Kamis, 20 Juni 2013

Swastanisasi TKI Langgar Konstitusi?

Cerita tentang derita para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, menambah panjang daftar kelam tentang minimnya perlindungan oleh negara terhadap warganya. TKI sering kali dijadikan objek perdagangan manusia. Kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat serta perlakuan yang melanggar HAM menjadi kenyataan pahit yang harus mereka terima.

Hal tersebut dikarenakan negara absen memberikan perlindungan kepada para “pahlawan devisa”. Negara tidak menjalankan amanat konstitusional untuk memberikan perlindungan bagi TKI di luar negeri. Negara justru menyerahkan tanggung jawabnya kepada swasta. Pendelegasian tanggung jawab penempatan TKI oleh negara kepada swasta merupakan merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang yang bekerja di luar negeri.

Salah satu tugas Negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, prinsip perlindungan dan kepastian hukum bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) belum tercermin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Ketidakseriusan negara memberikan perlindungan kepada TKI, tergambar jelas dalam ketentuan UU PPTKILN. Yakni Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59, dan Pasal 60 UU PPTKILN.  

Ketentuan pasal-pasal UU PPTKILN tersebut diusung ke MK untuk dimohonkan judicial review. Pengusungnya adalah Arni Aryani Suherlan Odo, Siti Masitoh BT Obih Ading, dan Ai Lasmini BT Enu Wiharja. Para Pemohon yang merupakan buruh migran sekaligus aktivis Yayasan PRO TKI ini meminta MK menyatakan Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59, dan Pasal 60 UU PPTKILN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan para TKI luar di negeri ini dengan Nomor 50/PUU-XI/2013 pada Senin 29 April 2013 pukul 14.00 WIB. Menanggapi permohonan buruh migran tersebut, MK menggelar sidang pendahuluan pada Selasa (28/5)

Swastanisasi Tanggung Jawab

Dalam permohonan setebal 12 halaman yang dilayangkan ke MK, para Pemohon melalui kuasa hukum Sondang Tampubolon dkk, mendalilkan bahwa Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Ketentuan ini diperkuat dengan Pasal 10 yang mengamanatkan penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh Pemerintah dan swasta. Namun, dalam prakteknya, Pemerintah cenderung memberikan kewenangan pengiriman TKI kepada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).

Pasal 10 UU PPTKILN menyatakan, “Pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri terdiri dari: a. Pemerintah; b. Pelaksanaan penempatan TKI swasta.” Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU PPTKILN memberikakan tanggung jawab penempatan TKI kepada swasta. Menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) yang menegaskan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Kontrak Mandiri

Para Pemohon juga berdalil bahwa pengurusan perpanjangan perjanjian kerja hanya oleh PPTKIS, menutup peluang TKI untuk mengurus perpanjangan kontrak secara mandiri. Hal ini merugikan karena tiadanya jaminan para Pemohon akan kembali bekerja pada majikan yang sama. Selain itu, para Pemohon berpotentsi kehilangan pekerjaan sebab fakta selama ini, penempatan TKI swasta sering mempersulit pengurusan perpanjangan kerja TKI. Bahkan ditemukan fakta perusahaan penempatan TKI swasta tidak lagi diketahui keberadaannya.

Pasal 58 ayat (2) menyatakan, “Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta.” Frasa “oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta” dalam ketentuan pasal ini membatasi secara limitatif bahwa yang boleh melaksanakan pengurusan perpanjangan perjanjian kerja hanya Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Hal ini menurut para Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Begitu pula dengan ketentuan Pasal 59 UU PPTKILN yang menyatakan, “TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.” Ketentuan ini menurut para Pemohon juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Ketentuan ini mengharuskan TKI pulang ke Indonesia untuk mengurus perpanjangan perjanjian kerja. Ketentuan ini selain tidak efektif, juga berpotensi menyebabkan TKI kehilangan kesempatan untuk bekerja pada majikan yang sama, karena majikan telah memperkerjakan orang lain.

UU PPTKILN yang disahkan pada 18 Oktober 2004 ini telah memunculkan adanya penafsiran berbeda dari para pihak, terutama Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Kementerian Luar Negeri terkait keabsahan dan pemberlakuan kontrak mandiri. Multitafsir dimaksud yaitu pada Pasal 60 menyatakan, “Dalam hal perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka pelaksana penempatan TKI swasta tidak bertanggungjawab atas risiko yang menimpa TKI dalam masa perpanjangan perjanjian kerja.

Norma Pasal 60 dalam tataran implementasi ditafsirkan berbeda oleh BNP2TKI dan Kemenakertrans. Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor PER.04/KA/V/2011 tentang Petunjuk Teknis Tenaga Kerja Indonesia yang Bekerja Secara Perseorangan, menyebutkan bahwa kontrak kerja mandiri/perseorangan hanya dapat dilakukan bagi yang bekerja pada badan hukum. Namun dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dijelaskan bahwa kontrak kerja mandiri yang dilakukan oleh TKI secara mandiri diperbolehkan, tanpa membedakan yang bekerja pada badan hukum atau perseorangan.

