Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker)
sejak Tahun 2009 menghentikan penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke
negara-negara Timur Tengah. Namun disisi lain, Kemnaker membuka lebar-lebar
Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan Calon Tenaga
Kerja Indonesia (CTKI) untuk ditempatkan di negara-negara asia pasifik, seperti
Taiwan dan Hongkong.
Penghentian atau pelarangan ini dianggap
merugikan pengusaha PPTKIS maupun CTKI. Salah satu PPTKIS, yakni PT Gayung
Mulya Ikif (GMI) dan dua CTKI tujuan negara Timur Tengah, yakni Nurbayanti BT.
Abdul Hamid Acen, dan Abbdusalam, merasa dirugikan dengan pelarangan ini.
PT GMI merupakan salah satu PPTKIS yang
bergerak dalam bisnis penempatan TKI ke negara-negara Timur Tengah. Akibat
penghentian/pelarangan ini, bisnis PT GMI menjadi terhenti. Sedangkan bagi
Nurbayanti BT. Abdul Hamid Acen, pelarangan ini memupuskan harapan Nurbayanti
untuk kembali mengais rezeki di Saudi Arabia. Sebelumnya, pada 2009 Nurbayanti
pernah menjadi TKI di Riyad Saudi Arabia dan pulang ke Indonesia pada 2011.
Harapan serupa juga datang dari Abbdusalam, CTKI yang sampai saat ini tidak
dapat bekerja ke Saudi Arabia akibat larangan ini.
Melalui surat bertanggal 16 April 2015
mereka mengadu ke Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKI).
Beberapa pasal UU PPTKI yang diujikan dalam permohonan ini, yakni Pasal 11 ayat
(1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 94 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2). Setelah berkas permohonan
lengkap, pada 18 Mei 2015 Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan ini
dengan Nomor 61/PUU-XIII/2015.
Pasal
11 ayat (1) UU PPTKI
Penempatan TKI di luar
negeri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, hanya dapat
dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan
Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan.
Pasal
27 ayat (1) UU PPTKI
Penempatan TKI di luar
negeri hanyadapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat
perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan
yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing.
Pasal
81 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI
(1)Dengan
pertimbangan untuk melindungi calon TKI / TKI, pemerataan kesempatan kerja
dan/atau untuk kepentingan ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan
nasional, Pemerintah dapat menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI di
luar negeri untuk negara tertentu atau penempatan TKI pada jabatan-jabatan
tertentu di luar negeri.
(2)Dalam
menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah memperhatikan saran dan pertimbangan Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan TKI.
Pasal
94 ayat (2) UU PPTKI
Untuk mencapai tujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI.
Pasal
95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI
(1)Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94
mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan
TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.
(2)Untuk
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan TKI bertugas:
a. melakukan
penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan
Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan
penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
b. memberikan
pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai: 1) dokumen; 2)
pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); 3) penyelesaian masalah; 4)
sumber-sumber pembiayaan; 5) pemberangkatan sampai pemulangan; 6) peningkatan
kualitas calon TKI; 7) informasi; 8) kualitas pelaksana penempatan TKI; dan 9)
peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.
Menurut para Pemohon, ketentuan
pasal-pasal yang diuji tersebut, menimbulkan diskriminasi, ketidakpastian hukum
serta menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan tercederainya
rasa keadilan dan persamaaan di depan hukum, sebagaimana dijamin oleh Pasal 27,
Pasal 28D, Pasal 28H dan Pasal 28I UUD 1945. Selain itu, menimbulkan
multitafsir dan dapat dinilai secara subyektif oleh Kemnaker/BNP2TKI sehingga
mengakibatkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang (abuse of power).
Larangan Penempatan TKI
Penghentian TKI informal/domestik/PLRT ke
negara-negara Timur Tengah terjadi sejak 2009. Berdasarkan ketentuan ketentuan
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 81 ayat (1) UU PPTKI, Kemnaker melarang para
Pemohon untuk menempatkan atau bekerja sebagai TKI Informal/TKI Domestik/PLRT
di wilayah Timur Tengah, yakni negara Saudi Arabia, Kuwait, Yodania, Uni
Emirates Arab, Oman dan Qatar.
Beberapa surat edaran Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI (sekarang Kemnaker) berisi instruksi mengenai
penghentian pekerja sektor domestik/Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Surat
edaran bertanggal 29 Juli 2009 menghentikan penempatan ke Negara Kuwait.
Setahun kemudian, pada 29 Juli 2010 menghentikan penempatan tenaga kerja sektor
domestik ke Yordania. Kemudian pada 23 Juni 2011 menghentikan penempatan ke
Arab Saudi. Jadi,
Namun, di sisi lain, Kemnaker/BNP2TKI
membolehkan penempatkan CTKI/TKI formal maupun informal/PLRT di Korea, Japan,
Malaysia, Singgapore, Hongkong dan Taiwan. Padahal Pemerintah RI tidak
mempunyai hubungan diplomatik dengan Taiwan dan tidak mengakui Taiwan sebagai
negara yang berdaulat.
Alasan tersebut mungkin dibenarkan
seandainya negara Arab Saudi, Kuwait dan Yordania, dalam kedaan Perang, bencana
alam atau ada wabah penyakit yang menular, seperti di aman, Iraq dan Suriah
yang saat ini dilanda perang. Para Pemohon menilai alasan larangan/penghentian
penempatan TKI yang dilakukan oleh Kemnaker ke nagara-negara tersebut adalah
alasan yang subyektif, dan cenderung terkait dengan kepentingan bisnis
tertentu.
Penempatan TKI di luar negeri dengan
syarat adanya perjanjian tertulis “G to G” antara negara pengguna dengan
negara asal sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) UU PPTKI kontras dengan
semangat penegakan dan perlindungan hak asasi tenaga kerja migran (International
Convention On The Protection Of The Rights Off All Migrant Workers And Members
Of Their Families). Menurut para Pemohon, cukup beralasan secara
konstitusional persyaratan adanya “perjanjian antara negara tempat bekerja
dengan negara asal” dinyatakan bertentangan dengan hak asasi pekerja.
Wasit Sekaligus Pemain
Badan Penempatan dan Perlindungan TKI
(BPN2TKI) merupakan lembaga Pemerintah Non Departemen. Pembentukan BNP2TKI
berdasarkan Pasal 94 ayat (2) UU PPTKI. BNP2TKI berwenang wewenang untuk
memberikan pelayanan, perlindungan, pembinaan dan juga melakukan penempatan
TKI.
Di satu sisi, BNP2TKI melakukan pengawasan
dan di sisi lain terlibat dalam penempatan TKI. BNP2TKI melakukan usaha
penempatan ke luar negeri layaknya PPTKIS. Dengan kata lain, PPTKIS adalah
kompetitor BNP2TKI dalam usaha penempatan TKI ke luar negeri. Mustahil bagi
PPTKIS untuk mampu bersaing dengan BNP2TKI, sebab BNP2TKI menggunakan anggaran
yang bersumber dari APBN. Kondisi ini berpotensi merugikan hak konstitusional
para Pemohon. Sebab penghentian TKI ke luar negeri sebagaimana ketentuan Pasal
81 ayat (2) UU PPTKI, harus memperhatikan saran BP2TKI.
Satu badan mempunyai wewenang menempatkan
dan wewenang mengawasi penempatan dapat dipastikan dengan penalaran yang wajar
akan berpotensi tindakan penempatan yang dilakukan BNP2TKI tidak terawasi.
Bagaimana mungkin BNP2TKI akan mengawasi dirinya sendiri? Bagaimana mungkin
Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Luar Negeri mengawasi Kepala BNP2TKI yang
sama-sama bertanggung jawab kepada Presiden?
Fungsi dan kewenangan BNP2TKI yang
diberikan oleh Pasal 81 ayat (2), Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI,
menurut para Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan berpotensi
menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Sebab, fungsi dan
kewenangan tersebut menempatkan BNP2TKI sebagai wasit (pengawas) juga sebagai
pemain (badan penempatan).
Sepatutnya fungsi pengawasan cukup dilakukan
oleh satu lembaga/departemen yang berkompeten, sehingga PPTIKIS dapat
menjalankan tugas dan kewajibanya secara professional demi kepentingan dan
perlindungan TKI. Seandainya negara berkehendak terlibat dalam usaha penempatan
TKI ke luar negeri, negara dapat membentuk Badan Usaha Milik Negara khusus
untuk itu, tidak dengan membentuk BNP2TKI, yang menjadi wasit (pengawas)
sekaligus pemain (badan penempatan), sehingga fungsi perlindungan dan
pengawasan dapat optimal dan fair. Menurut para Pemohon, selayaknya Pasal 11
ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 94 ayat (1)
dan ayat (2) dan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstitusi" edisi Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar