"Abghadhul
halâli ‘indallâhi at-thalâqu”
Perkara
halal yang paling dibenci di sisi Allah adalah perceraian. (Al-Hadits)
Impian dan harapan dalam membina mahligai
rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, seketika sirna ketika badai perceraian
mengancam keutuhan perkawinan. Perceraian seringkali menimbulkan implikasi yang
bukan hanya menimpa pasangan suami atau istri. Terlebih lagi jika hasil
pernikahan yang sah telah membuahkan keturunan (anak).
Putusnya ikatan perkawinan karena perceraian
seringkali berakhir dengan kerugian materiil yang dialami oleh salah satu pihak
yang berselisih. Misalnya masalah kekayaan bersama (harta gono-gini). Harta
yang diperoleh selama perkawinan telah diatur dalam Pasal 35 ayat (1), dan
Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 35
ayat (1) menyatakan “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama“. Pasal 37 menyatakan, “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta
benda diatur menurut hukumnya masing-masing”. Kriteria harta bersama juga
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf f yang berlaku berdasarkan
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang menyatakan, ”harta kekayaan dalam perkawinan
(harta bersama) yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama
suami-istri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapapun.”
Kisruh masalah harta gono-gini dihadapi Magda
Safrina saat mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya ke Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh. Dalam gugatan, ibu tiga anak ini mencantumkan sejumlah
harta gono-gini dalam bentuk tabungan dan deposito atas nama suaminya. Namun,
Suami Safrina dalam jawaban gugatan menyangkalnya.
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh kemudian minta
penjelasan dari pihak bank. Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang Aceh Besar dan
Bank BRI Cabang KCP Peunayong Banda Aceh dalam jawaban tertulisnya menyatakan
tidak dapat memenuhi permintaan dikarenakan menyangkut kerahasiaan data
nasabah. Sedangkan Kepala Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam dalam
keterangan saat hadir dalam sidang perceraian Safrina, menyatakan, deposito suami
Safrina senilai Rp. 600 juta. Namun deposito tersebut telah dicairkan beberapa
hari sebelum Safrina gugat cerai suaminya. Pihak bank juga menolak ketika Hakim
Mahkamah Syari’iyah meminta keterangan lebih lanjut mengenai aliran dana.
Kerahasiaan bank menjadi asas bagi ketiga bank
tersebut untuk menolak memberikan keterangan. Hal ini membuat Safrina tidak tahu
pasti berapa besar tabungan, deposito dan aset produk perbankan lainnya yang
disimpan oleh suaminya. Mahkamah Syar’iyah pun kesulitan menentukan jumlah harta
gono-gini.
Seorang diri, tanpa didampingi kuasa hukum, Safrina
mendatangi MK untuk mengujikan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (1) dan ayat
(2) UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (UU Perbankan), yang menyatakan, “(1) Bank wajib merahasiakan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44,
dan Pasal 44A. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi Pihak terafiliasi.” Menurut Safrina, ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat
(2) UU Perbankan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4)
UUD 1945.
Setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan
datanya oleh bank. Namun, ketentuan tersebut juga memberikan pengecualian bahwa
data nasabah juga dapat diakses untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian
piutang bank, kepentingan peradilan perkara pidana, perkara perdata antar bank
dengan nasabahnya, kepentingan tukar-menukar informasi antar bank, dan atas
persetujuan nasabah.
Dari pengecualian (mustatsnayât) tersebut,
terdapat norma yang membolehkan data nasabah dibuka atas perintah pengadilan,
yaitu untuk perkara pidana dan perkara perdata antarbank dengan nasabahnya. Oleh
karena itu, maka keadilan akan terpenuhi jika data nasabah juga harus dibuka
untuk kepentingan peradilan perdata terkait dengan harta bersama (gono-gini).
Keadilan rupanya berpihak kepada Safrina.
Setelah tiga kali menjalani proses persidangan, pada persidangan keempat,
ikhtiar yang ditempuh Safrina terbayarkan. Senyum ceria menghiasi wajah Safrina
ketika permohonannya dikabulkan. Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk
untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.”
(Nur Rosihin Ana)
Editorial Majalah Konstitusi Edisi Maret 2013 No. 73
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/Majalah_63_3.%20BMK%20Edisi%20Maret%202013s.pdf
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/Majalah_63_3.%20BMK%20Edisi%20Maret%202013s.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar