Senin, 13 Mei 2013

Menguji Kapitalisasi Koperasi


Koperasi merupakan usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, tolongmenolong, gotong-royong, senasib sepenanggungan. prinsip usaha koperasi yaitu “dari oleh dan untuk anggota”. Dalam koperasi tidak ada majikan dan buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan bersama (Hatta, 1954). Moh Hatta pernah menyebutkan bahwa cita-cita koperasi indonesia adalah menentang  individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi Indonesia menciptakan masyarakat indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Semangat kolektivisme indonesia yang akan dihidupkan kembali dengan koperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antara manusia pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan.

Dengan demikian, makna koperasi didirikan bukan untuk kepentingan seorang individu untuk menyejahterakan dirinya dengan cara merekrut orang lain dalam koperasi yang didirikannya. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian), justru mengebiri jiwa koperasi yang mengedepankan asas kekeluargaan. Seharusnya, paham kolektif (kolektivisme) yang mendasari batasan pengertian koperasi. Sebaliknya, UU Perkoperasian lebih mengedepankan paham individual (individualisme) yang menjadi batasan koperasi dengan mendefinisikan koperasi didirikan oleh orang perseorangan.

Dari Kolektivisme ke Individualisme
Pergeseran makna koperasi dari kolektivisme ke individualisme, terpampang gamblang dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyatakan, “Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.”

Bila dibandingkan dengan UU tentang Perkoperasian yang pernah berlaku sebelumnya, maka tidak satu pun yang mendefinisikan koperasi sebagai badan usaha yang didirikan oleh orang perseorangan. Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi menyatakan, “Koperasi ialah suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum yang tidak merupakan konsentrasi modal.”

Menurut Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian menyatakan, “Koperasi adalah organisasi ekonomi dan alat revolusi yang berfungsi sebagai tempat persemaian insan masyarakat serta wahana menuju Sosialisme indonesia berdasarkan Pancasila.” Kemudian Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoprasian menyatakan, “Koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau badanbadan hukum Koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha Catatan Perkara56 KONSTITUSI April 2013 bersama berdasar atas azas kekeluargaan.”

Terakhir, pasal 1 angka 1 UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.”

Definisi koperasi sebagai sebuah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tersebut di atas, menunjukkan bahwa semangat (legal policy) pembentukan UU ini adalah merubah paradigma keberadaan koperasi yang sebelumnya merupakan usaha bersama menjadi usaha pribadi. Frasa “didirikan oleh orang perseorangan” yang menjadi pengertian koperasi dalam pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian, menempatkan koperasi serupa dengan commanditaire vennootschap (CV). Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyatakan, “perseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang atau disebut juga perseroan komanditer, didirikan antara seseorang atau antara beberapa orang perseroyang bertanggung jawab secara tanggung-renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang.

Bukan hanya pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian, bahkan beberapa pasal lainnya dalam UU Perkoperasian, juga dinilai semakin menjauh dari cita-cita pendiri bangsa yang telah mengembangkan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Yaitu Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Perkoperasian.

Eksistensi koperasi dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, mengundang keberatan sejumlah koperasi dan anggota koperasi, yakni Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-nisa’ Jawa Timur, pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono. Merasa dirugikan, mereka menyuarakan hak konstitusional mereka dengan mengirim permohonan judicial review UU Perkoperasian ke MK, yang kemudian diregistrasi dengan Nomor 28/PUU-XI/2013. Menurut para pemohon, ketentuan pasal-pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28H Ayat (4), serta Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945.

Pasal 50 ayat (1) huruf a UU Perkoperasian menyatakan, “pengawas bertugas: a. mengusulkan calon pengurus.” Pasal 55 ayat (1), “pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota maupun non-Anggota.” Pasal 56 ayat (1), “pengurus dipilih dan diangkat pada rapat Anggota atas usul pengawas.” Kewenangan kepada pengawas untuk mengusulkan calon pengurus dalam rapat Anggota, mempersempit peluang setiap anggota untuk mengajukan diri sebagai calon pengurus koperasi. Kewenangan mengusulkan calon pengurus di tangan pengawas, menunjukkan penyelenggaraan koperasi bukan lagi berdasar asas kekeluargaan. Kemudian, munculnya pengurus dari kalangan eksternal dinilai sebagai “perampasan” kesempatan para anggota koperasi yang sejak semula berjuang untuk mengembangkan koperasi.

Ihwal Setoran Pokok yang dibayarkan oleh Anggota pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai anggota tidak dapat dikembalikan (Pasal 67), menurut para pemohon, adalah bentuk perampasan secara sewenangwenang terhadap hak milik pribadi yang dijamin Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945. Selain itu, “Setoran Pokok” menyebabkan orang enggan dan segan masuk koperasi karena takut kehilangan uangnya. Adil Berbagi Hasil perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja atas asas kekeluargaan yang dijamin dalam Pasal 28D Ayat (2) dan pasal 33 Ayat (1) UUD 1945, direduksi oleh pasal 78 ayat (2) UU Perkoperasian, “Koperasi dilarang membagikan kepada Anggota Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi dengan non-Anggota.”

Kemudian pasal 80, “Dalam hal terdapat Defisit Hasil Usaha pada Koperasi Simpan pinjam, Anggota wajib menyetor tambahan Sertifikat Modal Koperasi.” Ketentuan tersebut membatasi pemberian surplus hasil usaha yang diperoleh dari transaksi dengan non anggota. Ketidakadilan dalam pembagian hasil kerja yang dilakukan oleh koperasi tersebut, sangat merugikan para pemohon. Usaha yang dilakukan secara bersamasama, hanya dinikmati non anggota koperasi. Kemudian mengenai kewajiban anggota setor tambahan modal saat terjadi defisit, hal ini merupakan eksploitasi. Padahal seharusnya dalam status koperasi sebagai badan hukum (rechtspersoon), pertanggungjawaban anggota hanya sebatas pada “modal” yang disetor.

Nur Rosihin Ana

Catatan Perkara, Majalah KONSTITUSI Edisi April 2013.


Update Berita:

Mahkamah Konstitusi pada Rabu (28/5/2014) menyatakan UU Perkoperasian bertentangan dengan UUD 1945. Ulasannya baca di sini: UU Koperasi Simpangi Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More