Larangan kontrak mandiri oleh Pemerintah Indonesia di luar negeri sangat merugikan TKI. Pemerintah seharusnya mengaca pada negara lain seperti Filipina, Srilanka, dan Thailand yang membebaskan tenaga kerjanya untuk kontrak mandiri. Norma tersebut pun memunculkan pertanyaan bagi para Pemohon. Apakah perpanjangan perjanjian kerja yang dilakukan oleh TKI yang bersangkutan sah atau tidak sah? Apakah ketentuan tersebut berarti perpanjangan kerja TKI sah, tetapi risiko hukum akibat perpanjangan perjanjian ditanggung oleh TKI yang bersangkutan?

Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Juni 2013:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/Majalah_66_6.%20BMK%20Edisi%20Juni%202013%20.pdf





Update 16 Oktober 2014.


Mahkamah Kabulkan Sebagian Permohonan

Mahkamah Konstitusi dalam persidangan dengan agenda pengucapan putusan, Kamis (16/10/2014) menyatakan mengabulkan sebagian permohonan. Mahkamah bertitah, Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.


Pendapat Mahkamah tentang Pasal 59 UU PPTKILN yang tertuang dalam Putusan Nomor 50/PUU-XI/2013, hal. 39-43

Pasal 59 UU 39/2004:
[3.14] Menimbang bahwa Pasal 59 UU 39/2004 menyatakan, “TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja, TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.” Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa ketentuan yang mengharuskan TKI bersangkutan untuk pulang terlebih dahulu ke Indonesia, adalah tidak efektif dan tidak efisien, serta berpotensi menghilangkan kesempatan TKI untuk bekerja pada majikan yang sama dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945.
Untuk dapat memahami maksud dari ketentuan Pasal 59 dimaksud, salah satu pendekatan yang dipergunakan oleh Mahkamah adalah pendekatan sistematis dengan cara mengkaitkan Pasal 59 dimaksud dengan pasal dan/atau ayat lain dalam Undang-Undang yang sama. Pendekatan demikian dipergunakan oleh Mahkamah mengingat Penjelasan Pasal 59 Undang-Undang a quo hanya menyatakan, “Cukup jelas”.
[3.14.1] Bahwa pengguna jasa TKI menurut Pasal 1 angka 7 UU 39/2004 adalah instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau perseorangan. TKI yang bekerja pada instansi pemerintah, badan hukum pemerintah, dan/atau badan hukum swasta ditempatkan oleh Pemerintah dengan dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan, sedangkan TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan ditempatkan oleh PPTKIS melalui mitra usaha di negara tujuan.
Jika perbedaan tata cara penempatan tersebut dikaitkan dengan ketentuan Pasal 59, akan memunculkan kesan diskriminasi karena TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan diwajibkan pulang terlebih dahulu ke Indonesia jika perjanjian kerjanya berakhir dan TKI bersangkutan akan memperpanjang perjanjian kerja, sementara bagi TKI yang bekerja selain pada pengguna perseorangan tidak terkena kewajiban untuk pulang terlebih dahulu ke Indonesia jika perjanjian kerjanya berakhir dan TKI bersangkutan akan memperpanjang perjanjian kerja.
[3.14.2] Bahwa dalam keterangan Pemerintah yang disampaikan secara lisan maupun secara tertulis dijelaskan tujuan dari ketentuan Pasal 59 UU 39/2004 adalah agar TKI yang bersangkutan menemui keluarganya terlebih dahulu (menguatkan silaturahim) terutama bagi TKI yang telah menikah/berkeluarga. Pemerintah juga menerangkan ketentuan dimaksud dilatarbelakangi bahwa biasanya tenggat berakhirnya perjanjian kerja berbarengan dengan berakhirnya masa berlaku visa TKI yang bersangkutan.
Menurut Mahkamah argumentasi yang demikian tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut:
bagaimana jika TKI bersangkutan belum berkeluarga?
apa manfaatnya bagi pasangan suami-istri yang keduanya menjadi TKI di negara tujuan yang sama?
bagaimana jika TKI bersangkutan sudah tidak memiliki keluarga?
bagaimana jika jangka waktu berlakunya perjanjian kerja tidak sama dengan jangka waktu berlakunya visa TKI bersangkutan?
Pertanyaan demikian bisa jadi memang bersifat kasuistis, yang artinya bisa saja peluang terjadinya peristiwa dimaksud sangat kecil, namun jika Pasal 59 UU 39/2004 dimaksud secara umum ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum dan perlindungan sosial bagi TKI itu sendiri dan keluarganya yang berada di Indonesia maka upaya perlindungan demikian harus diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan akibat lain yang justru negatif.
