Sabtu, 20 Juni 2015

Syarat Ketat Kepemilikan Pesawat

Pelaku usaha penerbangan terjadwal di Indonesia harus menyiapkan 10 pesawat. Lima pesawat harus milik sendiri, lima lainnya dikuasai atau dari leasing. Syarat yang dianggap ketat dan terlalu berat. UU Penerbangan pun digugat.


Laman Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia secara gamblang menyebutkan persyaratan izin usaha perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dan tidak berjadwal. Dalam poin g angka 1 laman ini dipaparkan mengenai jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan. Yakni, untuk angkutan angkutan udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani. Kemudian, angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani. Sedangkan untuk angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.
Dasar hukum tata perizinan usaha perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dan tidak berjadwal yang diunggah di laman Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan tersebut, antara lain bersumber dari ketentuan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UU Penerbangan). Syarat yang cukup ketat dan berat. Maka tak heran jika modal yang harus dikucurkan untuk merambah usaha burung besi ini menyentuh angka triliunan.
Keberatan datang dari Sigit Sudarmadji. Pegawai Negeri Sipil Kementerian Perhubungan ini berminat mendirikan perusahaan penerbangan niaga berjadwal. Sigit yang lahir di Putussibau, sebuah kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, ini pernah tebesit niat untuk membuat usaha penerbangan rute Pontianak-Putussibau. Namun, persyaratan mengenai jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara, menghambat minatnya. Merasa dirugikan, Sigit mengadu ke Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah pada 17 Februari 2015 menerima surat dari Sigit yang berisi permohonan pengujian UU Penerbangan. Selang lima hari kemudian, tepatnya pada 23 Februari 2015, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi Permohonan Sigit dengan Nomor 29/PUU-XIII/2015. Sigit dalam permohonannya meminta kepada Mahkamah agar menguji Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Penerbangan yang menurut Sigit bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.

 Pasal 118 ayat (1) huruf b UU Penerbangan(1) Pemegang izin usaha angkutan udara niaga wajib: ... b. Memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu.Pasal 118 ayat (2) UU Penerbangan(2) Pesawat udara dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk:a.    angkutan udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani;
b.    angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan daerah operasi yang dilayani; dan
c.    angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.


Diskriminasi Moda Transportasi
Menurut Sigit, ketentuan yang berisi mengenai jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara tersebut sangat diskriminatif. Sgit membandingkan perlakuan berbeda antara perusahaan penerbangan niaga berjadwal dengan perusahaan moda transportasi lain yaitu perusahaan pelayaran.
Dalam usaha pelayaran, tidak ada ketentuan mengenai jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan kapal harus lebih dari satu unit. Padahal, pelayaran dan penerbangan adalah dua jenis moda transportasi yang padat modal, padat teknologi dan memiliki karakteristik yang sama dalam pola pengembangan armadanya. “Secara karakteristik, pelayaran dan penerbangan cukup memiliki kedekatan, baik dari sisi padat modal, padat teknologi, dan padat risikonya, serta dengan distribusi penyebaran pelayaran dan penerbangan di Indonesia, yaitu serupa,” kata Sigit Sudarmadji dalam sidang perdana di MK, Kamis (12/3/2015).

Dominasi Asing
Selain itu, Sigit juga membandingkan perbedaan perlakuan terhadap pelaku penerbangan nasional dengan pelaku usaha penerbangan asing yang beroperasi di Indonesia. Menurutnya, pelaku penerbangan nasional dikenakan ketentuan jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara. Sedangkan terhadap pelaku penerbangan asing tidak dikenakan ketentuan tersebut. “Kita tidak pernah bertanya, tidak pernah mempersyaratkan, berapa jumlah pesawat yang Anda miliki, Anda bebas masuk ke Indonesia. Sementara, kita sendiri yang di dalam, diharuskan untuk memenuhi syarat tersebut,” terang Sigit.
Penerbangan internasional dari dan menuju ke suatu negara diatur dalam suatu perjanjian bilateral atau multilateral antar negara, dimana Indonesia juga menerapkan hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 86 UU Penerbangan. Perjanjian bilateral tentang pembukaan rute penerbangan internasional yang biasa disebut dengan BATA (Bilateral Air Transport Agreement) diatur dan disusun berdasarkan standard internasional yang terdiri dari hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua negara berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik.
International Civil Aviation Authorization (ICAO) sebagai organisasi penerbangan sipil internasional serta otoritas-otoritas penerbangan sipil Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan Australia yang selama ini dijadikan acuan oleh Indonesia dalam hal penerapan aturan-aturan penerbangan, tidak mempersyaratkan jumlah minimum kepemilikan pesawat yang harus dimiliki oleh perusahaan penerbangan nasional di bawah otoritasnya. Perusahaan-perusahaan penerbangan nasional di negara-negara tersebut bisa ditunjuk oleh negaranya untuk terbang ke Indonesia melalui kerjasama bilateral (BATA) tanpa dibebani kewajiban mengenai kepemilikan pesawat udara.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah pada saat diterapkannya kebijakan Open Sky atau pembukaan pasar angkutan udara menuju ruang udara tanpa batasan hak angkut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 90 UU Penerbangan. Indonesia yang mempunyai pasar penumpang sangat besar akan dimasuki penerbangan asing. Munculnya penerbangan nasional baru akan sulit diharapkan akibat ketentuan ini. Sementara perusahaan nasional yang sudah ada juga sulit bertahan. Maka sewajarnya jika memberikan kemudahan-kemudahan kepada penerbangan nasional agar dapat bersaing dengan penerbangan asing. Paling tidak memberikan perlakuan yang sama, dengan tidak membebani perusahaan baru dengan kewajiban pemenuhan jumlah kepemilikan dan penguasaan pesawat udara.

Cukup Dua Pesawat
Berlakunya ketentuan tentang jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Penerbangan, menutup peluang Sigit untuk mendirikan usaha penerbangan niaga berjadwal dengan rencana rute terbatas. Menurutnya cukup dua pesawat untuk melayani rute penerbangan Pontianak-Putusibau. “Saya dulu dari Pontianak. Saya membayangkan suatu saat akan membuat usaha penerbangan dari Pontianak ke Putusibau. Mungkin sekitar tiga rute yang dalam hitungan kami, dua pesawat itu sudah cukup,” jelas Sigit di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Arief Hidayat, didampingi Maria Farida Indrati dan Muhammad Alim.
Jumlah kepemilikan dan penguasaan oleh suatu perusahaan penerbangan niaga berjadwal sebanyak 10 unit pesawat udara, bagi Sigit terlalu banyak. Sebab, Ia hanya memerlukan dua unit pesawat udara untuk melayani rute di sekitar daerah asalnya.
Sigit berdalil, Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas. Di satu sisi pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk memaksa perusahaan penerbangan besar untuk melayani rute penerbangan dari dan ke seluruh daerah walaupun fasilitas bandara telah disiapkan di daerah-daerah tersebut. Di sisi yang lain pemerintah juga tidak memberikan peluang bagi para peminat usaha penerbangan niaga berjadwal dengan rute terbatas seperti Sigit.



Pemerintah
Beda Karakter Moda Transportasi Udara dan Laut
Perusahaan penerbangan memiliki karakteristik dan spesifikasi yang berbeda dengan moda transportasi lainnya. Menurut Pemerintah, adalah tidak tepat dan tidak relevan jika Pemohon membandingkan antara moda transportasi udara dan moda transportasi laut. “Karena sifat dan karakteristik perusahaan penerbangan dan perusahaan pelayaran adalah sangat berbeda,” kata Direktur Jenderal HAM Mualimin Abdi, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (14/4/2015).
Mualimin menjelaskan, UU Penerbangan pada intinya mengatur tentang usaha penerbangan yang tidak semata-mata untuk mencari keuntungan, tapi juga terkait langsung dengan aspek keamanan dan keselamatan penerbangan. Sedangkan ketentuan tentang jumlah pesawat yang dioperasikan, lima pesawat dimiliki dan lima pesawat dikuasai, menurut Pemerintah, hal ini merupakan open legal policy yang terkait langsung dengan kewenangan pembentuk UU yakni DPR bersama Presiden.

