Pemufakatan jahat hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kapasitas dan kualitas untuk melakukan tindak pidana
tertentu. Pengaturan pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor yang merujuk
kepada Pasal 88 KUHP menimbulkan multitafsir bagi penegak hukum. Pengertian
pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi
syarat lex certa, tidak jelas dan membuka potensi terjadinya pelanggaran
hak asasi.
Demikian antara lain dalil permohonan pengujian Pasal 88 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Pasal 15 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1),
Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD 1945).
Permohonan tersebut diajukan oleh Setya Novanto (Setnov).
Melalui surat bertanggal 2
Februari 2016, Setnov melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ainul Syamsu, dkk,
mengajukan permohonan tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Setelah permohonan
dinilai lengkap, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan ini dengan Nomor
Perkara 21/PUU-XIV/2016
pada 17 Februari 2016. Saat mengajukan permohonan ini ke MK, Setnov berstatus
sebagai Terperiksa dalam penyelidikan atas “dugaan tindak pidana korupsi
pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam
perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia”.
Pasal 88 KUHP
Dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih telah sepakat untuk melakukan kejahatan.Pasal 15 UU TipikorSetiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 sampai dengan Pasal 14.
Kapasitas dan Kualitas
Menurut Setnov, sangat tidak tepat jika ketentuan
tentang pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor itu
diterapkan kepadanya. Sebab ia maupun Muhammad Riza Chalid bukanlah orang-orang
yang berwenang, dan bukan penentu kebijakan pemerintah dalam memperpanjang izin
PT Freeport Indonesia. Keduanya bukan pula pejabat PT Freeport Indonesia yang
dapat menentukan kebijakan divestasi saham yang dimilikinya.
Menurut Setnov, dirinya dan Muhammad Riza Chalid sama
sekali tidak mempunyai kapasitas dan kualitas untuk melakukan pemufakatan jahat
berdasarkan Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Berbeda halnya jika
pemufakatan jahat itu dilakukan bersama dengan pihak PT Freeport Indonesia yang
mempunyai kewenangan dan kebijakan untuk melepas saham yang dimilikinya atau
dengan oknum eksekutif yang memiliki kewenangan untuk memperpanjang izin
kontrak PT Freeport Indonesia.
Hal tersebut terjadi karena ketidakjelasan pengaturan
pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor yang merujuk kepada Pasal 88 KUHP
sehingga menimbulkan multitafsir bagi penegak hukum. Direktur Penyidikan Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus menyederhanakan frasa “dua orang atau lebih”
hanya pada persoalan kuantitas, yaitu jumlah orang yang bersepakat; bukan pada
persoalan kualitas, yaitu apakah sejumlah orang itu memiliki kualitas dan
kapasitas untuk melakukan tindak pidana tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan pemaknaan dan penjelasan
lebih lanjut mengenai frasa “permufakatan jahat”. Menurut Setnov, pemufakatan
jahat hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kapasitas dan
kualitas untuk melakukan tindak pidana tertentu. Simplifikasi kaidah dan norma
“pemufakatan jahat” menjadi hanya sekedar dua orang yang berdiskusi dan
bercakap tanpa melihat kapasitas dan kualitas orang-orang tersebut untuk
melakukan tindak pidana, akan melahirkan konsekuensi praktis yang diwujudkan dalam
penegakan hukum yang tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
bagi warga negara yang menjalani proses hukum.
Ambigu dan Multitafsir
Ambiguitas dan multitafsir frasa “pemufakatan jahat”
dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor mendorong terjadinya proses hukum
yang merugikan hak-hak konstitusional Setnov. Ketidakpastian hukum dalam
pengertian tentang pemufakatan jahat, rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor
juga tidak memenuhi syarat lex certa.
Ketidakcermatan perumusan pasal ini terlihat dalam
frasa “tindak pidana korupsi” yang tidak menyebutkan jenis-jenis tindak pidana
korupsi yang dimaksud. Hal ini pada akhirnya tidak memberikan jaminan dan
perlindungan hak asasi manusia sebagaimana yang dialami Setnov (Pemohon). Dalam
beberapa surat panggilan yang dikirimkan oleh Direktur Penyelidikan Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Khusus, tidak disebutkan bentuk dan pasal dari tindak pidana
korupsi yang sedang diperiksa, tetapi hanya menyebutkan “dugaan tindak pidana
korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam
perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia”.
Di satu sisi, hal ini tidak memberikan kepastian hukum
bagi Pemohon terkait dengan pasal yang digunakan oleh penegak hukum untuk
melakukan pemeriksaan hukum. Di sisi lain, ketidakcermatan rumusan delik dalam
Pasal 15 UU Tipikor berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan penegak hukum
karena sangat dimungkinkan bahwa dugaan-dugaan hanya didasarkan pada penilaian
subyektif dan merupakan perbuatan yang tidak pernah dilarang dalam
undang-undang.
Sangat dimungkinkan surat panggilan tersebut didasari
pemahaman bahwa terhadap orang-orang yang diduga melakukan pemufakatan jahat
tindak pidana korupsi cukup digunakan Pasal 15 UU Tipikor tanpa merujuk kepada
tindak pidana pokoknya sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5
sampai Pasal 14. Setnov meyakini bahwa tindakan tersebut disebabkan
ketidaktegasan dan ketidakcermatan rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor.
Kerugian konstitusional yang potensial terjadi manakala
proses hukum tetap dipaksakan dan dijatuhkan pidana berdasarkan aturan pidana
yang multitafsir adalah tersendatnya dan berhentinya karir politik Setnov yang
telah dibina sejak lama. Keadaan ini dapat menghambat aktivitas politik dan
kewajiban serta tugas negara yang diemban Setnov sebagai Anggota DPR RI.
Potensi kerugian konstitusional tersebut di atas hanya melengkapi kerugian
konstitusional yang telah dan sedang dialami oleh Pemohon, yaitu tidak
terpenuhinya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang disebabkan
berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor yang multi tafsir.
Kerugian konstitusional itu tidak akan terjadi lagi
jika permohonan ini dikabulkan. Dengan dikabulkannya permohonan ini, maka
Direktur Penyelidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan penegak hukum
lain tidak akan menerapkan ketentuan Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor
secara membabi buta tanpa melihat kapasitas dan kualitas orang tersebut untuk
melakukan tindak pidana, terlebih kepada Pemohon.
Dalam asas legalitas terkandung asas lex certa yang
mengajarkan bahwa undang-undang harus diatur secara cermat untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan dalam penegakan hukumnya. Pengertian pemufakatan
jahat dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi syarat lex
certa, tidak jelas dan membuka potensi terjadinya pelanggaran hak asasi
disebabkan penegakan hukum yang keliru.
Dalam KUHP, tindak pidana pemufakatan jahat diatur
dalam Pasal 110 dan Pasal 125 mengatur tentang pemufakatan jahat untuk
melakukan kejahatan terhadap keamanan negara berdasarkan Pasal 104, Pasal 106,
Pasal 107, Pasal 108 dan Pasal 124. Berbagai tindak pidana keamanan negara
dalam beberapa pasal tersebut tidak mensyaratkan kualitas dan kualifikasi
tertentu bagi subjek deliknya sehingga setiap orang dapat mewujudkan delik
tersebut dan dapat pula diterapkan pemufakatan jahat dengan pengertian “dua
orang atau lebih yang bersepakat melakukan kejahatan”. Namun persoalannya
menjadi berbeda manakala pemufakatan jahat dengan pengertian tersebut
diberlakukan terhadap delik-delik yang mensyaratkan kualitas tertentu, seperti
pejabat negara atau pegawai negeri sipil yang diatur dalam UU Tipikor. Sebab
manakala definisi pemufakatan jahat tidak diubah, maka definisi pemufakatan
jahat akan digunakan untuk menjerat siapapun yang bersepakat untuk melakukan
tindak pidana meskipun orang-orang tersebut tidak mempunyai kualitas tertentu
yang ditentukan oleh undang-undang.
Dapat dibayangkan betapa seorang Anggota DPR RI yang
merupakan pejabat negara saja dapat mengalami tindakan represif sebagai akibat
dari berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor yang sumir, tidak jelas
dan tidak memenuhi asas lex certa. Apalagi terhadap warga negara biasa
yang bukan pejabat negara yang lebih rentan untuk menerima tindakan represif
dari negara dengan menggunakan aturan hukum yang sumir, tidak jelas dan tidak
memenuhi asas lex certa. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan Pasal
28 I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negaralah terutama pemerintah yang
bertanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Namun
kenyataannya negara belum dapat melaksanaan kewajiban konstitusional dengan
baik.