Menurut Mahkamah adalah kontraproduktif jika ketentuan yang mengharuskan pulang terlebih dahulu ke Indonesia yang dimaksud oleh pasal tersebut ternyata justru menyulitkan TKI bersangkutan untuk kembali bekerja pada majikan yang sama, atau setidaknya memperoleh kembali pekerjaan dengan kualitas yang sama, padahal jika tidak pulang terlebih dahulu ke Indonesia TKI bersangkutan dapat bekerja pada majikan dan/atau kualitas pekerjaan yang sama.
[3.14.3] Bahwa jika Pasal 59 UU 39/2004 dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada TKI, menurut Mahkamah pada kenyataannya norma pasal tersebut dan implikasinya justru mengikat TKI namun tidak dapat ditujukan apalagi mengikat pengguna jasa TKI. Bertolak dari hal demikian, menjadi sebuah pertanyaan dimana letak perlindungannya jika ketentuan keharusan pulang ke Indonesia terlebih dahulu bagi TKI yang akan memperpanjang perjanjian kerja tidak dapat sekaligus mewajibkan kepada pengguna jasa TKI untuk menerima perpanjangan kerja dimaksud meskipun TKI yang bersangkutan pulang terlebih dahulu ke Indonesia. Tentu tidak tepat disebut sebagai norma perlindungan hukum jika Pasal 59 UU 39/2004 justru menghilangkan atau setidaknya berpotensi menghilangkan kesempatan bagi TKI untuk memperpanjang perjanjian kerja dengan pengguna jasa TKI yang sesuai/cocok/diinginkan oleh TKI yang bersangkutan.
Mahkamah dapat memahami argumen sosiologis dari Pasal 59 UU 39/2004 yang bertujuan menjaga keutuhan/keharmonisan TKI dan keluarganya dengan mewajibkan TKI bersangkutan pulang ke Indonesia setidaknya sekali dalam 2 (dua) tahun [vide Pasal 56 ayat (1) UU 39/2004]. Namun menurut Mahkamah, ketentuan yang demikian menjadi tidak efektif dan tidak efisien selama belum didukung dengan kemudahan dan kecepatan pengurusan visa serta prioritas untuk bekerja pada tempat yang sama ketika dilakukan perpanjangan perjanjian kerja. Apalagi dalam Undang-Undang a quo, Mahkamah tidak menemukan ketentuan yang jelas bagaimana tindak lanjut kepulangan TKI ke Indonesia dengan upaya pengharmonisan rumah tangga, selain kepulangan tersebut sekadar sebagai sarana pelepas rindu keluarga. Lagipula tanpa adanya norma pasal tersebut keinginan TKI untuk pulang dalam rangka silaturahim atau menjaga keutuhan/keharmonisan keluarga tidak terhalangi.
[3.14.4] Bahwa daripada mengharuskan TKI pulang terlebih dahulu ke Indonesia jika akan memperpanjang perjanjian kerja, menurut Mahkamah lebih tepat jika Pemerintah melakukan advokasi mengenai hak libur bagi TKI di luar negeri agar dapat dimanfaatkan untuk pulang ke Indonesia sewaktu-waktu, sehingga TKI bersangkutan lebih memiliki keleluasaan untuk mengatur sendiri kapan akan pulang ke Indonesia, yang tentunya disesuaikan dengan kondisi pekerjaannya.
Mahkamah juga tidak menemukan argumentasi yang kuat mengapa TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia jika akan melakukan perpanjangan perjanjian kerja, sementara TKI yang bekerja pada pengguna selain perseorangan tidak dikenai keharusan yang sama, padahal kedua TKI tersebut berada pada kondisi hukum yang sama, antara lain keduanya harus mengurus visa (jika memang masa berlaku visa-nya mendekati berakhir), keduanya mungkin memiliki keluarga di Indonesia, dan keduanya terikat juga pada ketentuan jangka waktu perjanjian kerja.
Menurut Mahkamah, pembedaan perlakuan terhadap TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan di satu sisi dan TKI yang bekerja pada selain pengguna perseorangan di sisi lain, tidak dapat langsung dimaknai sebagai tindakan diskriminatif. Namun demikian, dalam hal ini Mahkamah tidak menemukan argumentasi yang dapat menguatkan alasan pembedaan perlakuan tersebut, apalagi ketentuan Pasal 59 UU 39/2004 yang memperlakukan secara berbeda TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan justru memunculkan potensi kerugian pada TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan, terutama potensi kesulitan bagi TKI bersangkutan untuk kembali bekerja pada majikan dan/atau tempat kerja yang sama.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 59 UU 39/2004 telah menghalangi hak para Pemohon untuk diperlakukan sama di hadapan hukum serta melanggar hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusional Pasal 59 UU 39/2004 beralasan menurut hukum.


Naskah lengkap putusan uji materi UU Perlindungan TKI dapat diunduk di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More