Kehadiran telekomunikasi telah mengubah pola hubungan
komunikasi menjadi lebih efektif dan efisien. Pesatnya perkembangan
telekomunikasi telah mampu menembus batas lokasi negara maupun benua. Jarak
antarlokasi dalam sebuah negara, antarnegara atau benua serasa sangat dekat dan
sempit dalam genggaman jemari. Seseorang yang berada di Sabang dapat
berkomunikasi dengan teman atau saudaranya yang berada nun di Merauke secara real
time.
Telekomunikasi adalah teknik pengiriman atau
penyampaian informasi dari suatu tempat ke tempat lain. Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/01/2010
tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi menyebutkan, “Telekomunikasi
adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi
dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui
sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya.”
Persaingan bisnis telekomunikasi di Indonesia tak
terelakkan. Hal ini mendorong para penyelenggara telekomunikasi mengembangkan
kualitas jaringan mereka. Salah satunya dengan memperbanyak jumlah menara
telekomunikasi (Base Transceiver Station, BTS). Dalam industri
telekomunikasi, keberadaan menara telekomunikasi (Base Transceiver Station,
BTS) merupakan infrastruktur pendukung yang utama. Keberadaan menara
menjadi salah satu kata kunci dalam memenangkan persaingan di industri
telekomunikasi. Tak mengherankan jika operator berlomba membangun menara.
Pembangunan menara telekomunikasi kian hari meningkat
secara masif. Muncul kekhawatiran suatu daerah potensial menjadi rimba menara.
Menara telekomunikasi juga dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, harus ada regulasi mengenai hal ini. Salah satu pengendalian
menara telekomunikasi adalah dengan memperluas objek retribusi daerah hingga
mencakup pengawasan dan pengendaliannya.
Pertumbuhan menara telekomunikasi membawa berkah bagi daerah.
Semangat otonomi daerah telah melimpahkan kewenangan kepada daerah untuk
melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Retribusi pengendalian
menara telekomunikasi merupakan salah satu retribusi baru yang masuk dalam
perluasan objek retribusi daerah. Hal ini berlaku sejak penetapan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). UU
PDRD menyebutkan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
Besaran tarif retribusi pengendalian menara
telekomunikasi di setiap daerah harus memperhatikan frekuensi pengawasan dan pengendalian.
Ketentuan tarif retribusi menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP,
menyebabkan hampir di setiap daerah menggunakan batas maksimal. Padahal setiap
daerah memiliki karakteristik berbeda. Pengenaan tarif retribusi maksimal 2%
dari NJOP tanpa penghitungan yang jelas menyebabkan ketidakadilan.
Ketentuan mengenai tarif retribusi menara
telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP ini termaktub dalam Penjelasan Pasal 124
UU PDRD. Penjelasan yang tidak taat asas pembentukan peraturan
perundang-undangan. Penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma. Penjelasan
yang justru membuat tidak jelas kandungan norma Pasal 124 UU PDRD.
Pemerintah harus segera membuat formulasi penghitungan
tarif yang jelas. Penghitungan tarif retribusi pengendalian menara
telekomunikasi harus memperhatikan biaya penyediaan jasa. Apabila tingkat
penggunaan jasa sulit diukur, maka dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat
oleh Pemerintah Daerah.
Nur
Rosihin Ana
Dalam
Rubrik Editorial Majalah Konstitusi No. 100 – Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar