Senin, 20 Mei 2013

PP Muhammadiyah Gugat UU Rumah Sakit

Pelayanan kesehatan masyarakat merupakan kewajiban negara. Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan yang relevan dengan kebutuhan. Konstitusi juga menjamin peran serta warga negara atau lembaga privat dalam penyelenggaraan layanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh negara, masih jauh dari harapan masyarakat. Di sisi lain, muncul ikhtiar dari masyarakat atau lembaga privat untuk berperan serta dalam hal penyelenggaraan layanan kesehatan. Partisipasi masyarakat atau lembaga privat dalam hal penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan, selayaknya mendapatkan apresiasi oleh negara. Sebab, layanan kesehatan oleh masyarakat, lembaga privat, sangat berperan ikut mendorong program pemerintah dalam hal menigkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Apresiasi dari negara terhadap masyarakat atau lembaga privat yang memberikan layanan di bidang kesehatan, misalnya diwujudkan dalam hal memberikan kemudahan perizinan. Bukan justru mempersulit perizinan, apalagi mengganjar dengan sanksi pidana.

Kiprah Persyarikatan Muhammadiyah dalam bidang keagamaan/dakwah dan sosial kemasyarakatan, pendidikan dan pengajaran serta kesehatan telah berlangsung lama. Sebagai badan hukum, Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Miladiyah ini telah mendirikan berbagai amal usaha dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan. Amal usaha Muhammadiyah dalam bidang kesehatan, termasuk di dalamnya kegiatan di bidang rumah sakit, balai pengobatan, tertuang dalam surat pernyataan Menteri Kesehatan RI No. 155/Yan.Med/Um/1998, tanggal 22 Februari 1988. Saat ini Muhammadiyah memiliki kurang lebih 457 unit usaha rumah sakit, rumah sakit bersalin dan uni kesehatannya lainnya yang tersebar di provinsi di Indonesia.

Badan Hukum Khusus

Khidmah Muhammadiyah dalam dalam amal usaha bidang kesehatan menemui hambatan signifikan khususnya mengenai perizinan. Perpanjangan izin operasional  unit kesehatan yang diajukan Muhammadiyah, ditolak oleh Kementerian  Kesehatan (Kemenkes) dan badan yang berkompeten seperti, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Dinas Tenaga Kerja, Badan Pengendalian Lingkungan (Bapedal), Lembaga Metrologi Nasional Indonesia, Dinas Pekerjaan Umum, Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), dan Dinas Kebakaran. Alasannya, unit kesehatan yang didirikan Muhammadiyah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat 4 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS) yang menyatakan, “Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan.”

Muhammadiyah merasakan adanya kerugian materiil dan imateriil yang diakibatkan tidak adanya pengakuan dan jaminan atas keberadaan amal usaha RS Muhammadiyah. Selain itu, pembentukan badan khusus dimaksud memunculkan potensi konflik kepemilikan antara Muhammadiyah dengan pengelola RS Muhammadiyah yang status hukumnya harus disesuaikan dengan UU Rumah Sakit. Hal ini tentu sangat menggangu pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Merasa dirugikan, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, dan Ketua Muhammadiyah Bidang Kesehatan, A. Syafiq Mughni, mengajukan permohonan Judicial Review atas Ketentuan Pasal 7 ayat (4), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 ayat (5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 64 ayat (1) UU RS. Din Syamsudin dan Syafiq Mughni melalui kuasa hukum Syaiful Bakhri dkk, menyatakan ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan dengan UUD 1945, khususnya Paragraf Keempat Pembukaan, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.

Kepaniteraan MK pada Kamis (11/4/2013) meregistrasi permohonan PP Muhammadiyah dengan Nomor 38/PUU-XI/2013. Selanjutnya, MK menggelar sidang pendahuluan Kamis (17/4/2013) yang dihadiri oleh A. Syafiq Mughni dan para Direktur Rumah Sakit Islam Muhammadiyah se-Indonesia, serta didampingi kuasa hukum Syaiful Bakhri dkk. MK juga mengagendakan pemeriksaan lanjutan dengan agenda perbaikan permohonan pada persidangan yang digelar pada Selasa (7/4/2013).

Persyarikatan Muhammadiyah telah berstatus badan hukum sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Muhammadiyah merasa hak konstitusional yang dimilikinya sebagai badan hukum, direduksi oleh UU RS. Ketentuan Pasal  Pasal 7 ayat 4 UU RS tegas menyatakan RS swasta harus berbentuk badan hukum yang khusus yang bergerak di bidang perumahsakitan. Selain itu, ketentuan dalam UU RS juga memberikan sanksi pidana penjara, denda, dan sansksi administrasi bagi RS yang tidak didirikan oleh badan hukum khusus kerumahsakitan.

Ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU RS mewajibkan Muhammadiyah membentuk badan hukum khusus untuk perumahsakitan. Ketentuan ini berarti memungkiri eksistensi PP Muhammadiyah sebagai badan hukum yang berhak memiliki amal usaha RS. “Sama halnya tidak mengakui hak bersyarikat dan berkumpulnya Pemohon (Muhammadiyah) dalam mewujudkan Persyarikatan Muhammadiyah yang yang telah diakui oleh negara sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan kemerdekaan,” kata kuasa hukum PP Muhammadiyah, Syaiful Bakhri.

Liberalisasi Layanan Kesehatan

Kepemilikan amal usaha Rumah Sakit Muhammadiyah merupakan wujud nasionalisme yang tidak boleh terkikis oleh kewajiban status hukum dan administrasi sebagaimana ketentuan dalam UU Rumah Sakit. PP Muhammadiyah menengarai hadirnya UU RS menjadi pintu masuk liberalisasi dalam bidang pelayanan kesehatan di Indonesia. Pendekatan kelas dalam pelayanan kesehatan dengan perlakuan dan jaminan berbeda antara milik pemerintah dan milik swasta.

Ketentuan-ketentuan dalam UU RS tidak mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia. Beberapa ketentuan dalam UU RS justru membuka peluang perbedaan perlakuan dalam memperoleh pelayanan kesehatan. UU ini juga tidak mencerminkan asas kekeluargaan, karena tidak melihat seluruh elemen bangsa menjadi bagian integral dari negara dan bangsa Indonesia. Asas bhinneka tunggal ika, juga tidak tercermin dalam UU RS, karena tidak mengakomodasi elemen-elemen yang ada di masyarakat sebagai anak bangsa, tetapi menggunakan pendekatan kelas. Selain itu, UU RS ini tidak mencerminkan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan karena masih membedakan status pemerintah dan swasta yang merupakan penegasan prinsip diskriminasi sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Mei 2013:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More