Rabu, 20 Mei 2015

Perlindungan HAM dalam Pranata Praperadilan

Masuknya konsepsi habeas corpus dalam sistem hukum acara pidana Indonesia merupakan upaya penjaminan hak dan kebebasan seseorang. Habeas corpus merupakan model pengawasan terhadap proses penegakan hukum. Namun sebagaimana diketahui, konsepsi habeas corpus yang kemudian diwujudkan dalam pranata praperadilan tidak memiliki kewenangan yang luas. Hal ini dikarenakan pranata praperadilan belum mampu menjangkau upaya paksa yang dilakukan penyidik sejak awal dimulainya penyidikan. Akibatnya, lembaga praperadilan menjadi tidak efektif untuk mengawasi aparat penegak hukum dalam melaksanakan kewenangan upaya paksa.
Konsepsi habeas corpus muncul pertama kali ketika Inggris mencetuskan Magna Charta pada 1215 sebagai kritik atas tindakan sewenang-wenang raja. Konsep ini mempunyai pengertian bahwa tidak seorang pun warga negara dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya, diasingkan atau dengan cara apapun direnggut hak-haknya kecuali dengan pertimbangan hukum.Konsep ini pada akhirnya diformalkan oleh parlemen Inggris pada abad ke 17, di mana penangkapan dan penahanan yang dilakukan harus dilengkapi dengan surat perintah dari pengadilan. Kemudian pada abad 18, amandemen pertama Konstitusi Amerika Serikat memasukkan konsep ini dengan menyatakan bahwa pengadilan harus tegas mengawasi semua kasus yang memiliki dampak nyata dan cukup besar atau gangguan yang signifikan dengan pelaksanaan hak-hak fundamental seseorang.
Seperti halnya di Indonesia, konsepsi habeas corpus yang kemudian dikenal dengan pranata praperadilan bertujuan untuk memberikan pengawasan terhadap proses penegakan hukum untuk menjamin hak asasi seseorang. Belakangan ini, wacana tentang praperadilan muncul ke permukaan. Melalui putusannya, MK memasukkan penetapan status tersangka menjadi salah satu objek untuk diuji di praperadilan. Bukan hanya itu, bahkan sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat juga masuk dalam objek praperadilan. Perluasan objek praperadilan ini menandai pembaharuan arah hukum acara pidana Indonesia.
Sebelumnya, objek praperadilan hanya mencakup sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Seseorang bisa saja ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum dengan dalil adanya bukti yang cukup. Penyidik dengan kewenangannnya bisa saja memeriksa, menggeledah dan menyita hak seseorang. Namun sekarang, penyidik memerlukan dua alat bukti yang sah ditambah dengan pemeriksaan calon tersangka untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Apabila dalam proses pengeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat maupun penetapan tersangka dianggap terdapat kejanggalan, maka dapat diujikan keabsahannya. Dengan demikian secara esensi pranata praperadilan merupakan bentuk pengawasan terhadap proses penegakan hukum.
Perluasan objek praperadilan merupakan bentuk penjagaan keseimbangan antara hak seseorang dengan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum. Hal ini diharapkan dapat menghindari adanya tafsir subjektif dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) aparat penegak hukum. Inilah wujud konkret perlindungan hak asasi yang dimiliki oleh seseorang terhadap kekuasaan negara.
Selain itu, jika sebelumnya kewenangan praperadilan timbul setelah upaya paksa dilakukan yakni ketika seseorang sudah ditangkap atau ditahan (post factum). Kini, pranata praperadilan sudah mampu menjangkau upaya paksa yang dilakukan penyidik sejak awal dimulainya penyidikan. Upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dapat diuji keabsahannya sejak dilakukan penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat dan penetapan tersangka. Mekanisme ini akan efektif memberikan perlindungan bagi warga negara dari kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik.
Namun, berdasar pada sudut pandang efektivitas hukum, sinergitas antara substansi, struktur dan kultur hukum merupakan keharusan. Substansi hukum yang baik belum tentu menjamin terwujudnya penerapan hukum yang baik pula. Untuk itu, aparat penegak hukum perlu dengan segera menyesuaikan pelaksanaan penegakan hukum sesuai dengan substansi hukum yang ada. Kepatuhan aparat penegak hukum terhadap substansi hukum menjadi penting agar substansi hukum dapat benar-benar diwujudkan. Demikian juga dengan budaya hukum, pemahaman masyarakat untuk menggunakan upaya praperadilan masih sangat rendah. Di sini, maka diperlukan peran lebih dari lembaga-lembaga yang aktif di bidang hukum untuk terus meningkatkan pemahaman masyarakat, sehingga masyarakat mampu memahami hak-hak yang dimilikinya.

Triya Indra Rahmawan

Dalam Rubrik Editorial Majalah Konstitusi No. 99 – Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More