Selasa, 23 Juni 2015

Menguji Eksistensi BNP2TKI

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sejak Tahun 2009 menghentikan penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke negara-negara Timur Tengah. Namun disisi lain, Kemnaker membuka lebar-lebar Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) untuk ditempatkan di negara-negara asia pasifik, seperti Taiwan dan Hongkong.
Penghentian atau pelarangan ini dianggap merugikan pengusaha PPTKIS maupun CTKI. Salah satu PPTKIS, yakni PT Gayung Mulya Ikif (GMI) dan dua CTKI tujuan negara Timur Tengah, yakni Nurbayanti BT. Abdul Hamid Acen, dan Abbdusalam, merasa dirugikan dengan pelarangan ini.
PT GMI merupakan salah satu PPTKIS yang bergerak dalam bisnis penempatan TKI ke negara-negara Timur Tengah. Akibat penghentian/pelarangan ini, bisnis PT GMI menjadi terhenti. Sedangkan bagi Nurbayanti BT. Abdul Hamid Acen, pelarangan ini memupuskan harapan Nurbayanti untuk kembali mengais rezeki di Saudi Arabia. Sebelumnya, pada 2009 Nurbayanti pernah menjadi TKI di Riyad Saudi Arabia dan pulang ke Indonesia pada 2011. Harapan serupa juga datang dari Abbdusalam, CTKI yang sampai saat ini tidak dapat bekerja ke Saudi Arabia akibat larangan ini.
Melalui surat bertanggal 16 April 2015 mereka mengadu ke Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKI). Beberapa pasal UU PPTKI yang diujikan dalam permohonan ini, yakni Pasal 11 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2). Setelah berkas permohonan lengkap, pada 18 Mei 2015 Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan ini dengan Nomor 61/PUU-XIII/2015.

Pasal 11 ayat (1) UU PPTKI
Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan.
Pasal 27 ayat (1) UU PPTKI
Penempatan TKI di luar negeri hanyadapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing.
Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI
(1)Dengan pertimbangan untuk melindungi calon TKI / TKI, pemerataan kesempatan kerja dan/atau untuk kepentingan ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan nasional, Pemerintah dapat menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI di luar negeri untuk negara tertentu atau penempatan TKI pada jabatan-jabatan tertentu di luar negeri.
(2)Dalam menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memperhatikan saran dan pertimbangan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.
Pasal 94 ayat (2) UU PPTKI
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.
Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI
(1)Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.
(2)Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI bertugas:
a. melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
b. memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai: 1) dokumen; 2) pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); 3) penyelesaian masalah; 4) sumber-sumber pembiayaan; 5) pemberangkatan sampai pemulangan; 6) peningkatan kualitas calon TKI; 7) informasi; 8) kualitas pelaksana penempatan TKI; dan 9) peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

Menurut para Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diuji tersebut, menimbulkan diskriminasi, ketidakpastian hukum serta menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan tercederainya rasa keadilan dan persamaaan di depan hukum, sebagaimana dijamin oleh Pasal 27, Pasal 28D, Pasal 28H dan Pasal 28I UUD 1945. Selain itu, menimbulkan multitafsir dan dapat dinilai secara subyektif oleh Kemnaker/BNP2TKI sehingga mengakibatkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang (abuse of power).

