Jakarta,
MK Online - Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam
tembakau dengan kadar yang cukup besar, sehingga rokok tembakau dapat
menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik dan toleransi serta sulit
menghentikannya.
Demikian
dikatakan Prof. Dr. Amir Syarief, SpFK, selaku Ahli dari Pemerintah,
saat memberikan keterangan pada sidang uji Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, Rabu (2/6/2010), bertempat di ruang sidang
pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang kali ini
adalah mendengarkan keterangan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah,
kuasa Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA),
serta saksi-saksi
Sidang
perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 ini dilaksanakan oleh Pleno Hakim yang
terdiri dari Achmad Sodiki sebagai Ketua, M. Arsyad Sanusi, Muhammad
Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Hamdan
Zoelva, dan Harjono masing-masing sebagai anggota. Sidang dihadiri
oleh Pemohon prinsipal H.M. Bambang Soekarno, Ahli dari Pemohon, dan
Ahli dari Pemerintah.
Lebih
lanjut, Guru Besar FK UI ini mengatakan, ketergantungan psikologis
adalah bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dan berkeinginan
menggunakannya kembali berulang-ulang untuk memperoleh efek perasaan
nyaman, senang, bergairah, bersemangat. "Bila keinginannya itu tidak
terlaksana akan menimbulkan perasaan sebaliknya, dia menjadi lesu, tidak
bergairah," kata Amir.
Ketergantungan
fisik adalah bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dalam jangka waktu
tertentu dan mengurangi atau menghentikannya secara tiba-tiba. "Maka
akan menimbulkan tanda-tanda gangguan fisik, seperti perubahan-perubahan
pada denyut jantung, tekanan darah, produksi keringat, frekuensi
diare, sensitasi nyeri, dan sebagainya," lanjut Amir.
Sedangkan yang dimaksud toleransi adalah bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan memerlukan peningkatan takaran atau dosis untuk memperoleh efek yang sama seperti sebelumnya. "Misalnya seseorang biasanya untuk tidur cukup menggunakan dosis 5 mg Diazepam, tetapi karena sering menggunakan obat tersebut, suatu ketika ia memerlukan dosis 10 mg untuk bisa memberikan efek tidur," kata Amir mencontohkan.
Sedangkan yang dimaksud toleransi adalah bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan memerlukan peningkatan takaran atau dosis untuk memperoleh efek yang sama seperti sebelumnya. "Misalnya seseorang biasanya untuk tidur cukup menggunakan dosis 5 mg Diazepam, tetapi karena sering menggunakan obat tersebut, suatu ketika ia memerlukan dosis 10 mg untuk bisa memberikan efek tidur," kata Amir mencontohkan.
Sementara
itu, Ahli Pemerintah dr. Widyastuti Soerojo, MSc, mengatakan, tidak
ada kata larangan dalam Pasal 113 UU 36/ 2009 tentang Kesehatan. Yang
ada adalah pengaturan. "Artinya bahwa masih dibenarkan orang untuk
memproduksi atau melakukan kegiatan yang berhubungan dengan zat adiktif
yang di sana disebutkan adalah tembakau," kata Widya.
Ketua
Badan Khusus Pengendalian Tembakau IAKMI ini mengatakan, dari
perspektif perlindungan kesehatan masyarakat, tidak ada diskriminasi
antara sediaan farmasi dan zat adiktif. "Pengamanan sediaan farmasi
tidak berbeda dengan pengamanan zat adiktif," tegas Widya.
Widya
menyebutkan jenis tanaman yang mengandung zat adiktif, yaitu kentang,
tomat, paprika, terong, kopi, cokelat, teh. Jenis tanaman ini
mengandung zat adiktif dengan konsentrat sangat kecil, tidak
berpengaruh pada terjadinya ketagihan. "Dan karenanya tidak di-cover oleh undang-undang," jelas Widya.
Ahli
dari Pemerintah, Dr. Ahmad Hudoyo, Sp.P(K), dalam pengantarnya
mengatakan, kanker paru merupakan penyakit mematikan. "Karena kanker
paru sulit disembuhkan dengan angka tahan hidup lima tahun paling rendah
dibanding kanker lainnya," kata Ahmad mengawali penjelasannya.
Lebih
lanjut spesialis paru ini mengatakan, selain untuk rokok, cerutu,
susur, inang, ternyata dengan kemajuan teknologi, daun tembakau bisa
dijadikan zat pengawet untuk kayu, bambu, bahkan untuk mewarnai kain
sutera. "Tembakau juga bisa untuk bio pestisida, dan penelitian terakhir
ekstrak daun tembakau bisa untuk obat kencing manis, bahkan dengan
rekayasa genetik, daun tembakau juga bisa jadi obat anti kanker paru,"
papar Ahmad.
Ahli
Pemerintah Abdillah Ahsan, SE, MSE, mengatakan, proporsi pengeluaran
untuk rokok menduduki urutan kedua setelah padi-padian dan beras.
"Mengalahkan untuk pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, kata Abdillah.
Uang
yang dihabiskan untuk rokok, lanjut Peneliti Lembaga Demografi UI ini,
setara dengan sembilan kali biaya pendidikan. Pengeluaran untuk rokok
juga setara dengan tujuh belas kali pengeluaran untuk daging, setara
dengan lima kali pengeluaran untuk susu dan telur. "Kalau boleh
berandai-andai, di rumah tangga yang miskin, bapaknya yang perokok
berhenti merokok, dan uangnya dibelikan susu dan telur, maka konsumsi
susu dan telur di rumah tangga tersebut akan meningkat lima kali lipat,"
papar Abdillah.
Sementara
itu, Ahli Pemerintah, DR. H.A. Fattah Wibisono, MA, mengatakan, hukum
merokok tidak ditemukan dalam Al-Qur'an maupun as-Sunnah (Hadits).
"Kata tadkhîn tidak ada dalam kitab suci," kata Fattah mengawali
keterangannya.
Lebih
lanjut, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, rokok
mempunyai dampak negatif bagi kesehatan. Dengan demikian, merokok dapat
dikategorikan sebagai khabâits. Makna kata khabâits menurut Ibnu Katsir adalah dhârratun fil badan, finnafsi,
sesuatu yang mempunyai daya rusak dahsyat bagi fisik dan jiwa
seseorang. "Bisa dipahami jika Syekh Yusuf Qardhawi dan Wahbah
Al-Zuhaili yang banyak dijadikan rujukan pengharaman rokok, kemudian di
Indonesia, ada ulama Muhammadiyah yang juga mengharamkan rokok," lanjut
Fattah.
Di
samping itu, kata Fattah, ada ulama di Indonesia yang menyatakan
merokok hukumnya makruh. "Baik yang mengharamkan maupun yang
memakruhkan, itu mempunyai titik temu, yaitu sama-sama menginginkan
orang berhenti merokok," jelas Fattah. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar