Jakarta,
MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Rabu (21/4) di ruang
pleno lt. II gedung MK. Persidangan perkara No.22/PUU-VIII/2010 ini
dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang diajukan Yusri Ardisoma bin
Urdiman.a
Pemohon
tanpa didampingi kuasa hukum ini mendalilkan Pasal 268 ayat (1) dan
penjelasan Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I
Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945.
Mantan kepala desa yang tersandung kasus korupsi kredit usaha tani (KUT) ini menganggap Pasal 268 ayat (1) yang berbunyi, "Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.."
merugikan Pemohon, karena tidak menjamin kepastian hukum yang adil,
diskriminatif serta melanggar hak asasi manusia. "Saya sebagai terdakwa,
ada penangguhan penahanan, trus banding, sekarang sedang kasasi, tapi
kasasinya belum turun," kata Pemohon.
Dalam
tuntutannya (petitum), Yusri meminta Mahkamah agar menerima dan
mengabulkan permohonannya. Di samping itu, juga meminta Mahkamah
menyatakan Pasal 268 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 268 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Pasal 28D
Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Menanggapi
permohonan, Panel Hakim yang memeriksa perkara ini, H.M. Akil Mochtar
sebagai Ketua dan dua anggota Maria Farida Indrati dan Arsyad Sanusi
menganggap kewenangan Mahkamah dalam permohonan sudah memenuhi syarat,
termasuk kedudukan hukum Pemohon (legal standing), yaitu
perorangan warga negara Indonesia. Sedangkan mengenai kerugian
konstitusional, Akil mempertanyakan. "Kerugian Saudara adalah karena
dengan pengajuan PK itu, hak Saudara menjadi dirugikan karena Saudara
pernah ditahan, kemudian ditangguhkan, dan sekarang perkaranya dalam
proses kasasi," jelas Akil.
Akil
menilai belum ada kerugian konstitusional yang diderita Pemohon dengan
berlakunya Pasal yang diujikan. "Apabila pasal ini dinyatakan tidak
mempunyi kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah, maka apakah saudara
tidak bisa dieksekusi karena Saudara mengajukan PK?" kata Akil.
Sementara
itu, Anggota Panel Maria Farida Indrati menanyakan mengenai kepastian
hukum yang dimaksudkan Pemohon. Lebih lanjut Maria menjelaskan, yang
dimaksud kepastian hukum berarti upaya hukum sudah tertutup. "Kepastian
hukum ini yang harus dijelaskan," papar Maria. Menurut Maria, PK itu
diajukan jika ada ada alat bukti baru (novum). "Apakah Bapak
punya bukti baru yang diajukan untuk PK ini?" tanya Maria. Permintaan PK
juga tidak dibatasi dengan jangka waktu tertentu. "Jadi, kapan pun
bisa," tandas Maria.
Sementara
itu Anggota Panel Arsyad Sanusi menelusuri kasus pidana yang menimpa
Yusri. Yusri divonis satu tahun penjara karena terbukti melakukan tindak
pidana korupsi. "Dulu waktu putusan pengadilan negeri, Saudara didakwa
melakukan korupsi?" tanya Arsyad. "Ya," jawab Yusri singkat. "Setelah
itu dihukum," lanjut Arsyad. "Dihukum satu tahun," jawab Yusri. Tidak
puas dengan putusan PN, Yusri menyatakan Banding. Tapi putusan Banding
justru menguatkan putusan sebelumnya. Setelah itu dia menyatakan Kasasi
pada 2007. Yusri mengaku menjalani hukuman selama 4 bulan, kemudian
memohon penangguhan penahanan.
Arsyad
kemudian mengorek keterangan mengenai kasasi yang diajukan Yusri.
"Kalau kasasi diajukan 2007, pasti sudah ada putusannya itu," selidik
Arsyad. Yusri akhirnya mengakui kasasinya ditolak. Menurut Arsyad, hal
inilah yang mendasari permohonan, bahwa PK sebagai upaya hukum luar
biasa itu tidak menangguhkan eksekusi. Tatkala putusan kasasi turun,
eksekutornya jaksa, sekalipun mengajukan PK. Arsyad kemudian menanyakan
kerugian konstitusional Pemohon. "Apanya yang melanggar undang-undang
dasar, sedangkan proses Saudara itu masih berlangsung," tanya Arsyad.
Di
akhir persidangan pemeriksaan pendahuluan, Ketua Majelis Hakim Panel
Akil Mochtar memberi kesempatan Yusri untuk memperbaiki permohonan
paling lambat 14 hari. (Nur Rosihin Ana)