Kamis, 20 Juni 2013

Hutan Adat dalam Daulat Masyarakat Hukum Adat

“Al-'âdah Muhakkamah”
Adat kebiasaan itu dapat menjadi dasar 
dalam penetapan hukum. (Kaidah Ushul Fikih)


Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebelum ada kerajaan, imperium, dan sebelum ada negara-negara nasional, telah ada terlebih dahulu kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang lahir dan tumbuh secara alamiah pada sebuah kawasan. Kesatuankesatuan masyarakat adat ini adalah penduduk asli (indigenous peoples) di kawasan yang bersangkutan. Batas antara wilayah suatu kesatuan masyarakat adat dengan wilayah masyarakat adat lainnya lazim disepakati bersama dengan menggunakan batas-batas alam, seperti sungai, gunung, pohon, atau laut.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat menghormati dan mengakui hak kesatuan masyarakat adat tanpa syarat. Namun menjadi ironi ketika hak masyarakat adat justru dikebiri oleh pemerintah nKRi melalui berbagai kondisionalitas. Tanah ulayat kesatuan masyarakat adat yang dikuasai negara, bukannya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tetapi diserahkan kepada perusahaan-perusahaan besar swasta dengan tujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Memasukkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 6, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kehutanan, menunjukkan UU Kehutanan memiliki cara pandang yang tidak tepat terhadap keberadaan dan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat atas kawasan hutan adatnya. Selama lebih dari 10 tahun sejak diberlakukan, UU Kehutanan menjadi alat negara untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya. Selanjutnya, hutan adat yang telah berubah menjadi hutan negara, diserahkan kepada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Akibatnya, terjadi konflik berkepanjangan antara kesatuan masyarakat hukum adat dengan pengusaha yang memanfaatkan hutan adat mereka. Praktik ini kian menyebar pada sebagian besar wilayah nKRi. Kasus Bentian, Manggarai, Mesuji, dan Pulau Padang, merupakan beberapa contoh kasus tanah masyarakat adat yang dimasukkan dalam izin hutan tanam industri yang diberikan oleh menteri.

Menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Sebab, keberadaan hutan adat dalam wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat, diakui dan dilindungan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3) UUD 1945. Hal ini merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai living law yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang. Kecuali jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara.

Sudah saatnya mengembalikan hutan adat dalam daulat masyarakat hukum adat yang diakui eksistensinya dalam konstitusi. Maka sudah selayaknya jika ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan harus dimaknai “Hutan adat bukan hutan negara.”

Nur Rosihin Ana


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More