Meskipun pemufakatan jahat ditetapkan sebagai tindak
pidana tersendiri, namun secara esensial pemufakatan jahat tidak berdiri
sendiri dan tergantung dengan tindak pidana lainnya. Oleh karenanya seharusnya
Pasal 15 UU Tipikor menyebutkan jenis-jenis tindak pidana korupsi (strafbaar)
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14.
Namun kenyataannya, Pasal 15 UU Tipikor hanya menyebutkan “dipidana dengan
pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14” yang
mengandung pengertian bahwa dalam menjatuhkan pidana, hakim bebas untuk memilih
ancaman pidana berdasarkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14 tanpa
menyebutkan terhadap tindak pidana apa seseorang dituduh dalam sebuah proses
hukum.
Frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor
seharusnya menguraikan strafbaar (perbuatan yang dilarang) dalam bentuk
kalimat definisional atau dengan merujuk kepada pasal tertentu yang merupakan
tindak pidana korupsi. Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 125 KUHP dapat dijadikan
contoh dalam merumuskan pemufakatan jahat secara cermat agar tidak melahirkan
ketidakpastian hukum. Disebutkan dalam Pasal 110 ayat (1) KUHP bahwa
“pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107, dan
108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut”. Disebutkan
juga dalam Pasal 125 KUHP bahwa “pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, diancam dengan pidana paling lama enam
tahun”. Kedua pasal tersebut mengatur pemufakatan jahat terhadap tindak pidana
menurut Pasal 104, 106, 107, 108 dan Pasal 125 sebagai perbuatan yang dilarang
(strafbaar) sehingga memberikan kepastian hukum bahwa pemufakatan jahat
secara limitatif hanya dapat dikaitkan dengan tindak pidana tertentu. Hal ini
sangat berbeda dengan Pasal 15 UU Tipikor yang tidak mengatur strafbaar secara
mendetail karena hanya mencantumkan frasa “tindak pidana korupsi”.
Ketidakcermatan dalam Pasal 15 UU Tipikor juga dapat
disimpulkan dari dicantumkannya “Pasal 14” sebagaimana frasa “…sampai Pasal
14”, padahal Pasal 14 UU Tipikor tidak mengatur tentang tindak pidana, sehingga
tidak dapat disematkan pemufakatan jahat terhadap Pasal 14 dan lagi pula Pasal
14 tidak mencantumkan ancaman pidana. Sejatinya Pasal 14 UU Tipikor mengatur
tentang asas kekhususan sistematis (specialiteit systematische) sehingga
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 14 UU Tipikor
tidak dimungkinkan.
Ketidaktegasan dan ketidakcermatan rumusan delik dalam
Pasal 15 UU Tipikor berpotensi menghilangkan kepastian hukum, jaminan dan
perlindungan hak asasi setiap orang yang terlibat dalam proses hukum dengan
dugaan tindak pidana berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor. Sebab, tanpa pengaturan
yang tegas dan cermat tentang bentuk-bentuk tindak pidana dalam frasa “tindak
pidana korupsi” yang diatur dalam Pasal 15 UU Tipikor, setiap orang yang
terlibat proses hukum tidak akan mengetahui tuduhan terhadap dirinya.
Tafsir Ulang
Norma Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor
bertentangan dengan kaidah konstitusi yang menyatakan bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945. Selain itu, bertentangan dengan kaidah konstitusi yang mengatur tentang
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
Oleh karena itu, Setnov berharap Mahkamah Konstitusi
yang dikenal sebagai “the guardian and the final interpreter of constitution”
untuk menyatakan bahwa kaidah-kaidah undang-undang yang diatur dalam 88 KUHP
dan Pasal 15 UU Tipikor adalah bertentangan dengan kaidah konstitusi. Mahkamah
Konstitusi dapat memberikan penafsiran ulang terhadap Pasal 88 KUHP dan Pasal
15 UU Tipikor sebagaimana pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Nomor 49/PUU-VIII/2010.
Dalam petitumnya, Setnov meminta MK menyatakan frasa
“pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai
dengan “dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang
mempunyai kualitas dan kapasitas untuk melakukan tindak pidana bersepakat
melakukan tindak pidana”. Menyatakan Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dengan
“setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 3 atau Pasal 5
sampai dengan Pasal 13 diancam dengan pidana yang sama dengan pasal-pasal
tersebut”.
Nur Rosihin Ana
Rubrik “Catatan Perkara” Majalah Konstitusi Nomor
108 • Februari 2016