“Al-'âdah Muhakkamah”
Adat kebiasaan itu dapat menjadi dasar
dalam penetapan
hukum. (Kaidah Ushul Fikih)
Pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat
menghormati dan mengakui hak kesatuan masyarakat adat tanpa syarat. Namun
menjadi ironi ketika hak masyarakat adat justru dikebiri oleh pemerintah nKRi
melalui berbagai kondisionalitas. Tanah ulayat kesatuan masyarakat adat yang
dikuasai negara, bukannya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
tetapi diserahkan kepada perusahaan-perusahaan besar swasta dengan tujuan untuk
mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Memasukkan hutan adat sebagai bagian dari
hutan negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 6, Pasal 4 ayat (3) dan
Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kehutanan, menunjukkan UU Kehutanan
memiliki cara pandang yang tidak tepat terhadap keberadaan dan hak-hak kesatuan
masyarakat hukum adat atas kawasan hutan adatnya. Selama lebih dari 10 tahun
sejak diberlakukan, UU Kehutanan menjadi alat negara untuk mengambil alih hak
kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya. Selanjutnya, hutan
adat yang telah berubah menjadi hutan negara, diserahkan kepada para pemilik modal
melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak
serta kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut.
Akibatnya, terjadi konflik berkepanjangan antara kesatuan masyarakat hukum adat
dengan pengusaha yang memanfaatkan hutan adat mereka. Praktik ini kian menyebar
pada sebagian besar wilayah nKRi. Kasus Bentian, Manggarai, Mesuji, dan Pulau
Padang, merupakan beberapa contoh kasus tanah masyarakat adat yang dimasukkan
dalam izin hutan tanam industri yang diberikan oleh menteri.
Menempatkan hutan adat sebagai bagian dari
hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Sebab,
keberadaan hutan adat dalam wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat,
diakui dan dilindungan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3) UUD 1945. Hal
ini merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai living law
yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang. Kecuali jika
dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi,
maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan status
hutan adat pun beralih menjadi hutan negara.
Sudah saatnya mengembalikan hutan adat dalam
daulat masyarakat hukum adat yang diakui eksistensinya dalam konstitusi. Maka
sudah selayaknya jika ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan harus dimaknai
“Hutan adat bukan hutan negara.”
Nur Rosihin Ana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar