Dalam amar putusan terhadap pokok permohonan perkara Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 ini Mahkamah membatalkan beberapa produk Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab Pati. Produk KPU Pati yang dibatalkan yaitu keputusan mengenai penetapan pasangan calon, berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara, keputusan penetapan hasil suara bagi pasangan calon, keputusan penetapan pasangan calon peserta Pemilukada Pati Putaran Kedua. Sunarwi-Tejo Pramono Didiskualifikasi Setelah membatalkan produk KPU Pati tersebut di atas, Mahkamah dalam amar putusannya mendiskualifikasi pasangan Sunarwi-Tejo Pramono sekaligus memerintah KPU Pati melakukan verifikasi persyaratan bakal pasangan calon Imam Suroso-Sujoko untuk menggantikan pasangan calon Sunarwi-Tejo Pramono. Mahkamah juga memerintahkan KPU Pati menetapkan kembali pasangan calon. Selain itu, memerintahkan KPU Pati melakukan pemungutan suara ulang dalam Pemilukada Pati Tahun 2011. Terakhir, memerintahkan KPU, Bawaslu, KPU Provinsi Jawa Tengah, Panwaslu Pati untuk mengawasi pemungutan suara ulang tersebut sesuai dengan kewenangannya. Mahkamah berpendapat dalil-dalil Imam Suroso-Sujoko terbukti menurut hukum. Menurut Mahkamah, bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Pati Tahun 2011 yang secara sah diusulkan oleh PDIP adalah pasangan Imam Suroso-Sujoko. Namun karena KPU Pati belum melakukan verifikasi persyaratan pasangan ini, maka Mahkamah memerintahkan kepada KPU Pati untuk melakukan verifikasi persyaratan Imam Suroso-Sujoko. Apabila setelah verifikasi ternyata memenuhi syarat sebagai pasangan calon, maka pasangan tersebut harus diikutsertakan dalam Pemilukada Pati Tahun 2011. Pada kesempatan yang sama, secara berurutan Mahkamah membacakan putusan perkara Nomor 81/PHPU.D-IX/2011 mengenai sengketa Pemilukada Pati yang diajukan pasangan Slamet Warsito-Sri mulyani. Makamah menyatakan permohonan Slamet Warsito-Sri mulyani tidak dapat diterima. Sebab dengan adanya perintah Mahkamah untuk melakukan pemungutan suara ulang sebagaimana amar putusan Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 yang diajukan Imam Suroso-Sujoko di atas, maka objek yang menjadi keberatan dalam permohonan Slamet Warsito-Sri mulyani menjadi tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut. (Nur Rosihin Ana/mh) |
Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana
Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012
Senin, 29 Agustus 2011
Mahkamah Perintahkan KPU Pati Lakukan Pemungutan Suara Ulang
Rabu, 24 Agustus 2011
Menungggu Putusan Uji Materi UU Kesehatan
Jakarta,
MKOnline – Peringatan bahaya rokok dalam UU Kesehatan kembali kembali
digelar dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa
(23/8/2011) pagi. Sidang perkara 43/PUU-IX/2011 dengan agenda
pemeriksaan perbaikan permohonan dilaksanakan oleh Panel Hakim yang
terdiri dari Muhammad Alim selaku ketua, didampingi harjono dan Maria
farida Indrati selaku anggota.
Menanggapi
perbaikan permohonan, Ketua Pleno Muhammad Alim membertahukan, bahwa
permohonan yang diajukan, ada kesamaan dengan permohonan Nomor 34
/PUU-IIX/2010. “Permohonan Nomor 43/PUU-IX/2011 yang Anda mohonkan ini
adalah persis sama dengan Permohonan Nomor 34/PUU-IIX/2010,” Kata Alim.
Riwayat perkara nomor 34/PUU-IIX/2010 yang juga mengenai uji materi UU Kesehatan, saat ini sudah selesai pemeriksaannya dan tinggal menunggu pengucapan putusan. Menurut Alim, sebaiknya pemeriksaan perkara 43/PUU-IX/2011 menunggu pengucapan putusan perkara 34/PUU-IX/2010. Sebab, perkara 34/PUU-IX/2010 yang mempermasalahkan “tafsir zat adiktif” pada tembakau, materi yang diujikan juga sama, yaitu Pasal 114 UU Kesehatan dan penjelasannya.
Sementara itu, kuasa hukum para Pemohon, Tubagus Haryo Karbianto, mengakui kemiripan uji materi UU Kesehatan yang diujikan kliennya dengan permohonan Nurtanto Wisnu Brata, Amin Subarkah, dkk (perkara Nomor 34/PUU-IX/2010). Namun dia memohon Mahkamah mempertimbangkan perbedaan sudut pandang (angle) dari dua permohonan tersebut. “Kami mohon sebagai Pemohon untuk tetap mempertimbangkan angle-nya yang agak berbeda dari Perkara Nomor 34 Tahun 2010 kemarin,” pinta Tubagus.
Seperti diketahui, pada Senin (18/7/2011) lalu, Mahkamah menggelar sidang perdana Uji materi Pasal 114 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diajukan oleh Widyastuti Soerojo dan Muherman Harun, beserta Ikatan senat mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI). Para Pemohon menganggap peringatan berupa tulisan bahaya rokok yang tertera pada bungkus rokok, tidak efektif.
Pemohon menganggap penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan bertentangan dengan Pasal 199 ayat (1) UU yang sama. Pada Pasal 199 ayat (1) dinyatakan, ”Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”
Sedangkan penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan menyatakan, ”Yang dimaksud dengan ’peringatan kesehatan’ dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya”. Adanya kata ”dapat” dalam penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan tersebut menurut Pemohon menjadikan peringatan pada Pasal 199 tidak bersifat mutlak. Sehingga, produsen rokok bisa menggunakan peringatan bahaya rokok dalam bentuk tulisan saja tanpa menyertakan gambarnya. Padahal, menurut Pemohon, peringatan dalam bentuk gambar lebih efektif dan terbuka dalam menyampaikan informasi mengenai bahaya merokok dibanding hanya menuliskan peringatan tersebut. (Nur Rosihin Ana)
Kamis, 11 Agustus 2011
Kapolres Pati Paparkan Proses Pengamanan Pemilukada
Jakarta,
MKOnline – Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
Kabupaten Pati memasuki tahapan mendengar keterangan saksi di
persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (11/8/2011) siang. Di depan
Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Achmad Sodiki didampingi Anggota
Panel Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi, Kapolres Pati paparkan proses
pengamanan Pemilukada Pati berdasarkan operasi Tata Praja Mina Tani.
Kapolres
Pati menerjunkan 489 personilnya untuk mengamanankan setiap tahapan
Pemilukada. “Sampai saat ini, proses pelaksanaan Pilkada yang dilakukan
oleh Polri dalam keadaan aman,” kata Kapolres. Kendati demikian,
lanjutnya, pihaknya menerima empat laporan pengaduan Pemilukada berupa
pemalsuan materai, perbuatan tidak menyenangkan, penyalahgunaan gelar
akademik dan terakhir adanya perusakan di Kec. Wedarijaksa.
Kapolres
juga membantah adanya pengepungan kantor KPU Pati sebagaimana
keterangan Guntur, saksi pasangan Imam Suroso-Sujoko (Pemohon perkara
Nomor 82/PHPU.D-IX/2011). “Tidak ada yang namanyamengepung KPU. Artinya
kami mensterilkan kantor KPU agar tidak terjadi intervensi sehingga KPU
mempunyai independensi,” terangnya.
Selanjutnya
Anggota Panel Hakim Harjono mengkonfrontir keterangan Kapolres dengan
keterangan Guntur. Menurut Guntur, pada 19 Mei, Kantor KPU Pati yang
terletak di kompleks Stadion Joyokusumo dikepung ribuan pendukung
pasangan Sunarwi-Tejo Pramono. “Pada tanggal 19, jam 18.30 kami mau
menyerahkan berkas kelengkapan administrasi pasangan calon Bapak Imam
Suroso dan Bapak Sujoko,” terang Guntur. Guntur juga menerangkan adanya
keributan dan perampasan berkas yang dibawa oleh Sujoko di Kantor KPU
Pati.
Harjono
kembali menanyakan Kapolres Pati berkaitan dengan aksi pengepungan
Kantor KPU Pati oleh ribuan massa pendukung Sunarwi-Tejo. “Kalau ribuan,
Yang Mulia, enggak mungkin,” bantah Kapolres Pati yang saat kejadian
mengaku berada KPU Pati. “Kalau tidak mungkin, Bapak lihat banyak massa
enggak di situ?” tanya Harjono. “Ada massa, tetapi lebih banyak
polisinya, Yang Mulia,” jawab Kapolres Pati .
Panel
Hakim pun memberikan kesempatan kepada bakal calon wakil bupati Sujoko
menyampaikan keterangan. Menurut Sujoko, pada 11 Mei, setelah berkas
pencalonannya lengkap, Sujoko mencari Ketua DPC PDIP Pati, Sunarwi, dan
Sekretaris DPC PDIP. Namun, Sunarwi terus menghindar dengan alasan
sedang pergi ziarah. “Saya dihindari terus, Pak Narwi Ziarah,” kata
Sujoko. Kemudian, lanjutnya, pagi hari pada 17 Mei, Sujoko mendatangi
rumah tetangganya, Endro Jatmiko yang merupakan anggota KPU Pati untuk
minta penjelasan ikhwal kewenangan memasukkan berkas yang hanya bisa
dilakukan oleh Ketua dan Sekretaris DPC PDIP Pati. “Saya datang mau
minta penjelasan ini kenapa harus ketua dan sekretaris untuk memasukkan
berkas? Wong saya ini wakil ketua,” terangnya. Kabar yang dia dapat
dari istri Endro menyatakan Endro sudah pergi ke KPU. “Ngapain ini
tanggal merah kok ke KPU?” seloroh Sujoko.
Wewenang Ketua dan Sekretaris DPC
Sementara itu, Ketua KPU Pati Nursastro Salomo dalam jawabannya menyatakan, pada 17 Mei KPU menerima penggantian pasangan dari Sunarwi yang diusung PDIP, yaitu semula mengusung pasangan Imam Suroso-Sujoko, berganti menjadi pasangan dari Sunarwi-Tejo.
“Apakah
memang cukup rekomendasi itu dari DPC saja atau harus dari DPP,
menurut yang Saudara tahu?” tanya Anggota Panel Hakim Ahmad Fadlil
Sumadi. “Tidak ada rekomendasi, Yang Mulia. Yang ada surat pengajuan
penggantian calon,” jawab Nursastro. Selain itu, tambah Nursastro,
rekomendasi tidak dipersyaratkan dalam aturan undang-undang.
Memperkuat
jawaban KPU Pati, KPU Provinsi Jawa Tengah menyatakan, yang berwenang
memperbaiki, melengkapi atau mengajukan pasangan calon baru yaitu
pimpinan partai politik. Yang dimaksud pimpinan partai politik sesuai
regulasi Pasal 59 ayat (1) huruf a menyebutkan, pimpinan partai politik
adalah ketua dan sekretaris partai politik pada tingkat daerah
pencalonannya. “Jadi yang berhak mencalonkan termasuk memperbaiki dan
mengajukan pasangan calon baru adalah ketua dan sekretaris DPC partai
politik masing-masing,” terang KPU Jateng.
Kemudian
terkait dengan rekomendasi, lanjutnya, tidak ada satu pasal pun dalam
undang-undang dan peraturan KPU menyatakan bahwa rekomendasi adalah
syarat yang harus diserahkan kepada KPU. “Jadi ada rekomendasi atau
tidak ada rekomendasi itu menjadi permasalahan internal partai politik,”
tegas KPU Jawa Tengah. (Nur Rosihin Ana/mh)
|
Rabu, 10 Agustus 2011
Syarat Perceraian Potensial Disalahgunakan
Jakarta,
MKOnline – Pengujian konstitusionalitas materi UU 1/1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) yang diajukan Halimah Agustina binti Abdullah
Kamil, kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa
(9/8/2011). Persidangan untuk perkara Nomor 38/PUU-IX/2011 mengegendakan
mendengar keterangan ahli.
Di
hadapan sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai Moh. Mahfud MD, kuasa
Pemerintah, H. Tulus menyatakan, perkawinan dalam bahasa agama disebut
mitsâqan ghalîzhan yaitu suatu perjanjian yang kuat, menghalalkan yang
haram dan menjadikan ibadah. Perkawinan dimaksudkan untuk membentuk
sebuah kehidupan keluarga yang kekal, utuh, harmonis, bahagia, dan
sejahtera., serta merupakan bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT.
“Untuk
itu, dalam perkawinan diperlukan adanya saling pengertian,
kesepahaman, kesadaran untuk membangun sebuah keluarga yang sakînah,
mawaddah, dan wa rahmah,” kata Tulus membacakan keterangan tertulis
Pemerintah.
Jalan Terakhir
UU Perkawinan, in casu pengaturan tentang putusnya perkawinan, menurut pemerintah, telah memberikan rambu-rambu yang cukup memadai guna memberikan jalan keluar bagi para pihak suami-istri apabila tidak dapat mempertahankan kerukunan rumah tangganya. Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan, “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
“Ketentuan
ini menunjukkan bahwa perceraian merupakan jalan terakhir yang harus
ditempuh apabila kedua belah pihak tidak dapat mempertahankan keutuhan
rumah tangganya,” jelas Tulus.
Menurut
Pemerintah, kasus perceraian yang terjadi antara Pemohon (Halimah
Agustina binti Abdullah Kamil) dengan suaminya (Bambang Trihatmodjo bin
H.M. Soeharto) adalah terkait dengan implementasi praktik penegakan
hukum yang dilakukan oleh penegak hukum, dalam hal ini Hakim pada
Pengadilan Agama dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, Pemerintah memohon kepada Mahkamah agar menolak
permohonan Halimah. “Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya,”
pinta Tulus.
Potensi Disalahgunakan
Pada kesempatan yang sama, Halimah yang diwakili kuasa hukumnya, Chairunnisa Jafizham dan Laica Marzuki, menghadirkan tiga orang ahli, yaitu Bismar Siregar, Marzuki Darusman, dan Makarim Wibisono. Bismar Siregar, dalam keterangannya mengatakan, perceraian antara Bambang Tri Soeharto dengan Halimah setelah sekian puluh tahun mereka membina kehidupan rumah tangga, memunculkan pertanyaan. Sebab permohonan Kasasi Bambang diperiksa dan diadili oleh Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa hubungan antara Bambang dengan Halimah tidak sesuai dengan kerukunan. Oleh karena itu, Bambang berhak untuk menjatuhkan talak.
Pada kesempatan yang sama, Halimah yang diwakili kuasa hukumnya, Chairunnisa Jafizham dan Laica Marzuki, menghadirkan tiga orang ahli, yaitu Bismar Siregar, Marzuki Darusman, dan Makarim Wibisono. Bismar Siregar, dalam keterangannya mengatakan, perceraian antara Bambang Tri Soeharto dengan Halimah setelah sekian puluh tahun mereka membina kehidupan rumah tangga, memunculkan pertanyaan. Sebab permohonan Kasasi Bambang diperiksa dan diadili oleh Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa hubungan antara Bambang dengan Halimah tidak sesuai dengan kerukunan. Oleh karena itu, Bambang berhak untuk menjatuhkan talak.
Sementara
itu Marzuki Darusman mengatakan, penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f
UU Perkawinan berpotensi untuk disalahgunakan. “Masalah yang mungkin
timbul di antaranya, terutama adalah akibat dari adanya perbuatan salah
satu pihak, pada umumnya laki-laki dalam hubungan dengan pihak ketiga
yang tidak dapat diterima oleh pihak lainnya, pada umumnya pihak
perempuan. Dalam praktik, keadaan inilah yang menyebabkan penjelasan
Pasal 39 ayat (2) huruf f lebih banyak merugikan pihak perempuan dan
mengakibatkan hak-hak perempuan sebagai hak-hak asasi manusia menjadi
rentan,” jelas Marzuki.
Senada
dengan Marzuki, ahli Pemohon Makarim Wibisono menyatakan, penjelasan
Pasal 39 ayat (2) huruf f tersebut merugikan kaum perempuan dan istri
karena tidak memberikan keadilan baginya dan mencerminkan tidak adanya
persamaan hak bagi kaum perempuan dan istri dengan hak suami. Para suami
dapat dengan mudah menceraikan istrinya dengan alasan terus-menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran.
“Karena
ketentuan itu tidak meminta atau membutuhkan kejelasan mengenai siapa
penyebabnya, siapa pemicunya, atau apa yang menjadi klausa primanya.
Ini adalah hal yang tidak adil, siapa pun kaum perempuan atau istri
yang membangun rumah tangga dengan dasar luhur, bersumber dari rasa
cinta dan kasih sayang tidak akan dapat menerima jika suaminya
selingkuh dan menjalani hubungan gelap dengan Wanita Idaman Lain
(WIL),” tandas Makarim. (Nur Rosihin Ana/mh)
Selasa, 09 Agustus 2011
KPU Pati Bantah Diskualifikasikan Pasangan Bakal Calon dari PDIP
Jakarta,
MKOnline – Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kembali digelar dalam
persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (9/8/2011). Persidangan
yang dilaksanakan oleh Panel Hakim yang diketuai Achmad Sodiki,
didampingi Ahmad Fadil Sumadi dan Harjono, mengagendakan mendengar
jawaban Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pati, mendengar
keterangan Pihak Terkait, dan Pembuktian.
Menanggapi
permohonan pasangan Slamet Warsito-Srimulyani (Pemohon perkara Nomor
81/PHPU.D-IX/2011), KPU Pati melalui kuasa hukumnya, Umar Ma’ruf dalam
eksepsinya menyatakan permohonan kabur (obscuur libel). “Dalam
permohonan, Pemohon tidak menunjuk berkaitan dengan persoalan murni
PHPU-nya. Yang didalilkan adalah berkaitan dengan persoalan pelanggaran
yang bersifat struktur, sistematis, dan massif,” kata Umar.
Umar
juga mematahkan dalil permohonan Slamet Warsito-Srimulyani mengenai
persoalan pemberian berita acara rekapitulasi hasil Pemilukada. KPU Pati
telah melakukan kewajibannya yaitu memberikan hasil berita acara rekap
kepada lima pasangan calon yang hadir. ”Pemohon pada saat rekapitulasi
hadir, tetapi kemudian belum selesai sudah keluar. Maka tentunya kami
tidak bisa memberikan. Kemudian kita susuli ke tempat saksi daripada
Pemohon. Dan saksi Pemohon tidak bersedia untuk menerima rekapitulasi
berita acara ini,” imbuh Umar.
Selain
itu, KPU Pati juga membantah dalil pasangan Slamet Warsito-Srimulyani
mengenai quick count yang dilakukan KPU Pati. “Yang kami lakukan adalah
perhitungan sementara. Dan perhitungan sementara ini kami lakukan
untuk 83% dari TPS, bukan 100%,” bantah Umar.
Kemudian,
berkaitan dengan persoalan TPS yang berada di halaman rumah kepala
desa, Umar menjelaskan tidak adanya larangan berkaitan dengan hal
tersebut. “Yang ada larangan sebagaimana PKPU Nomor 72 Tahun 2009 adalah
tempat ibadah termasuk halamannya tidak dibenarkan untuk digunakan
sebagai tempat pemungutan suara,” terang Umar. KPU Pati juga menegaskan
tidak mengetahui adanya mobilisasi PNS dan penggunaan fasilitas Negara.
Pihaknya mengaku tidak tidak mendapatkan klarifikasi dari Panwaslu
Pati.
Masalah Internal PDIP
Dalam
kesempatan yang sama KPU Pati juga Menaggapi permohonan pasangan Imam
Suroso-Sujoko (Pemohon perkara Nomor 82/PHPU.D-IX/2011). KPU Pati
bersikukuh tidak pernah melakukan diskualifikasi atau menggugurkan bakal
pasangan calon Imam Suroso-Sujoko. KPU Pati mengakui Imam
Suroso-Sujoko adalah bakal pasangan calon yang pernah diusulkan dan
didaftarkan oleh DPC PDIP Pati pada saat pendaftaran tanggal 5 Mei
2011.
Kemudian
oleh DPC PDIP pada saat perbaikan, diajukan penggantian dengan calon
baru. Penggantian calon baru ini sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat
(3) UU Nomor 12 Tahun 2008. “Jadi harus dipahami ini persoalan internal
PDI Perjuangan, bukan persoalan hubungan antara Pemohon dengan KPU
Kabupaten Pati,” terang Umar.
Selanjutnya
Umar Ma’ruf, kuasa hukum KPU Pati menjelaskan detil kronologi tahapan
verifikasi pasangan Imam Suroso-Sujoko. Pada 11 Mei 2011, kata Umar,
ada utusan dari bakal pasangan calon hadir ke KPU, yang akan melengkapi
berkas. “Tetapi karena tidak pada waktunya, maka kami tidak bisa
menerima,” kata Umar.
Selain
itu, lanjutnya, sebagaimana ketentuan, yang berhak untuk menambah
kelengkapan berkas adalah partai politik dalam hal ini DPC PDIP Pati.
Sedangkan yang hadir saat itu bukan dari DPC PDIP. “Seandainya yang
hadir pun adalah DPC PDIP, karena waktunya tidak sesuai dengan yang kami
tentukan, pasti kami akan tolak karena waktu perbaikan adalah pada
tanggal 13 Mei sampai 19 Mei 2011,” jelas Umar.
Kemudian,
lanjut Umar, pada tanggal 17 Mei 2011, pada masa perbaikan berkas,
Ketua DPC PDIP Pati, Sunarwi, didampingi Sekretaris DPC PDIP datang ke
KPU Pati untuk melakukan penggantian bakal pasangan calon. Semula
pasangan calon yang diusung PDIP adalah Imam Suroso-Sujoko, berganti
menjadi pasangan Sunarwi-Tejo Pramono. Hal ini, kata Umar, sesuai dengan
ketentuan Pasal 60 ayat (3) UU Nomor 12 tahun 2008.
”Karena
yang hadir adalah Ketua dan Sekretaris DPC PDIP Perjuangan Kabupaten
Pati maka penggantian calon itu kami terima, dan hal ini pun dalam
rangka prinsip kehati-hatian kami melakukan konsultasi ke KPU Pusat, dan
KPU Pusat menyatakan, penuhi ketentuan di dalam undang-undang ini,
sehingga kami melaksanakan ini,” tandas Umar. (Nur Rosihin Ana/mh)
Senin, 08 Agustus 2011
Pasangan Slamet-Srimulyani dan Imam-Sujoko Mohonkan Pemilukada Pati Diulang
Menanggapi permohonan pasangan kedua pasangan ini, Mahkamah menggelar sidang sengketa Pemilukada Pati, Senin (8/8/2011). Sidang pendahuluan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang terdiri dari Harjono sebagai Ketua Panel, didampingi Anggota Panel Ahmad Fadlil dan Anwar Usman.
Nazrul Ichsan Nasution, kuasa hukum Slamet Warsito-Srimulyani (Pemohon perkara Nomor 81/PHPU.D-IX/2011) di hadapan Panel Hakim Konstitusi menyampaikan keberatan terhadap Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pati yang telah mengeluarkan penetapan pasangan calon bupati dan wakil bupati peserta Pemilukada Putaran Kedua.
Nazrul menganggap KPU Pati tidak profesional menjalankan tugasnya karena tidak menaati asas Pemilukada. “Kami sebagai pasangan calon, tidak pernah diberikan baik itu keputusan dalam bentuk apa pun,” kata Nazrul. Misalnya, kata Nazrul, pihaknya tidak pernah mengetahui isi formulir DB. “Kemudian keputusan nomor urut, penetapan pasangan calon itu tidak pernah sama sekali kami terima,” imbuhnya.
Selain itu, Nazrul juga membeber sejumlah dalil pelanggaran. Antara lain adanya TPS di rumah kepala desa, praktik money politics, mobilisasi aparatur pemerintahan dan tenaga honorer, serta penggunaan fasilitas negara.
Oleh karena itu, dalam pokok permohonan (petitum), pasangan Slamet Warsito-Srimulyani meminta kepada Mahkamah agar membatalkan Berita Acara KPU Pati Nomor 45/BA/KPU/VIII/2011 tanggal 26 Juli 2011 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Pati. Kemudian menyatakan Keputusan KPU Pati tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilukada Pati Putaran Kedua adalah tidak sah dan batal demi hukum. Slamet Warsito-Srimulyani juga meminta Mahkamah memerintahkan KPU Pati mendiskualifikasi pasangan Sunarwi-Tejo Pramono dan pasangan Haryanto-Budiono dan melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh wilayah Kabupaten Pati.
Klaim Rekomendasi DPP PDI Perjuangan
Pemohon pasangan Imam Suroso-Sujoko (Pemohon perkara Nomor 82/PHPU.D-IX/2011) melalui kuasa hukumnya, Arteria Dahlan menegaskan adanya rekomendasi dari DPP PDIP sebagai partai pengusung pasangan Imam Suroso-Sujoko. “Rekomendasi sudah jelas ditujukan kepada Imam Suroso dan Sujoko oleh PDI Perjuangan,” tegas Arteria di awal keterangannya.
Pada mulanya, kata Arteria, Sunarwi yang saat itu masih menjabat Ketua DPC PDIP Pati, bersama Sekertaris DPC PDIP Pati, Irianto, dan Wakil Ketua DPD PDIP, mendaftarkan pasangan pasangan Imam Suroso-Sujoko ke KPU Pati. Saat itu juga, kata Arteria, Sunarwi menyatakan dukungan kepada Imam Suroso-Sujoko.
Namun, keputusan KPU Pati menetapkan pasangan calon yang diusung PDIP adalah Sunarwi-Tejo Pramono. “Ternyata, Yang Mulia, di perjalanan, terbit Keputusan 40 yang menyatakan, Imam Suroso tidak boleh ikut, yang ikut adalah Narwi,” lanjut Arteria.
Menurut Arteria, KPU Pati mengetahui rekomendasi PDIP bahwa calon yang diusung partai ini adalah Imam Suroso-Sujoko. Namun, KPU Pati menyatakan rekomendasi adalah urusan internal partai. KPU Pati beralasan Imam Suroso-Sujoko tidak melengkapi berkas sehingga diganti dengan Sunarwi-Tejo Pramono. Kemudian, DPD PDIP Jawa Tengah mendatangi kantor KPU Pati untuk klarifikasi, namun tidak diindahkan. Akhirnya, melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 081/KPTS/DPP/V/2011 tanggal 19 Mei 2011, DPP PDIP membekukan kepengurusan DPC PDIP Pati yang dinahkodai Sunarwi.
“Jadi, kemudian siapa yang kemudian ikut di dalam Pemilukada itu yang mengatasnamakan PDIP?” tanya Ketua Panel Harjono. “Yang mengatasnamakan PDI Perjuangan namanya Sunarwi,” jawab Arteria.
Dalam pokok permohonan (petitum), pasangan Imam Suroso-Sujoko meminta Mahkamah membatalkan penetapan pasangan calon peserta Pemilukada Pati. Kemudian, mendiskualifikasi Sunarwi-Tejo Pramono dan menyatakan pasangan Imam Suroso-Sujoko sebagai pasangan calon peserta Pemilukada Pati. Terakhir, memohon Mahkamah agar memerintahkan KPU Pati untuk menggelar Pemilukada ulang. (Nur Rosihin Ana)
Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5683
Jumat, 05 Agustus 2011
Ahli Pemohon: Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan Multitafsir
Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi UU Ketenagakerjaan, Kamis (4/8). Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon. Dua ahli diajukan oleh Pemohon, yaitu Anna Erliana dan Surya Chandra. Keduanya merupakan dosen di Fakultas Hukum UI dan Atmajaya.
Anna Erliana mendapat kesempatan pertama menyampaikan keterangannya terkait permohonan Pemohon. Pertama, Anna menyampaikan bahwa mengenai penafsiran gramatikal atas frasa ”belum ditetapkan” pada Pasal 155 ayat (2) memiliki tiga penafsiran yang berkembang di lapangan. ”Pertama, upah proses hanya 6 bulan. Kedua, upah proses hanya sampai tahap pengadilan hubungan industrial tahap pertama. Ketiga, upah proses sampai putusan hukum berkekuatan hukum tetap,” jelas Anna mengenai penafsiran frasa “belum ditetapkan”.
Pasal 155 ayat (2) sendiri berbunyi, ”Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”.
Mengenai upah proses yang ditafsirkan hanya diberikan selama 6 bulan, Anna menjelaskan dalam prakteknya berkembang lebih luas lagi. Bagi para pekerja yang di-PHK dan kemudian mencari keadilan menurut Anna dapat menggunakan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 150 Tahun 2000 sebagai dasar hukum. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150/2000 itu berbunyi, “Pembayaran upah proses atau upah yang biasa diterima dan upah skorsing maksimal 6 bulan”.
Selanjutnya, Anna menyampaikan bahwa berdasarkan pencermatannya terhadap Pasal 155 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan secara jelas diatur mengenai kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja selama proses perselisihan PHK berlangsung.
Namun, bila penafsiran secara gramatikal seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya masih tidak jelas maka dapat dilakukan penafsiran secara sistematis, yaitu menafsirkan Pasal 155 ayat (2) dengan ketentuan hukum lainnya. ”Pasal 155 tentang Upah Proses selama ada sengketa perselisihan hubungan industrial khususnya pemutusan hubungan kerja dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 56 yang menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial memeriksa dan memutus pada butir (c) di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.” papar Anna.
Ahli Pemohon lainnya, Surya Chandra mendapat kesempatan kedua untuk menyampaikan keterangannya terkait permohonan uji materi Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Surya mengatakan selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja buruh harus melaksanakan segala kewajibannya. Artinya, pekerja harus tetap bekerja dan pengusaha harus tetap membayar upah atau hak-hak yang biasa diterima oleh pekerja.
Anna Erliana mendapat kesempatan pertama menyampaikan keterangannya terkait permohonan Pemohon. Pertama, Anna menyampaikan bahwa mengenai penafsiran gramatikal atas frasa ”belum ditetapkan” pada Pasal 155 ayat (2) memiliki tiga penafsiran yang berkembang di lapangan. ”Pertama, upah proses hanya 6 bulan. Kedua, upah proses hanya sampai tahap pengadilan hubungan industrial tahap pertama. Ketiga, upah proses sampai putusan hukum berkekuatan hukum tetap,” jelas Anna mengenai penafsiran frasa “belum ditetapkan”.
Pasal 155 ayat (2) sendiri berbunyi, ”Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”.
Mengenai upah proses yang ditafsirkan hanya diberikan selama 6 bulan, Anna menjelaskan dalam prakteknya berkembang lebih luas lagi. Bagi para pekerja yang di-PHK dan kemudian mencari keadilan menurut Anna dapat menggunakan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 150 Tahun 2000 sebagai dasar hukum. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150/2000 itu berbunyi, “Pembayaran upah proses atau upah yang biasa diterima dan upah skorsing maksimal 6 bulan”.
Selanjutnya, Anna menyampaikan bahwa berdasarkan pencermatannya terhadap Pasal 155 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan secara jelas diatur mengenai kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja selama proses perselisihan PHK berlangsung.
Namun, bila penafsiran secara gramatikal seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya masih tidak jelas maka dapat dilakukan penafsiran secara sistematis, yaitu menafsirkan Pasal 155 ayat (2) dengan ketentuan hukum lainnya. ”Pasal 155 tentang Upah Proses selama ada sengketa perselisihan hubungan industrial khususnya pemutusan hubungan kerja dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 56 yang menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial memeriksa dan memutus pada butir (c) di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.” papar Anna.
Ahli Pemohon lainnya, Surya Chandra mendapat kesempatan kedua untuk menyampaikan keterangannya terkait permohonan uji materi Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Surya mengatakan selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja buruh harus melaksanakan segala kewajibannya. Artinya, pekerja harus tetap bekerja dan pengusaha harus tetap membayar upah atau hak-hak yang biasa diterima oleh pekerja.
Lebih lanjut Surya mengatakan frasa ”belum ditetapkan” itu mengacu kepada Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri (PPHI). Namun, dalam prakteknya frasa itu bisa ditafsirkan bermacam-macam. Karena itu Surya setuju agar frasa ”belum ditetapkan” dipertegas lagi sehingga tidak menimbulkan kerancuan seperti yang selama ini terjadi.
”Dengan memperjelas tafsiran itu saya kira akan membantu hakim-hakim di pengadilan hubungan industrial khususnya, sehingga punya pilihan yang tegas. Juga, saya mendukung juga yang tadi dikatakan oleh Prof. Anna bahwa pasal ini penting untuk diberi kepastian hukum, khususnya bagi pihak pekerja. Yang memang secara sosilogis lemah walaupun secara hukum sama kedudukannya,” tutup Surya. (Yusti Nurul Agustin/mh)
”Dengan memperjelas tafsiran itu saya kira akan membantu hakim-hakim di pengadilan hubungan industrial khususnya, sehingga punya pilihan yang tegas. Juga, saya mendukung juga yang tadi dikatakan oleh Prof. Anna bahwa pasal ini penting untuk diberi kepastian hukum, khususnya bagi pihak pekerja. Yang memang secara sosilogis lemah walaupun secara hukum sama kedudukannya,” tutup Surya. (Yusti Nurul Agustin/mh)
Ahli Pemerintah: MK Tidak Berwenang Uji UU Ratifikasi Piagam ASEAN
Permohonan uji Undang-Undang No 38/2008 tentang Pengesahan Charter Of The Association Of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) ke Mahkamah Konstitusi merupakan error in subjectum litis. “Karena perjanjian internasional tentang badan hukum publik internasional yakni ASEAN Charter diperlakukan sama secara formal dan material dengan undang-undang,” ungkap M. Fajrul Falaakh, ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah dalam sidang perkara nomor 33/PUU-IX/2011.
Fajrul berpendapat, UU 38/2008 yang berisikan ratifikasi perjanjian internasional (berupa Piagam ASEAN) tersebut, tidak dapat disamakan dengan undang-undang biasa. Menurutnya, hal tersebut bukanlah original intent (maksud awal) dari pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang perjanjian internasional.
Bahkan, ia bekesimpulan, MK tidak berwenang menguji UU 38/2008. Sebab, Konstitusi ataupun perundang-undangan lainnya tidak memberi kewenangan secara eksplisit kepada MK untuk menguji undang-undang ratifikasi. “Begitu pula MA (Mahkamah Agung) ataupun PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” tuturnya. Ia menegaskan, penyelesaian sengketa terkait Piagam ASEAN telah ditentukan tersendiri dalam Piagam tersebut, yakni dalam Pasal 24 hingga Pasal 28.
Menurut dia, pewadahan perjanjian internasional kedalam bentuk undang-undang hanyalah sebagai ‘kemasan’ saja. “Kemasan (dalam rangka) administrasi kenegaraan untuk luar negeri,” ungkapnya. Ia pun lalu mengingatkan agar dalam mengkaji perkara ini, jangan terjebak dalam formalitas saja. Karena menurutnya, pada substansinya, UU 38/2008 tersebut adalah perjanjian internasional. Dan, perjanjian internasional bukanlah kewenangan MK untuk mengujinya.
Jikalau MK mengabulkan permohonan Pemohon, ujar Fajrul, akan menjadi prseden baru dalam penegakan hukum, baik pada tataran nasional maupun internasional. “Pertama kalinya pengadilan nasional membatalkan perjanjian internasional,” ujarnya. Ahli lainnya, Soemadi Brotodiningrat, menambahkan, jikapun nanti MK membatalkan UU tersebut, maka hal itu tidak otomatis memutus keterikatan Indonesia terhadap perjanjian internasional sebagaimana tertuang dalam Piagam ASEAN.
Atas keterangan ahlinya itu, Fajrul pun sempat dihujani pertanyaan oleh para Hakim Konstitusi. Para Hakim Konstitusi banyak menyoroti pandangan Fajrul yang menyatakan bahwa undang-undang ratifikasi berbeda dengan undang-undang yang biasanya diuji oleh MK. Salah satu pertanyaan dilontarkan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Saat itu Hamdan bertanya tentang posisi undang-undang ratifikasi dalam hierarki perundang-undangan sebagaiamana diatur dalam UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam jawabannya, Fajrul pun mengaku belum bisa menjelaskan secara gamblang atas pertanyaan ini. “Kita perlu diskusi tentang itu,” jawabnya. Yang jelas, menurutnya, undang-undang ratifikasi bukanlah undang-undang sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, Soemadi berpendapat, manfaat dan keuntungan yang diambil dari keikutsertaan Indonesia dalam ASEAN lebih besar dibandingkan jika Indonesia tidak ikut serta. “Peran dan kontribusi ASEAN sangat signifikan,” ungkapnya. Belum lagi jika ditilik dari sudut hubungan diplomatik Indonesia di tingkat internasional. “Menambah bobot Indonesia dalam percaturan internasional.”
Ia juga membantah pernyataan bahwa pasar tunggal sangat erat hubungannya dengan neoliberalisme. Sebaliknya, menurutnya, pasar tunggal membuka kompetisi yang lebih fair dan mempererat hubungan antar negara sekawasan. “Saya tidak melihat kecenderungan sekarang ini mengarah pada free fight competition,” katanya. “Yang nampak justru kerja sama dan persaingan yang semakin rule based.”
Serbuan Barang Impor
Pada kesempatan yang sama, Pemohon juga sempat menghadirkan dua orang saksi. Mereka adalah Cupitno dan Muhamad Fadlil Kirom. Cupitno, seorang mantan karyawan di perusahaan biskuit, mengeluhkan dampak kebijakan pasar terbuka. Ia menuturkan, perusahaannya mengalami penurunan produksi mulai 2008 sampai 2010. Hingga akhirnya, 300 karyawan yang bekerja diperusahaan tersebut di PHK. Penyebab menurunya produksi, kata dia, disebabkan tidak lakunya barang. “Karena adanya produk luar yang lebih menarik dan harga terjangkau,” jelasnya.
Nasib serupa dialami pula oleh Muhamad Fadlil Kirom, petani bawang merah di Brebes. Ia mengungkapkan, petani bawang merah lokal semakin hari semakin kalah oleh serbuan bawang impor. Menurutnya, petani bawang secara nasional se-Indonesia telah merugi sekitar Rp 14 Triliun. Angka ini dia dapat dari berbagai sumber, diantaranya pemberitaan media massa dan data Badan Pusat Statistik. “Adanya bawang merah impor betul-betul merugikan,” ungkapnya. “Petani bawang merah akan mati dilumbung sendiri.”
Untuk sidang selanjutnya, akan digelar Selasa (23/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Rencanannya, Pemerintah akan menghadirkan beberapa ahli lagi. (Dodi/mh)
Fajrul berpendapat, UU 38/2008 yang berisikan ratifikasi perjanjian internasional (berupa Piagam ASEAN) tersebut, tidak dapat disamakan dengan undang-undang biasa. Menurutnya, hal tersebut bukanlah original intent (maksud awal) dari pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang perjanjian internasional.
Bahkan, ia bekesimpulan, MK tidak berwenang menguji UU 38/2008. Sebab, Konstitusi ataupun perundang-undangan lainnya tidak memberi kewenangan secara eksplisit kepada MK untuk menguji undang-undang ratifikasi. “Begitu pula MA (Mahkamah Agung) ataupun PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” tuturnya. Ia menegaskan, penyelesaian sengketa terkait Piagam ASEAN telah ditentukan tersendiri dalam Piagam tersebut, yakni dalam Pasal 24 hingga Pasal 28.
Menurut dia, pewadahan perjanjian internasional kedalam bentuk undang-undang hanyalah sebagai ‘kemasan’ saja. “Kemasan (dalam rangka) administrasi kenegaraan untuk luar negeri,” ungkapnya. Ia pun lalu mengingatkan agar dalam mengkaji perkara ini, jangan terjebak dalam formalitas saja. Karena menurutnya, pada substansinya, UU 38/2008 tersebut adalah perjanjian internasional. Dan, perjanjian internasional bukanlah kewenangan MK untuk mengujinya.
Jikalau MK mengabulkan permohonan Pemohon, ujar Fajrul, akan menjadi prseden baru dalam penegakan hukum, baik pada tataran nasional maupun internasional. “Pertama kalinya pengadilan nasional membatalkan perjanjian internasional,” ujarnya. Ahli lainnya, Soemadi Brotodiningrat, menambahkan, jikapun nanti MK membatalkan UU tersebut, maka hal itu tidak otomatis memutus keterikatan Indonesia terhadap perjanjian internasional sebagaimana tertuang dalam Piagam ASEAN.
Atas keterangan ahlinya itu, Fajrul pun sempat dihujani pertanyaan oleh para Hakim Konstitusi. Para Hakim Konstitusi banyak menyoroti pandangan Fajrul yang menyatakan bahwa undang-undang ratifikasi berbeda dengan undang-undang yang biasanya diuji oleh MK. Salah satu pertanyaan dilontarkan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Saat itu Hamdan bertanya tentang posisi undang-undang ratifikasi dalam hierarki perundang-undangan sebagaiamana diatur dalam UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam jawabannya, Fajrul pun mengaku belum bisa menjelaskan secara gamblang atas pertanyaan ini. “Kita perlu diskusi tentang itu,” jawabnya. Yang jelas, menurutnya, undang-undang ratifikasi bukanlah undang-undang sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, Soemadi berpendapat, manfaat dan keuntungan yang diambil dari keikutsertaan Indonesia dalam ASEAN lebih besar dibandingkan jika Indonesia tidak ikut serta. “Peran dan kontribusi ASEAN sangat signifikan,” ungkapnya. Belum lagi jika ditilik dari sudut hubungan diplomatik Indonesia di tingkat internasional. “Menambah bobot Indonesia dalam percaturan internasional.”
Ia juga membantah pernyataan bahwa pasar tunggal sangat erat hubungannya dengan neoliberalisme. Sebaliknya, menurutnya, pasar tunggal membuka kompetisi yang lebih fair dan mempererat hubungan antar negara sekawasan. “Saya tidak melihat kecenderungan sekarang ini mengarah pada free fight competition,” katanya. “Yang nampak justru kerja sama dan persaingan yang semakin rule based.”
Serbuan Barang Impor
Pada kesempatan yang sama, Pemohon juga sempat menghadirkan dua orang saksi. Mereka adalah Cupitno dan Muhamad Fadlil Kirom. Cupitno, seorang mantan karyawan di perusahaan biskuit, mengeluhkan dampak kebijakan pasar terbuka. Ia menuturkan, perusahaannya mengalami penurunan produksi mulai 2008 sampai 2010. Hingga akhirnya, 300 karyawan yang bekerja diperusahaan tersebut di PHK. Penyebab menurunya produksi, kata dia, disebabkan tidak lakunya barang. “Karena adanya produk luar yang lebih menarik dan harga terjangkau,” jelasnya.
Nasib serupa dialami pula oleh Muhamad Fadlil Kirom, petani bawang merah di Brebes. Ia mengungkapkan, petani bawang merah lokal semakin hari semakin kalah oleh serbuan bawang impor. Menurutnya, petani bawang secara nasional se-Indonesia telah merugi sekitar Rp 14 Triliun. Angka ini dia dapat dari berbagai sumber, diantaranya pemberitaan media massa dan data Badan Pusat Statistik. “Adanya bawang merah impor betul-betul merugikan,” ungkapnya. “Petani bawang merah akan mati dilumbung sendiri.”
Untuk sidang selanjutnya, akan digelar Selasa (23/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Rencanannya, Pemerintah akan menghadirkan beberapa ahli lagi. (Dodi/mh)
Rabu, 03 Agustus 2011
Pemerintah Belum Tanggapi Pemohon SKLN Kutai Timur
Jakarta, MKOnline – Sidang Sengketa Kewenangan antara Bupati Kutai Timur dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (2/8). Sidang pleno yang diketuai Ketua MK Moh. Mahfud MD ini beragendakan mendengarkan jawaban atau tanggapan dari Pemerintah.
Wakil Pemerintah Sutisna Prawira di awal sidang langsung menyatakan bahwa dirinya dan Agus Salim, yang mewakili Kementerian ESDM, sampai sidang keempat ini belum mendapat surat kuasa dari Menteri ESDM. Karena itu, Pemerintah dalam sidang kali ini belum dapat menyampaikan jawaban atas permohonan Pemohon.
“Bapak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, belum menandatangani (surat kuasa, red). Dan kedua juga mohon ijin, Yang Mulia, keterangan pemerintah kami sedang difinalkan dengan Kementerian Dalam Negeri karena ini terkait dengan masalah kewenangan juga dengan Kementerian Hukum dan HAM terkait dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Jadi, kami mohon ijin pada hari ini sidang, kami belum bisa menyampaikan keterangan pemerintah,” ujar Sutisna.
Wakil Pemerintah Sutisna Prawira di awal sidang langsung menyatakan bahwa dirinya dan Agus Salim, yang mewakili Kementerian ESDM, sampai sidang keempat ini belum mendapat surat kuasa dari Menteri ESDM. Karena itu, Pemerintah dalam sidang kali ini belum dapat menyampaikan jawaban atas permohonan Pemohon.
“Bapak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, belum menandatangani (surat kuasa, red). Dan kedua juga mohon ijin, Yang Mulia, keterangan pemerintah kami sedang difinalkan dengan Kementerian Dalam Negeri karena ini terkait dengan masalah kewenangan juga dengan Kementerian Hukum dan HAM terkait dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Jadi, kami mohon ijin pada hari ini sidang, kami belum bisa menyampaikan keterangan pemerintah,” ujar Sutisna.
Menanggapi ketidaksiapan Pihak Pemerintah itu, Mahfud yang memimpin jalannya sidang, mengingatkan bahwa selama ini sidang sudah berlangsung secara terbuka dan sudah memberi kesempatan cukup kepada pihak-pihak. Karena itu, Mahfud memutuskan sidang kali ini tidak dapat dilanjutkan.
“Kita tidak mungkin melanjutkan sidang hari ini. Oleh sebab itu sidang akan ditutup dan nanti Majelis Hakim akan memberitahu apakah perlu mendengarkan keterangan pemerintah atau tidak, karena sudah diberi kesempatan tidak datang. Sehingga nanti Majelis Hakim akan mempertimbangkan membuka sidang lagi untuk mendengar atau tidak perlu mendengar keterangan pemerintah. Dengan demikian sidang dinyatakan ditutup,” tandas Mahfud sembari menutup sidang yang berlangsung sangat singkat itu.
Permohonan Pemohon sendiri terkait dengan pengelolaan sumder daya alam di Kutai Timur. Pemohon merasa tidak bisa melakukan tindakan-tindakan pengelolaan potensi Sumber Daya Alam, khususnya Minerba, sebagaimana yang seharusnya diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945. Pemohon menganggap pengelolaan Sumber Daya Alam di Kutai Timur seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten atau Pemohon demi kesejahteraan rakyat, bukannya oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian ESDM. “Sesuai Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945 merupakan wewenang yang semestinya milik Pemerintah Kabupaten,” ujar Robikin pada persidangan pertama yang lalu. (Yusti Nurul Agustin/mh)
Langganan:
Postingan (Atom)