Larangan Penempatan TKI
Penghentian TKI informal/domestik/PLRT ke negara-negara Timur Tengah terjadi sejak 2009. Berdasarkan ketentuan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 81 ayat (1) UU PPTKI, Kemnaker melarang para Pemohon untuk menempatkan atau bekerja sebagai TKI Informal/TKI Domestik/PLRT di wilayah Timur Tengah, yakni negara Saudi Arabia, Kuwait, Yodania, Uni Emirates Arab, Oman dan Qatar.
Beberapa surat edaran Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (sekarang Kemnaker) berisi instruksi mengenai penghentian pekerja sektor domestik/Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Surat edaran bertanggal 29 Juli 2009 menghentikan penempatan ke Negara Kuwait. Setahun kemudian, pada 29 Juli 2010 menghentikan penempatan tenaga kerja sektor domestik ke Yordania. Kemudian pada 23 Juni 2011 menghentikan penempatan ke Arab Saudi. Jadi,
Namun, di sisi lain, Kemnaker/BNP2TKI membolehkan penempatkan CTKI/TKI formal maupun informal/PLRT di Korea, Japan, Malaysia, Singgapore, Hongkong dan Taiwan. Padahal Pemerintah RI tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Taiwan dan tidak mengakui Taiwan sebagai negara yang berdaulat.
Alasan tersebut mungkin dibenarkan seandainya negara Arab Saudi, Kuwait dan Yordania, dalam kedaan Perang, bencana alam atau ada wabah penyakit yang menular, seperti di aman, Iraq dan Suriah yang saat ini dilanda perang. Para Pemohon menilai alasan larangan/penghentian penempatan TKI yang dilakukan oleh Kemnaker ke nagara-negara tersebut adalah alasan yang subyektif, dan cenderung terkait dengan kepentingan bisnis tertentu.
Penempatan TKI di luar negeri dengan syarat adanya perjanjian tertulis “G to G” antara negara pengguna dengan negara asal sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) UU PPTKI kontras dengan semangat penegakan dan perlindungan hak asasi tenaga kerja migran (International Convention On The Protection Of The Rights Off All Migrant Workers And Members Of Their Families). Menurut para Pemohon, cukup beralasan secara konstitusional persyaratan adanya “perjanjian antara negara tempat bekerja dengan negara asal” dinyatakan bertentangan dengan hak asasi pekerja.

Wasit Sekaligus Pemain
Badan Penempatan dan Perlindungan TKI (BPN2TKI) merupakan lembaga Pemerintah Non Departemen. Pembentukan BNP2TKI berdasarkan Pasal 94 ayat (2) UU PPTKI. BNP2TKI berwenang wewenang untuk memberikan pelayanan, perlindungan, pembinaan dan juga melakukan penempatan TKI.
Di satu sisi, BNP2TKI melakukan pengawasan dan di sisi lain terlibat dalam penempatan TKI. BNP2TKI melakukan usaha penempatan ke luar negeri layaknya PPTKIS. Dengan kata lain, PPTKIS adalah kompetitor BNP2TKI dalam usaha penempatan TKI ke luar negeri. Mustahil bagi PPTKIS untuk mampu bersaing dengan BNP2TKI, sebab BNP2TKI menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN. Kondisi ini berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon. Sebab penghentian TKI ke luar negeri sebagaimana ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU PPTKI, harus memperhatikan saran BP2TKI.
Satu badan mempunyai wewenang menempatkan dan wewenang mengawasi penempatan dapat dipastikan dengan penalaran yang wajar akan berpotensi tindakan penempatan yang dilakukan BNP2TKI tidak terawasi. Bagaimana mungkin BNP2TKI akan mengawasi dirinya sendiri? Bagaimana mungkin Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Luar Negeri mengawasi Kepala BNP2TKI yang sama-sama bertanggung jawab kepada Presiden?
Fungsi dan kewenangan BNP2TKI yang diberikan oleh Pasal 81 ayat (2), Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI, menurut para Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Sebab, fungsi dan kewenangan tersebut menempatkan BNP2TKI sebagai wasit (pengawas) juga sebagai pemain (badan penempatan).
Sepatutnya fungsi pengawasan cukup dilakukan oleh satu lembaga/departemen yang berkompeten, sehingga PPTIKIS dapat menjalankan tugas dan kewajibanya secara professional demi kepentingan dan perlindungan TKI. Seandainya negara berkehendak terlibat dalam usaha penempatan TKI ke luar negeri, negara dapat membentuk Badan Usaha Milik Negara khusus untuk itu, tidak dengan membentuk BNP2TKI, yang menjadi wasit (pengawas) sekaligus pemain (badan penempatan), sehingga fungsi perlindungan dan pengawasan dapat optimal dan fair. Menurut para Pemohon, selayaknya Pasal 11 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana
dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstitusi" edisi Juni 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More