Masuknya konsepsi habeas corpus dalam sistem hukum acara pidana
Indonesia merupakan upaya penjaminan hak dan kebebasan seseorang. Habeas
corpus merupakan model pengawasan terhadap proses penegakan hukum. Namun
sebagaimana diketahui, konsepsi habeas corpus yang kemudian diwujudkan
dalam pranata praperadilan tidak memiliki kewenangan yang luas. Hal ini
dikarenakan pranata praperadilan belum mampu menjangkau upaya paksa yang
dilakukan penyidik sejak awal dimulainya penyidikan. Akibatnya, lembaga
praperadilan menjadi tidak efektif untuk mengawasi aparat penegak hukum dalam
melaksanakan kewenangan upaya paksa.
Konsepsi habeas corpus muncul pertama kali ketika Inggris
mencetuskan Magna Charta pada 1215 sebagai kritik atas tindakan sewenang-wenang
raja. Konsep ini mempunyai pengertian bahwa tidak seorang pun warga negara
dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya, diasingkan atau dengan cara
apapun direnggut hak-haknya kecuali dengan pertimbangan hukum.Konsep ini pada
akhirnya diformalkan oleh parlemen Inggris pada abad ke 17, di mana penangkapan
dan penahanan yang dilakukan harus dilengkapi dengan surat perintah dari
pengadilan. Kemudian pada abad 18, amandemen pertama Konstitusi Amerika Serikat
memasukkan konsep ini dengan menyatakan bahwa pengadilan harus tegas mengawasi
semua kasus yang memiliki dampak nyata dan cukup besar atau gangguan yang
signifikan dengan pelaksanaan hak-hak fundamental seseorang.
Seperti halnya di Indonesia, konsepsi habeas corpus yang kemudian
dikenal dengan pranata praperadilan bertujuan untuk memberikan pengawasan
terhadap proses penegakan hukum untuk menjamin hak asasi seseorang.
Belakangan ini, wacana tentang praperadilan muncul ke permukaan. Melalui
putusannya, MK memasukkan penetapan status tersangka menjadi salah satu objek
untuk diuji di praperadilan. Bukan hanya itu, bahkan sah atau tidaknya
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat juga masuk dalam objek
praperadilan. Perluasan objek praperadilan ini menandai pembaharuan arah hukum
acara pidana Indonesia.
Sebelumnya, objek praperadilan hanya mencakup sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Seseorang bisa saja ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum
dengan dalil adanya bukti yang cukup. Penyidik dengan kewenangannnya bisa saja
memeriksa, menggeledah dan menyita hak seseorang. Namun sekarang, penyidik
memerlukan dua alat bukti yang sah ditambah dengan pemeriksaan calon tersangka
untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Apabila dalam proses
pengeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat maupun penetapan tersangka dianggap
terdapat kejanggalan, maka dapat diujikan keabsahannya. Dengan demikian secara
esensi pranata praperadilan merupakan bentuk pengawasan terhadap proses
penegakan hukum.
Perluasan objek praperadilan merupakan bentuk penjagaan keseimbangan
antara hak seseorang dengan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum. Hal
ini diharapkan dapat menghindari adanya tafsir subjektif dan penyalahgunaan
wewenang (abuse of power) aparat penegak hukum. Inilah wujud konkret
perlindungan hak asasi yang dimiliki oleh seseorang terhadap kekuasaan negara.
Selain itu, jika sebelumnya kewenangan praperadilan timbul setelah upaya
paksa dilakukan yakni ketika seseorang sudah ditangkap atau ditahan (post
factum). Kini, pranata praperadilan sudah mampu menjangkau upaya
paksa yang dilakukan penyidik sejak awal dimulainya penyidikan. Upaya paksa
yang dilakukan oleh penyidik dapat diuji keabsahannya sejak dilakukan
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat dan penetapan tersangka. Mekanisme
ini akan efektif memberikan perlindungan bagi warga negara dari kemungkinan
pelanggaran dan penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik.
Namun, berdasar pada sudut pandang efektivitas hukum, sinergitas antara
substansi, struktur dan kultur hukum merupakan keharusan. Substansi hukum yang
baik belum tentu menjamin terwujudnya penerapan hukum yang baik pula. Untuk
itu, aparat penegak hukum perlu dengan segera menyesuaikan pelaksanaan
penegakan hukum sesuai dengan substansi hukum yang ada. Kepatuhan aparat
penegak hukum terhadap substansi hukum menjadi penting agar substansi hukum
dapat benar-benar diwujudkan. Demikian juga dengan budaya hukum, pemahaman
masyarakat untuk menggunakan upaya praperadilan masih sangat rendah. Di sini,
maka diperlukan peran lebih dari lembaga-lembaga yang aktif di bidang hukum
untuk terus meningkatkan pemahaman masyarakat, sehingga masyarakat mampu
memahami hak-hak yang dimilikinya.
Triya
Indra Rahmawan
Dalam
Rubrik Editorial Majalah Konstitusi No. 99 – Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar