Hiruk pikuk tahapan pemilihan kepala daerah
(pilkada) membuat suhu politik di daerah mulai gerah. Sebanyak 266 daerah akan
mengikuti pilkada serentak nasional gelombang pertama pada 9 Desember 2015.
Pilkada secara langsung oleh rakyat pertama
kali digelar pada pertengahan 2005. Sejarah mencatat Pilkada pertama kali
diselenggarakan bulan Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara. Selama satu
dasawarsa, pilkada digelar pada waktu berbeda untuk tiap daerah. Banyak
pelajaran berharga yang bisa dipetik dari penyelenggaraan pilkada tidak
serentak selama ini.
Pilkada serentak secara nasional membuka
sejarah baru praktik ketatanegaraan di Indonesia. Perhelatan pilkada serentak
diharapkan dapat mewujudkan akuntabilitas dan efisiensi demokrasi. Anggaran
untuk penyelenggaraan dapat lebih dihemat. Kemudian, pilkada serentak
menghindari terjadinya kecurangan-kecurangan seperti mobilisasi massa dari
daerah lain, dan menghindari gesekan-gesekan horizontal di masyarakat. Meskipun
demikian, tidak ada jaminan bahwa Pilkada serentak terbebas dari konflik dan chaos.
Intinya, apapun pilihan model yang dipakai,
baik serentak atau tidak serentak, semua berpulang kepada para pihak yang
terlibat di dalamnya, yakni peserta pilkada dan pendukungnya, dan penyelenggara
(KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota). Peran para stakeholders inilah
yang sangat menentukan bagaimana kualitas penyelenggaraan seluruh tahapan
pilkada serentak. Masing-masing harus bertindak demokratis, free and fair,
serta jujur dan adil.
Tiada gading yang tak retak. Sebaik apapun
sistem yang dibangun, selalu saja terdapat titik lemah di dalamnya. Terlebih
lagi pilkada langsung yang digelar secara serentak nasional ini merupakan hal
baru yang secara praksis belum memiliki rujukan. Adanya titik lemah dalam
peraturan perundang-undangan akan memicu aksi dan reaksi, terutama dari pihak
yang potensial dirugikan. Maka tak heran jika dalam beberapa bulan ini Mahkamah
Konstitusi menguji dan memutus ketentuan dalam UU Pilkada. Misalnya ketentuan
mengenai politik dinasti yang jelas-jelas mengebiri hak asasi manusia karena
menghalangi calon dari keluarga petahana. Kemudian mengenai calon tunggal dan
syarat calon perseorangan, yang hingga detik ini masih dalam proses di
persidangan MK.
Penyelenggaraan pilkada dalam satu
dasawarsa ini, banyak menuai sengketa. Semula, penanganan sengketa Pilkada
merupakan ranah Mahkamah Agung (MA). Seiring perjalanan waktu, terjadi beberapa
perubahan dalam ketentuan UU yang mengamanatkan sengketa pilkada ditangani MK.
Perkara sengketa pilkada bukan lagi menjadi
ranah kewenangan MK sejak keluarnya Putusan MK Nomor 97/ PUU-XI/2013. Terlebih
lagi sejak berlakunya UU No. 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) yang mengamanatkan
pembentukan badan peradilan khusus yang memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hasil pilkada. Namun karena badan peradilan khusus tersebut belum
terbentuk, maka perselisihan hasil pilkada masih tetap diperiksa dan diadili
MK.
Perkara sengketa pilkada serentak akan
mengalir ke MK dengan debit perkara yang tentu saja berbeda dengan pilkada sebelumnya
yang digelar tidak serentak. Pasca KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota
menetapkan hasil suara pilkada hingga batas waktu 3x24 jam, debit perkara
pilkada akan bermuara ke MK. Kemudian tenggang waktu 45 hari bukanlah waktu
yang cukup luang untuk menyelesaikan sengketa pilkada secara bersamaan. Niscaya
MK harus ekstra siaga untuk memenuhi segala kebutuhan terkait penanganan
sengketa.
Kiprah MK menangani sengketa pemilu
legislatif, pemilu presiden, dan pilkada selama ini sudah tidak diragukan lagi.
Meski demikian, setitik noda pernah mengotori lembaga ini, yakni, tertangkapnya
mantan Ketua MK M. Akil Mochtar oleh KPK dalam kasus sengketa pilkada. Kasus
Akil menjadi peringatan bagi siapapun yang bermain-main dengan perkara. Apalagi
perkara sengketa pilkada yang mempersoalkan selisih suara.
Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik Editorial Majalah “Konstitusi” No. 103
September 2015, hal. 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar