Pemberhentian seluruh tahapan dikarenakan hanya ada satu pasangan calon perserta pilkada yang kemudian dijadikan alasan penundaan pilkada, jelas merugikan hak-hak konstitusional dari Para Pemohon sebagaimana telah dijamin oleh Pasal 18 Ayat (4), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Para
Ketentuan penundaan yang diatur Pasal 121 ayat (1) UU Pilkada itu menyangkut keadaan yang tidak bisa diatasi pada saat proses pemilihan berlangsung. Misalnya bencana alam, kekacauan dan kegentingan yang memaksa sehingga penyelenggaraan pemilihan dalam suasana yang aman dan nyaman menjadi tidak dapat terpenuhi. Pengertian “gangguan lainnya” dalam Pasal 121 ayat (1) UU Pilkada tidak boleh diartikan selain daripada keadaan yang sudah diatur dalam pasal 122 ayat (1) UU Pilkada termasuk proses dan tata cara pelaksanaannya kembali sebagai pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Penetapan penundaan pada pasal 122 ayat (1) UU Pilkada penekanannya hanya pada suatu keadaan yang menimbulkan gangguan teknis pelaksanaan pilkada.
Menurut Pemohon, penundaan yang didasarkan karena hanya ada satu pasangan calon, bukan termasuk dalam jenis gangguan yang dapat menyebabkan penundaan pelaksanaan pemilihan. Sangat tidak tepat jika kemudian penundaan penyelenggaraan pemilihan disebabkan “ganguan lainnya” itu dengan alasan peserta pemilihan kurang dari dua pasangan calon. Sementara substansi aturan dalam proses pendaftaran calon peserta pemilihan sesuai UU Pilkada tegas hanya mengatur tentang penundaan waktu pendaftaran pasangan calon bukan penundaan yang membatalkan penyelenggaraan pemilihan secara keseluruhan. Sebab jika penundaan penyelenggaraan itu terjadi, maka jelas sekali penerapan aturan itu berpotensi menimbulkan kerugian yang akan dialami oleh partai politik, pasangan calon dan rakyat di suatu wilayah pemilihan, serta merupakan pembentukan norma baru yang bukan merupakan kewenangan KPU selaku Penyelenggara Pemilu.
Oleh karena itu, KPU selaku penyelenggara pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tidak boleh melakukan penundaan. KPU harus melanjutkan tahapan pemilihan meskipun hanya ada satu pasangan calon peserta pemilihan.
Para Pemohon sangat berharap agar penyelenggaraan pilkada tetap dilaksanakan serentak 9 Desember 2015, meskipun hanya ada satu pasangan calon, sehingga tidak ada daerah yang ditunda pelaksanaannya 2017. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “paling sedikit 2 (dua) pasangan calon” dalam Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Menyatakan frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 121 Ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai jika diakibatkan hanya ada satu Pasangan Calon. Kemudian menyatakan Pasal 122 Ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai jika diakibatkan hanya ada 1 satu Pasangan Calon.
Selain itu, meminta MK agar memerintahkan KPU selaku penyelenggara pemilihan untuk mencabut penetapan penundaan pemilihan. KPU harus tetap melanjutkan tahapan pemilihan gubernur, bupati dan walikota secara serentak pada bulan Desember 2015.

Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik “Catatan Perkara” Majalah Konstitusi No. 103 – September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More