DPR
Syarat Berat untuk Memperkuat Maskapai
Pengaturan pembatasan minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara diperlukan untuk mewujudkan perusahaan penerbangan nasional yang kuat. Hal ini ditunjukkan oleh kesediaan armada yang selalu siap siaga untuk melayani penumpang. Pada saat perumusan substansi ini, banyak terjadi perusahaan penerbangan yang menelantarkan penumpang akibat pesawat mengalami gangguan atau kerusakan. Sementara, armada cadangan perusahaan penerbangan tersebut tidak memadai untuk mengantisipasi keterlambatan dan gangguan pesawat. “Untuk memperkuat perusahaan penerbangan, persyaratan juga harus semakin berat,” kata Anggota Komisi V DPR RI Abdul Hakim, saat menyampaikan keterangan DPR dalam persidangan di MK, Senin (4/5/2015)
Menurut DPR, persyaratan tersebut bertujuan perusahaan penerbangan semakin kuat melayani masyarakat dan bersaing dengan maskapai internasional. Perusahaan penerbangan harus ketat persyaratannya. Hal ini bukan tidak ingin memberikan kesempatan kepada pengusaha baru untuk berkembang, akan tetapi perusahaan penerbangan adalah padat modal, manajemen yang ketat, dan keselamatan yang tinggi.

H.K. Martono
Transportasi Udara Indonesia Riskan Jika Maskapai Tak Miliki Pesawat
Kondisi transportasi, suasana kebatinan, serta filosofi menjelang pembahasan UU Penerbangan, sangat memprihatinkan. Pada saat itu kebijakan pemerintah adalah relaksisasi, mendirikan perusahaan penerbangan berjadwal maupun tidak berjadwal sangat mudah. Untuk mendirikan perusahaan penerbangan cukup dua pesawat dikuasai. Jadi, tidak perlu banyak modal, tidak perlu memiliki pesawat udara, tidak perlu mempunyai flight operational officer, dan lain-lain. Hal ini untuk menghemat biaya agar dapat bersaing dengan tarif yang sangat murah.
Para pemain baru datang dengan modal seadanya, tidak memiliki pesawat sendiri, tidak profesional, tidak mempunyai kemampuan mengelola risiko yang dihadapi. Puncaknya pada 1 Januari 2007 pesawat Adam Air jatuh. “Begitu jatuh, semua pesawat udara ditarik pemiliknya, sehingga Adam Air tidak dapat beroperasi sekaligus bangkrut,” kata H.K. Martono, ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam persidangan di MK, Senin (4/5/2015).
Industri penerbangan adalah bisnis padat modal (capital intensive). Oleh karena itu, untuk mendirikan perusahaan penerbangan harus memiliki modal yang kuat. Musibah kecelakaan pesawat Adam Air tersebut merupakan bukti perlunya modal perusahaan penerbangan yang kuat.
Persyaratan kepemilikan pesawat udara adalah mutlak diperlukan karena pesawat udara adalah rohnya UU Penerbangan. Tidak ada perusahaan penerbangan tanpa memiliki pesawat udara. Apabila seluruh perusahaan penerbangan di Indonesia tidak memiliki pesawat udara, transportasi udara nasional di Indonesia sangat riskan karena pemilik pesawat udara dapat menarik pesawat udara mereka setiap saat mereka mau. “Apabila hal ini terjadi, maka transportasi udara nasional akan kacau, chaos,” tegasnya.


Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik “Ruang Sidang” Majalah Konstitusi No. 100Juni 2015, hal. 14-17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More