Jakarta,
MKOnline – Pengujian konstitusionalitas materi UU 1/1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) yang diajukan Halimah Agustina binti Abdullah
Kamil, kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa
(9/8/2011). Persidangan untuk perkara Nomor 38/PUU-IX/2011 mengegendakan
mendengar keterangan ahli.
Di
hadapan sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai Moh. Mahfud MD, kuasa
Pemerintah, H. Tulus menyatakan, perkawinan dalam bahasa agama disebut
mitsâqan ghalîzhan yaitu suatu perjanjian yang kuat, menghalalkan yang
haram dan menjadikan ibadah. Perkawinan dimaksudkan untuk membentuk
sebuah kehidupan keluarga yang kekal, utuh, harmonis, bahagia, dan
sejahtera., serta merupakan bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT.
“Untuk
itu, dalam perkawinan diperlukan adanya saling pengertian,
kesepahaman, kesadaran untuk membangun sebuah keluarga yang sakînah,
mawaddah, dan wa rahmah,” kata Tulus membacakan keterangan tertulis
Pemerintah.
Jalan Terakhir
UU Perkawinan, in casu pengaturan tentang putusnya perkawinan, menurut pemerintah, telah memberikan rambu-rambu yang cukup memadai guna memberikan jalan keluar bagi para pihak suami-istri apabila tidak dapat mempertahankan kerukunan rumah tangganya. Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan, “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
“Ketentuan
ini menunjukkan bahwa perceraian merupakan jalan terakhir yang harus
ditempuh apabila kedua belah pihak tidak dapat mempertahankan keutuhan
rumah tangganya,” jelas Tulus.
Menurut
Pemerintah, kasus perceraian yang terjadi antara Pemohon (Halimah
Agustina binti Abdullah Kamil) dengan suaminya (Bambang Trihatmodjo bin
H.M. Soeharto) adalah terkait dengan implementasi praktik penegakan
hukum yang dilakukan oleh penegak hukum, dalam hal ini Hakim pada
Pengadilan Agama dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, Pemerintah memohon kepada Mahkamah agar menolak
permohonan Halimah. “Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya,”
pinta Tulus.
Potensi Disalahgunakan
Pada kesempatan yang sama, Halimah yang diwakili kuasa hukumnya, Chairunnisa Jafizham dan Laica Marzuki, menghadirkan tiga orang ahli, yaitu Bismar Siregar, Marzuki Darusman, dan Makarim Wibisono. Bismar Siregar, dalam keterangannya mengatakan, perceraian antara Bambang Tri Soeharto dengan Halimah setelah sekian puluh tahun mereka membina kehidupan rumah tangga, memunculkan pertanyaan. Sebab permohonan Kasasi Bambang diperiksa dan diadili oleh Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa hubungan antara Bambang dengan Halimah tidak sesuai dengan kerukunan. Oleh karena itu, Bambang berhak untuk menjatuhkan talak.
Pada kesempatan yang sama, Halimah yang diwakili kuasa hukumnya, Chairunnisa Jafizham dan Laica Marzuki, menghadirkan tiga orang ahli, yaitu Bismar Siregar, Marzuki Darusman, dan Makarim Wibisono. Bismar Siregar, dalam keterangannya mengatakan, perceraian antara Bambang Tri Soeharto dengan Halimah setelah sekian puluh tahun mereka membina kehidupan rumah tangga, memunculkan pertanyaan. Sebab permohonan Kasasi Bambang diperiksa dan diadili oleh Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa hubungan antara Bambang dengan Halimah tidak sesuai dengan kerukunan. Oleh karena itu, Bambang berhak untuk menjatuhkan talak.
Sementara
itu Marzuki Darusman mengatakan, penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f
UU Perkawinan berpotensi untuk disalahgunakan. “Masalah yang mungkin
timbul di antaranya, terutama adalah akibat dari adanya perbuatan salah
satu pihak, pada umumnya laki-laki dalam hubungan dengan pihak ketiga
yang tidak dapat diterima oleh pihak lainnya, pada umumnya pihak
perempuan. Dalam praktik, keadaan inilah yang menyebabkan penjelasan
Pasal 39 ayat (2) huruf f lebih banyak merugikan pihak perempuan dan
mengakibatkan hak-hak perempuan sebagai hak-hak asasi manusia menjadi
rentan,” jelas Marzuki.
Senada
dengan Marzuki, ahli Pemohon Makarim Wibisono menyatakan, penjelasan
Pasal 39 ayat (2) huruf f tersebut merugikan kaum perempuan dan istri
karena tidak memberikan keadilan baginya dan mencerminkan tidak adanya
persamaan hak bagi kaum perempuan dan istri dengan hak suami. Para suami
dapat dengan mudah menceraikan istrinya dengan alasan terus-menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran.
“Karena
ketentuan itu tidak meminta atau membutuhkan kejelasan mengenai siapa
penyebabnya, siapa pemicunya, atau apa yang menjadi klausa primanya.
Ini adalah hal yang tidak adil, siapa pun kaum perempuan atau istri
yang membangun rumah tangga dengan dasar luhur, bersumber dari rasa
cinta dan kasih sayang tidak akan dapat menerima jika suaminya
selingkuh dan menjalani hubungan gelap dengan Wanita Idaman Lain
(WIL),” tandas Makarim. (Nur Rosihin Ana/mh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar