Koperasi merupakan usaha bersama berdasar asas kekeluargaan,
tolongmenolong, gotong-royong, senasib sepenanggungan. prinsip usaha koperasi
yaitu “dari oleh dan untuk anggota”. Dalam koperasi tidak ada majikan dan
buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan
bersama (Hatta, 1954). Moh Hatta pernah menyebutkan bahwa cita-cita koperasi indonesia adalah menentang individualisme
dan kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi Indonesia
menciptakan masyarakat indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat
hidup Indonesia yang asli,
tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman
modern. Semangat kolektivisme indonesia yang akan dihidupkan kembali dengan
koperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antara manusia
pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan.
Dengan demikian, makna koperasi didirikan bukan untuk kepentingan seorang
individu untuk menyejahterakan dirinya dengan cara merekrut orang lain dalam
koperasi yang didirikannya. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012
tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian), justru mengebiri jiwa
koperasi yang mengedepankan asas kekeluargaan. Seharusnya, paham kolektif
(kolektivisme) yang mendasari batasan pengertian koperasi. Sebaliknya, UU Perkoperasian lebih mengedepankan paham
individual (individualisme) yang menjadi batasan koperasi dengan mendefinisikan
koperasi didirikan oleh orang perseorangan.
Dari Kolektivisme ke
Individualisme
Pergeseran makna
koperasi dari kolektivisme ke individualisme, terpampang gamblang dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyatakan, “Koperasi adalah badan
hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan
pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang
memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya
sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.”
Bila dibandingkan dengan UU tentang Perkoperasian yang pernah berlaku
sebelumnya, maka tidak satu pun yang mendefinisikan koperasi sebagai badan
usaha yang didirikan oleh orang perseorangan. Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi menyatakan, “Koperasi
ialah suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum yang
tidak merupakan konsentrasi modal.”
Menurut Pasal 3
UU Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian
menyatakan, “Koperasi adalah organisasi ekonomi dan alat revolusi yang
berfungsi sebagai tempat persemaian insan masyarakat serta wahana menuju
Sosialisme indonesia berdasarkan Pancasila.”
Kemudian Pasal 3 UU Nomor 12
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoprasian menyatakan, “Koperasi indonesia
adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang
atau badanbadan hukum Koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai
usaha Catatan Perkara56 KONSTITUSI April 2013 bersama berdasar atas azas
kekeluargaan.”
Terakhir, pasal 1 angka 1 UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
“Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum
Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.”
Definisi koperasi sebagai sebuah badan hukum yang didirikan oleh
perseorangan dalam Pasal 1 angka
1 UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian
tersebut di atas, menunjukkan bahwa semangat (legal policy) pembentukan UU ini adalah merubah paradigma
keberadaan koperasi yang sebelumnya merupakan usaha bersama menjadi usaha
pribadi. Frasa “didirikan oleh orang perseorangan” yang menjadi pengertian
koperasi dalam pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian, menempatkan koperasi serupa
dengan commanditaire vennootschap (CV). Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyatakan, “perseroan
yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang atau disebut juga perseroan
komanditer, didirikan antara seseorang atau antara beberapa orang perseroyang
bertanggung jawab secara tanggung-renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang
atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang.
Bukan hanya pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian, bahkan beberapa
pasal lainnya dalam UU Perkoperasian, juga dinilai semakin menjauh dari
cita-cita pendiri bangsa yang telah mengembangkan koperasi sebagai soko guru
perekonomian nasional. Yaitu Pasal
50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68,
Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76,
Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Perkoperasian.
Eksistensi koperasi dalam ketentuan pasal-pasal tersebut,
mengundang keberatan sejumlah koperasi dan anggota koperasi, yakni Gabungan
Koperasi Pegawai Republik Indonesia
(GKPRI) provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) Jawa Timur, Pusat
Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-nisa’ Jawa Timur, pusat Koperasi BUEKA Assakinah
Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono.
Merasa dirugikan, mereka menyuarakan hak konstitusional mereka dengan mengirim
permohonan judicial review UU Perkoperasian ke MK, yang kemudian
diregistrasi dengan Nomor 28/PUU-XI/2013. Menurut para pemohon, ketentuan
pasal-pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional mereka yang dijamin
oleh Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28H Ayat (4), serta Pasal 33
Ayat (1) UUD 1945.
Pasal 50 ayat (1) huruf a UU Perkoperasian menyatakan, “pengawas bertugas: a. mengusulkan calon
pengurus.” Pasal 55 ayat (1),
“pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota maupun non-Anggota.” Pasal 56 ayat (1), “pengurus
dipilih dan diangkat pada rapat Anggota atas usul pengawas.” Kewenangan kepada pengawas untuk mengusulkan
calon pengurus dalam rapat Anggota, mempersempit peluang setiap anggota untuk
mengajukan diri sebagai calon pengurus koperasi. Kewenangan mengusulkan calon
pengurus di tangan pengawas, menunjukkan penyelenggaraan koperasi bukan lagi
berdasar asas kekeluargaan. Kemudian, munculnya pengurus dari kalangan
eksternal dinilai sebagai “perampasan” kesempatan para anggota koperasi yang
sejak semula berjuang untuk mengembangkan koperasi.
Ihwal Setoran Pokok yang dibayarkan oleh Anggota
pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai anggota tidak dapat
dikembalikan (Pasal 67),
menurut para pemohon, adalah bentuk perampasan secara sewenangwenang terhadap
hak milik pribadi yang dijamin Pasal
28H Ayat (4) UUD 1945. Selain itu, “Setoran Pokok” menyebabkan orang enggan dan
segan masuk koperasi karena takut kehilangan uangnya. Adil Berbagi Hasil perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja atas asas kekeluargaan yang dijamin
dalam Pasal 28D Ayat (2) dan pasal 33 Ayat (1) UUD 1945, direduksi oleh pasal
78 ayat (2) UU Perkoperasian, “Koperasi dilarang membagikan kepada Anggota
Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi dengan non-Anggota.”
Kemudian pasal 80, “Dalam hal terdapat Defisit Hasil Usaha pada
Koperasi Simpan pinjam, Anggota wajib menyetor tambahan Sertifikat Modal
Koperasi.” Ketentuan tersebut
membatasi pemberian surplus hasil usaha yang diperoleh dari transaksi dengan
non anggota. Ketidakadilan dalam pembagian hasil kerja yang dilakukan oleh
koperasi tersebut, sangat merugikan para pemohon. Usaha yang dilakukan secara bersamasama, hanya dinikmati non
anggota koperasi. Kemudian mengenai kewajiban anggota setor tambahan modal saat
terjadi defisit, hal ini merupakan eksploitasi. Padahal seharusnya dalam status
koperasi sebagai badan hukum (rechtspersoon), pertanggungjawaban anggota
hanya sebatas pada “modal” yang disetor.
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara, Majalah KONSTITUSI Edisi April 2013.
Update Berita:
Mahkamah Konstitusi pada Rabu (28/5/2014) menyatakan UU Perkoperasian bertentangan dengan UUD 1945. Ulasannya baca di sini: UU Koperasi Simpangi Konstitusi
Update Berita:
Mahkamah Konstitusi pada Rabu (28/5/2014) menyatakan UU Perkoperasian bertentangan dengan UUD 1945. Ulasannya baca di sini: UU Koperasi Simpangi Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar