Sabtu, 20 Juni 2015

Reformulasi Tarif Retribusi Menara Telekomunikasi

Kehadiran telekomunikasi telah mengubah pola hubungan komunikasi menjadi lebih efektif dan efisien. Pesatnya perkembangan telekomunikasi telah mampu menembus batas lokasi negara maupun benua. Jarak antarlokasi dalam sebuah negara, antarnegara atau benua serasa sangat dekat dan sempit dalam genggaman jemari. Seseorang yang berada di Sabang dapat berkomunikasi dengan teman atau saudaranya yang berada nun di Merauke secara real time.
Telekomunikasi adalah teknik pengiriman atau penyampaian informasi dari suatu tempat ke tempat lain. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi menyebutkan, “Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya.”
Persaingan bisnis telekomunikasi di Indonesia tak terelakkan. Hal ini mendorong para penyelenggara telekomunikasi mengembangkan kualitas jaringan mereka. Salah satunya dengan memperbanyak jumlah menara telekomunikasi (Base Transceiver Station, BTS). Dalam industri telekomunikasi, keberadaan menara telekomunikasi (Base Transceiver Station, BTS) merupakan infrastruktur pendukung yang utama. Keberadaan menara menjadi salah satu kata kunci dalam memenangkan persaingan di industri telekomunikasi. Tak mengherankan jika operator berlomba membangun menara.
Pembangunan menara telekomunikasi kian hari meningkat secara masif. Muncul kekhawatiran suatu daerah potensial menjadi rimba menara. Menara telekomunikasi juga dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitar. Oleh karena itu, harus ada regulasi mengenai hal ini. Salah satu pengendalian menara telekomunikasi adalah dengan memperluas objek retribusi daerah hingga mencakup pengawasan dan pengendaliannya.
Pertumbuhan menara telekomunikasi membawa berkah bagi daerah. Semangat otonomi daerah telah melimpahkan kewenangan kepada daerah untuk melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Retribusi pengendalian menara telekomunikasi merupakan salah satu retribusi baru yang masuk dalam perluasan objek retribusi daerah. Hal ini berlaku sejak penetapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). UU PDRD menyebutkan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Besaran tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi di setiap daerah harus memperhatikan frekuensi pengawasan dan pengendalian. Ketentuan tarif retribusi menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP, menyebabkan hampir di setiap daerah menggunakan batas maksimal. Padahal setiap daerah memiliki karakteristik berbeda. Pengenaan tarif retribusi maksimal 2% dari NJOP tanpa penghitungan yang jelas menyebabkan ketidakadilan.
Ketentuan mengenai tarif retribusi menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP ini termaktub dalam Penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Penjelasan yang tidak taat asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma. Penjelasan yang justru membuat tidak jelas kandungan norma Pasal 124 UU PDRD.
Pemerintah harus segera membuat formulasi penghitungan tarif yang jelas. Penghitungan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi harus memperhatikan biaya penyediaan jasa. Apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur, maka dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah.

Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik Editorial Majalah Konstitusi No. 100 – Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More