Istilah
wakil menteri tidak dikenal dalam dalam UUD 1945. Pengangkatan wakil
menteri yang dilakukan oleh Presiden pada Kabinet Indonesia Bersatu
jilid II (KIB II) yang bersandarkan pada Pasal Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara), adalah bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945. Demikian dikatakan M. Arifsyah Matondang, saat didaulat menjadi kuasa Pemohon di persidangan Mahkamah Konstitusi, Kamis (1/12/2011).
Sidang permohonan judicial review materi UU Kementerian Negara ini diajukan oleh Adi
Warman, Ketua Umum Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(GN-PK) dan H. TB. Imamudin, Sekretaris Jenderal GN-PK. Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang
berbunyi, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan
secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian
tertentu” bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Memperkuat dalil permohonan, lebih lanjut kuasa Pemohon, Arifsyah menuturkan, Pasal 51 Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara menyatakan, “Susunan
organisasi Kementerian yang menyelenggarakan fungsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 terdiri atas unsur: a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat kementerian; c. pelaksana, yaitu
deputi kementerian; dan d. pengawas, yaitu inspektorat kementerian.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, wakil menteri tidak ada dalam susunan organisasi
kementerian. Pengangkatan jabatan wakil menteri akan menaikkan anggaran
untuk kantor kementerian. “Apalagi pada kabinet saat ini ada 20 wakil
menteri setelah resfhuffle pada selasa 18 Oktober 2011,” lanjut Arif
mendalilkan.
Arif juga mengutip pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono saat pengumuman reshuffle KIB II di Istana Negara pada tanggal 18 Oktober 2011, yaitu
“Tidak ada penggemukan dalam kabinet, namun Presiden sesuai UU bisa
menunjuk wakil menteri. Wakil Menteri, dia bukan anggota kabinet, jadi
tidak ada penambahan anggaran”. Pendapat Presiden ini menurutnya tidak dikenal dalam Pasal 17 UUD 1945.
Konsekuensi pengangkatan menteri menuntut penyediaan berbagai fasilitas khusus dari negara yang dananya bersumber dari APBN, di antaranya:
rumah dinas, kendaraan dinas, biaya operasional, gaji, tunjangan
jabatan, sekretaris, ajudan, supir, beberapa staf pembantu. Berdasarkan estimasinya, pemakaian uang negara untuk seorang wakil menteri, yaitu sebesar Rp. 1,2 miliar per tahun.
Jabatan
wakil menteri menurut Pemohon, dapat diindikasikan sebagai politisasi
pegawai negeri sipil, dengan modus operandi: membagi-bagi jabatan wakil
wakil menteri dalam kalangan dan lingkungan Presiden. Hal ini adalah dapat dibuktikan dengan diterbitkannya revisi Perpres Nomor 47/2009 tentang Pembentukan dan Organissi Kementerian Negara pada tanggal 13 Oktober 2011 menjadi Perpres Nomor 76/2011. Tujuannya, tuding Pemohon, agar “orang dekat” Presiden RI yang tidak memenuhi persyaratan dapat diangkat menjadi wakil menteri. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar