Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Selasa, 22 September 2015

Pasang Surut Pilkada

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat, pertama kali digelar di Indonesia pada Juni 2005. Sebelumnya, kepala daerah dan wakilnya, dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Adapun asas hukum pilkada langsung yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka mulai Juni 2005 kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pilkada belum masuk dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Baru setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada masuk dalam rezim pemilu, sehingga dinamakan pemilukada.
Penyelenggaraan Pilkada secara langsung menjelma menjadi isu krusial pada 2014. Hal ini mendorong Pemerintah untuk mengusulkan RUU Pilkada. DPR dalam sidang Paripurna 25 September 2014, memutuskan RUU Pilkada usulan Pemerintah ini menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU Pilkada ini pada intinya mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung. Dengan kata lain, penentuan kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Beberapa alasan yang mendasari pemilihan tidak langsung antara lain, pilkada langsung menyebabkan maraknya politik uang, biaya politik yang tinggi menjadi penghalang munculnya calon berkualitas, memunculkan politik balas budi, dan penghematan anggaran cukup signifikan. Pilkada langsung dituding menjadi pemicu konflik horizontal di masyarakat. Selain itu, maraknya kasus kepala daerah yang terpilih dalam pilkada banyak yang menjadi tersangka. Bahkan penangkapan mantan Ketua MK M. Akil Mochtar oleh KPK, juga terkait sengketa pilkada di MK.
Layu sebelum berkembang. Begitulah nasib Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014. Di tengah polemik pro-kontra pilkada oleh DPRD, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait pilkada, pada Kamis 2 Oktober 2014. Yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada). Perppu ini mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD. Salah satu pertimbangan lahirnya perppu ini adalah karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
Kemudian Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perppu ini intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat paripurna DPR RI yang digelar pada Selasa 20 Januari 2015. Pemerintah selanjutnya menetapkannya sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Namun, lagi-lagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 ini pun tak luput dari revisi. Lalu lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik Laporan Utama Majalah “Konstitusi” No. 103 September 2015, hal. 21.
readmore »»  

Senin, 21 September 2015

Menyongsong PILKADA Serentak 2015

Pilkada serentak akan digelar pada 9 Desember 2015. Badan peradilan khusus yang menangani sengketa Pilkada belum terbentuk. Dituntut kesiapan dan kesigapan MK menangani perkara sengketa pilkada serentak.

Eksistensi demokrasi melalui pilkada langsung merupakan ikhtiar untuk meneguhkan daulat rakyat. Pilkada secara langsung membuka ruang partisipasi yang luas bagi warga negara untuk menentukan kepemimpinan di tingkat lokal. Hal ini tentu berbeda dengan sistem demokrasi perwakilan, di mana rekrutmen kepala daerah hanya ditentukan oleh segelintir elit di DPRD.
Pilkada harus dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Kedaulatan rakyat, demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati. Kedaulatan rakyat dan demokrasi dimaksud perlu ditegaskan dengan pelaksanaan pilkada secara langsung oleh rakyat.

MK di Pusaran Pilkada

Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pada awalnya merupakan ranah kewenangan Mahkamah Agung (MA). Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa pilkada merupakan bagian dari pemilihan umum (Pemilu). Ketentuan tersebut diikuti dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 memasukkan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu). Sehingga pasal 236C mengamanatkan penanganan sengketa hasil penghitungan suara pilkada dialihkan dari MA ke MK dalam waktu 18 bulan sejak Undang-Undang tersebut diundangkan. Sejak itu, permohonan perkara sengketa pilkada mengalir ke MK.
Namun pada 19 Mei 2014, MK melalui putusannya menegaskan penanganan penyelesaian sengketa pilkada bukan merupakan ranah kewenangan MK. Putusan bernomor 97/ PUU-XI/2013 itu menyatakan pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD 1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD propinsi dan kabupaten, serta Presiden dan wakilnya yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan kabupaten, serta Presiden dan wakilnya secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara. Dengan kata lain, pilkada bukan rezim pemilu.

Kewenangan MKKewenangan Mahkamah Konstitusi termaktub jelas dalam UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Lalu, bagaimana jika terjadi sengketa pilkada, lembaga mana yang berwenang memeriksa dan mengadilinya? Dalam putusan tersebut, MK sepenuhnya menyerahkan hal ini kepada pembentuk UU yaitu pemerintah dan DPR. Lalu lahirlah Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD. Pada saat yang sama Pemerintah juga menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 ini pun kemudian direvisi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, MK secara resmi tidak lagi berwenang mengadili sengketa pilkada. Namun, seluruh putusan MK mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah sejak tahun 2008 tetap sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat karena putusan MK tidak berlaku surut.
Sejatinya, sejak keluarnya Putusan MK Nomor 97/ PUU-XI/2013, perkara perselisihan hasil pilkada bukan lagi menjadi ranah kewenangan MK. Terlebih lagi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada). Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Namun karena badan peradilan khusus tersebut belum terbentuk, maka perselisihan hasil pilkada diperiksa dan diadili MK, sebagaimana ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada.
Dengan demikian, pasca KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota mengumumkan penetapan hasil suara pilkada di daerah masing-masing, saat itu hingga batas waktu 3x24 jam, MK diperkirakan akan kebanjiran permohonan perkara sengketa pilkada. Adapun yang dimaksud dengan sengketa pilkada, yaitu meliputi sengketa antarpeserta, dan sengketa antara peserta pilkada dan penyelenggara pilkada.

Siaga Hadapi Sengketa Pilkada

Pilkada akan diselenggarakan secara serentak nasional pada 9 Desember 2015 mendatang. Semula sebanyak 269 daerah dijadwalkan akan menggelar pilkada serentak pada Desember 2015. Jika dirinci, 269 daerah tersebut terdiri dari 9 provinsi, 36 kota dan 224 kabupaten. Data terakhir KPU menyebutkan, pelaksanaan pilkada di tiga kabupaten ditunda karena hanya ada satu pasangan calon peserta pilkada. Tiga kabupaten dimaksud yaitu Blitar (Jawa Timur), Tasikmalaya (Jawa Barat). dan Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT).
Dibutuhkan persiapan ekstra mengantisipasi membanjirnya permohonan perkara sengketa pilkada ke MK. Terlebih lagi, ketentuan UU Pilkada hanya memberikan batas waktu 45 hari bagi MK untuk memutuskan perkara sengketa hasil pilkada, sejak diterimanya permohonan.
Penyelesaian perkara sengketa pilkada serentak nasional mendatang, menjadi ajang pembuktian eksistensi MK sebagai lembaga peradilan yang transparan dan akuntabel. Setidaknya MK telah berhasil membuktikan diri sebagai lembaga peradilan yang modern dan terpercaya selama satu dasawarsa. Namun, tak berapa lama, prahara menimpa ketika MK baru saja memasuki usia satu dasawarsa. M. Akil Mochtar yang saat itu menjabat ketua MK, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah jabatannya, Rabu, 2 Oktober 2013 malam. Penangkapan tersebut atas dugaan suap perkara sengketa pilkada. Kasus Akil Mochtar benar-benar pukulan berat bagi institusi peradilan konstitusi yang selama ini dibangun dengan susah payah oleh para hakim konstitusi dan pegawai MK sejak berdiri pada 13 Agustus 2003.
Pascapenangkapan Akil, MK mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Kepercayaan masyarakat langsung turun pada titik terendah dalam sejarah MK. Di tengah arus krisis kepercayaan masyarakat, MK dihadapkan pada tugas menyelesaikan hasil Pemilu 2014, yakni Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) pada 9 April 2014 serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) pada 9 Juli 2014. Keberhasilan MK dalam menangani perselisihan hasil Pemilu Legislatif dan Pilpres di tahun 2014 menjadi ajang pembuktian kebangkitan muruah MK dari keterpurukan, sekaligus menempatkan MK sebagai lembaga peradilan yang layak untuk kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Penanganan sengketa pilkada serentak nasional 2015 juga menjadi tantangan bagi eksistensi MK. Proses peradilan yang cepat, bersih, transparan, imparsial dan memberikan putusan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, menjadi modal MK untuk membangun kepercayaan masyarakat.
Berbagai langkah telah dilakukan oleh MK menghadapi sengketa pilkada serentak 2015. Di antaranya, MK mengeluarkan beberapa Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) terkait penanganan perkara penyelesaian hasil pemilukada serentak. Yakni PMK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota; PMK Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota; serta PMK Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon dan Keterangan Pihak Terkait.
Keseriusan MK menghadapi pilkada serentak juga ditunjukkan MK dengan membentuk gugus tugas yang terdiri dari gabungan pegawai Kepaniteraan dan Setjen MK. Para pegawai yang terlibat dalam hal ini akan mendapatkan pemahaman teknis melalui workshop yang digelar bulan ini.
MK juga akan memberikan bimbingan teknis (bimtek) kepada kuasa hukum para peserta pilkada serentak, KPU, Bawaslu dan lainnya. Hal ini bertujuan agar para pihak tersebut memahami hukum beracara di MK.
Langkah siaga menghadapi pilkada serentak juga dilakukan oleh KPU. KPU telah menyiapkan penyelenggaraan pilkada yang lebih profesional. Rekrutmen penyelenggara seperti PPK, PPS dan KPPS dilakukan dengan ketat.
KPU juga melakukan Pemutakhiran data pemilih (mutarlih). Publikasi daftar pemilih sementara (DPS) secara online dilakukan oleh KPU untuk memberikan kemudahan kepada publik mengecek statusnya apakah sudah terdaftar sebagai pemilih atau belum. Selain data pemilih distribusi logistik di sejumlah wilayah dengan akses transportasi, kondisi geografis dan topografi serta cuaca yang ekstrim merupakan hambatan yang harus dicarikan solusinya sehingga pemungutan suara dapat dilakukan secara serentak di semua daerah. 

Penyempurnaan Prosedur

Sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada), Mahkamah Konstitusi (MK) masih diberikan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada, sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Meskipun sebelumnya MK sudah mempunyai pengalaman dalam penyelesaian perkara Pilkada, namun berbeda dengan Pilkada 2015, di mana dilaksanakan secara serentak. Bahkan, UU Pilkada memberikan batasan penyelesaian perkara Pilkada dengan tenggang waktu 45 hari. Hal ini yang kemudian memberikan tuntutan agar MK mempersiapkan berbagai kebutuhan terkait dengan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara Pilkada.
Salah satu perubahan yang dilakukan yakni penggantian Peraturan MK (PMK) yang mengatur proses beracara dalam penyelesaian perkara pilkada. Sebelumnya, memang sudah terdapat aturan yang mengatur mengenai pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah, yakni dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008. Namun, adanya perbedaan dasar hukum pembentukan PMK, tenggang waktu penyelesaian perkara perselisihan hasil pilkada dan model pelaksanaan pilkada secara serentak sebagaimana diatur dalam UU Pilkada, MK mengeluarkan peraturan baru untuk menggantikan PMK sebelumnya.
“Karena jika MK masih menggunakan PMK yang lama, maka akan banyak perbedaan dengan situasi dan kondisi terkini. Dalam UU No. 8/2015, disebutkan bahwa MK diberi waktu selama 45 hari untuk menyelesaikan perkara PHP serentak. Sementara dalam undang-undang yang lama, diberi waktu 14 hari kerja, namun pelaksanaan pemilihan tidak serentak seperti yang akan berlangsung Desember nanti,” kata Panitera MK Kasianur Sidauruk dalam perbincangan dengan KONSTITUSI pada, Senin (7/9).
Hingga kini, terdapat dua PMK yang telah ditetapkan MK. Pertama, PMK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada. Kedua, PMK Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahap, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pilkada.
Berdasarkan PMK No. 2/2015, maka terdapat delapan tahapan dalam penanganan perkara perselisihan hasil pilkada, yakni Pengajuan Permohonan Pemohon, Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan, Perbaikan Kelengkapan Permohonan, Pencatatan Permohonan dalam BRPK, Penyampaian Salinan Permohonan kepada Termohon dan Pihak Terkait, Pemberitahuan Sidang kepada para Pihak, Pemeriksaan Perkara dan Pengucapan Putusan. Tahapan tersebut terdiri dari beberapa kegiatan dan waktunya telah dijadwalkan oleh Mahkamah. Detail mengenai Tahap, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pilkada dapat dilihat dalam PMK No. 2/2015 melalui laman web MK, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/.
Kemudian, berdasarkan PMK No.1/2015, para pihak dalam perkara perselisihan hasil Pilkada yakni Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait. Pemohon dalam perkara perselisihan hasil pilkada adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sedangkan Termohon adalah KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota, dan Pihak Terkait adalah pasangan calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak berdasarkan hasil rekapitulasi KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota. Kemudian, objek dari perkara perselisihan hasil pilkada adalah keputusan KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota tentang penetapan perolehan suara hasil pemilihan yang mempengaruhi terpilihnya calon dalam pilkada.
PMK No. 1/2015 juga menetapkan bahwa permohonan Pemohon diajukan paling lambat dalam tenggang waktu 3x24 jam sejak KPU/KIP Provinsi atau Kabupaten/Kota mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan. Permohonan diajukan secara tertulis sebanyak 12 rangkap. Sesuai dengan ketentuan UU Pilkada, PMK No. 1/2015 juga mengakomodasi batasan jumlah selisih suara untuk bisa diajukan permohonan ke MK.

Perbedaan perolehan suara untuk bisa diajukan permohonan ke MK
pada Pilkada Provinsi

Jumlah Penduduk Provinsi (Jiwa)
Perbedaan Suara Pemohon dengan Pasangan Calon Peraih Suara Terbanyak
≤2.000.000
paling banyak sebesar 2%
2000.000-6000.000
paling banyak sebesar 1,5%
6.000.000-12.000.000
paling banyak sebesar 1%
>12.000.000
paling banyak sebesar 0,5%


LAPORAN UTAMA
Perbedaan perolehan suara untuk bisa diajukan permohonan ke MK
pada Pilkada Kabupaten/Kota

Jumlah Penduduk Kab/Kota (Jiwa)
Perbedaan Suara Pemohon dengan Pasangan Calon Peraih Suara Terbanyak
≤250.000
paling banyak sebesar 2%
250.000-500.000
paling banyak sebesar 1,5%
500.000-1.000.000
paling banyak sebesar 1%
>1.000.000
paling banyak sebesar 0,5%


Jika telah memenuhi kualifikasi batas maksimal perbedaan perolehan suara maka Pemohon dapat mengajukan permohonan yang paling kurang memuat identitas lengkap, uraian mengenai kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, tenggang waktu pengajuan permohonan, pokok permohonan, dan petitum permohonan. Selain itu, Pemohon juga melengkapi permohonan dengan paling kurang dua alat bukti. Kemudian, Kepaniteraan MK akan memproses permohonan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam PMK No. 1/2015.
Terhadap permohonan yang diajukan, Termohon kemudian menyampaikan jawaban yang diajukan paling lambat satu hari setelah sidang pemeriksaan pendahuluan permohonan dilaksanakan. Jawaban Termohon tersebut disampaikan secara tertulis sebanyak 12 rangkap, yang di dalamnya memuat nama dan alamat Termohon, uraian bahwa Keputusan Termohon yang diumumkan telah benar serta permintaan kepada Mahkamah untuk menguatkan Keputusan Termohon. Jawaban Termohon yang disampaikan juga dilengkapi dengan alat bukti.
Terhadap Keterangan Pihak Terkait, Mahkamah menerima pengajuan keterangan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 hari setelah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan. Keterangan Pihak Terkait ini juga disampaikan secara tertulis sebanyak 12 rangkap, yang memuat nama dan alamat Pihak Terkait, uraian bahwa Pihak Terkait adalah peserta Pemilihan yang memperoleh suara terbanyak berdasarkan Keputusan Termohon dan permintaan kepada Mahkamah untuk menguatkan Keputusan Termohon. Keterangan Pihak Terkait yang disampaikan juga dilengkapi dengan alat bukti.
Pemeriksaan perkara perselisihan hasil Pemilihan dilaksanakan melalui Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Persidangan. Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan untuk mendengarkan penjelasan Pemohon mengenai pokok permohonan. Sedangkan Pemeriksaan Persidangan dilaksanakan untuk memeriksa permohonan Pemohon beserta alat bukti.
“Perbaikan permohonan, kalau dulu PHPU Legislatif itu diberikan waktu 1x24 jam, sekarang itu pada saat itu juga, jadi setelah sidang pemeriksaan pendahuluan, langsung di situ juga,” jelas Kasianur.
Setelah melalui Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Persidangan, Mahkamah melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk mengambil putusan. Pengambilan putusan tersebut dilakukan secara musyawarah mufakat setelah mendengarkan pendapat hukum para Hakim. Namun, ketika tidak tercapai kata mufakat bulat, maka pengambilan putusan Mahkamah dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Dalam hal putusan diambil berdasarkan suara terbanyak, pendapat hakim yang berbeda (dissenting opinion) dimuat dalam putusan. Apabila pengambilan putusan berdasarkan suara terbanyak tidak dapat dilakukan, maka suara Ketua RPH menentukan.
Pada akhirnya, Mahkamah memberikan putusan yang amarnya adalah, permohonan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, dan permohonan dikabulkan. Sidang Pleno dengan agenda pengucapan putusan ini dilaksanakan dalam tenggang waktu paling lama 45 hari sejak permohonan dicatat dalam Buku dan putusan tersebut bersifat final dan mengikat sejak selesai diucapkan.

Model Dukungan

Di samping mempersiapkan substansi aturan, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK juga melakukan berbagai kegiatan guna mendukung terlaksananya penanganan perkara perselisihan hasil pilkada secara cepat (speedy trial). Penyelesaian keberatan secara efektif dengan putusan yang adil merupakan satu kesatuan utuh menjamin integritas proses dan hasil pemilihan. Hal ini menjadi penting karena undang-undang sudah memberikan limitasi waktu 45 hari kepada MK untuk menyelesaikan perkara perselisihan hasil Pilkada.
Dalam rangka penyelesaian perkara perselisihan hasil pilkada yang sinitasi waktunya relatif terbatas, yakni 45 hari, Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah menjelaskan pihaknya telah merancang sumber daya manusia yang bekerja secara maksimal mendukung para hakim konstitusi. Supaya tugas konstitusional mahkamah konstitusi nantinya dapat diselesaikan dengan batas waktu yang ditentukan undang-undang,” papar Guntur Hamzah saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (4/9).
Kepaniteraan dan Kesekretariatan MK mempunyai dua metode dalam memberikan dukungan kewenangan penanganan perkara perselisihan hasil Pilkada. Pertama, secara internal yakni meningkatkan kualitas sumber daya pegawai MK. Kedua, secara eksternal, yakni memberikan pemahaman bersama kepada pihak-pihak terkait.
Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan guna meningkatkan kualitas pegawai MK yakni dengan menyelenggarakan workshop. Kegiatan ini dilakukan agar para pegawai MK mempunyai pemahaman yang sama terhadap instrumen yang sudah menjadi pedoman dalam penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilkada. “Kita menyelenggarakan workshop supaya memberi pemahaman yang sama terhadap instrumen yang sudah menjadi acuan atau pedoman dalam penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilkada di internal Mahkamah Konstitusi,” tutur Guntur.
Sementara bagi pihak eksternal MK akan menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) guna memberikan pemahaman bersama kepada pasangan calon kepala daerah atau kuasa hukumnya. Kegiatan ini dilandasi akan adanya perubahan aturan terkait pedoman beracara penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilkada. Melalui kegiatan Bimtek, para pihak diharapkan mengetahui bagaimana proses beracara perkara perselisihan hasil Pilkada di MK. “Sehingga ini perlu disosialisasikan kepada para pihak sehingga mereka tahu. Kalau mereka ikut Bimtek ini, dia sudah dapat bayangan,” kata Guntur.
Kemudian, MK juga akan membentuk gugus tugas manajemen perkara dan gugus tugas manajemen persidangan. Gugus tugas merupakan tim gabungan dari Kepaniteraan dengan Sekretaris Jenderal MK. Gugus tugas ini akan dibentuk setelah diadakan proses seleksi keanggotaan gugus tugas. “Karena Pengumuman secara langsung itu dilakukan oleh semua (KPU daerah-red), kita tidak bisa di Kepaniteraan melakukan itu (Penanganan perkara-red), jadi kita harus dibantu dengan kesekretariatan, makanya kita membentuk gugus tugas yang baru,” jelas Kasianur.
Menanggapi potensi persoalan yang disebabkan adanya perbedaan zona waktu di Indonesia, yakni Waktu Indonesia Timur, Waktu Indonesia Tengah dan Waktu Indonesia Barat, Kasianur menyatakan bahwa penerimaan permohonan akan direncanakan akan dipisah menjadi tiga. Sehingga, lanjut Kasianur, akan ada perbedaan meja penerimaan permohonan dari tiap zona waktu. “Jadi supaya nanti jangan seperti yang dulu, seperti PHPU Legislatif,” tegas Kasianur.
Terkait dengan adanya potensi terjadinya kontak antara pegawai dengan pihak yang berperkara, Kasianur mengungkap akan memperketat pengawasan untuk menghindari hal-hal yang melanggar akibat adanya kontak antara pegawai MK dengan pihak-pihak yang berperkara. Kontak antara pegawai dan para pihak yang berperkara tidak dapat dihindari, karena Pegawai MK yang bertugas pasti berkomunikasi dengan para pihak. “Itulah yang menjadi kendala waktu kita di PHPU Legislatif dulu, dibilang tidak bisa, tidak bisa, akhirnya banyak yang terlewatkan. Hanya saya sependapat, ada unsur pengawasan yang perlu diperketat,” tandas Kasianur.
Terkait masalah jarak, di mana Pilkada dilaksanakan di daerah-daerah, maka sudah disiapkan fasilitas persidangan jarak jauh melalui video conference, juga terdapat pada 42 perguruan tinggi yang tersebar di 34 provinsi seluruh Indonesia. “Pilkada ini kan basisnya di daerah-daerah, karena di daerah-daerah maka tentu pihak-pihak yang terkait di daerah ini pada umumnya kan ada di daerah, sehingga dengan adanya fasilitas video conference ini, kami di satu sisi ingin memberi kesempatan kepada para pihak untuk mengoptimalkan fasilitas video conference kata Guntur. Menurut Guntur video conference dapat menjadi salah satu solusi bagi para pihak untuk mengakses jalannya persidangan, sekaligus juga bisa memberi akses kepada para pihak untuk menyelesaikan perkaranya di Mahkamah Konstitusi tanpa perlu hadir di Mahkamah Konstitusi.
Guntur berharap penanganan perselisihan hasil Pilkada 2015 ini bisa berjalan lancar, tepat waktu dan mempunyai kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu, Guntur juga berharap agar para pihak mampu memahami prosedur beracara di MK. Kita sudah publish rambu-rambu atau mekanisme atau instrumen yang terkait dengan penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilkada ini, bahkan nanti pada saat permohonan Pemohon sudah masuk, kami upload permohonan Pemohon itu, supaya semua pihak dapat membaca bahwa ada permohonan yang masuk di Mahkamah Konstitusi, ini semua dalam rangka kami memberi kemudahan,” tandas Guntur.

Kesiapan KPU

Sementara itu dari sisi penyelenggara Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mempersiapkan sejumlah aspek menyongsong pesta demokrasi serentak tersebut, di antaranya regulasi, anggaran, badan penyelenggara, dan infrastruktur pendukung.
Saat ditemui KONSTITUSI di gedung KPU, Kamis (10/9) Komisioner KPU Bidang Data dan Informasi, Humas, dan Hubungan antar Lembaga Ferry Kurnia Rizkiyansyah menjelaskan KPU telah membuat sejumlah peraturan dan surat edaran sebagai instrumen administratif untuk melaksanakan tahapan, jadwal dan program pilkada. Selain itu, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota juga mengomunikasikan kebutuhan anggaran dengan pemerintah daerah sesuai dengan mandat Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 bahwa pembiayaan pilkada bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dalam hal penyiapan penyelenggara pilkada yang lebih profesional, Ferry menuturkan bahwa KPU telah menetapkan syarat yang lebih ketat dalam rekrutmen penyelenggara ad hoc seperti Panita Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Selain itu, urai Ferry, KPU juga berusaha menutup celah kecurangan dengan memperbaiki manajemen pilkada. Aspek keterbukaan dan akuntabilitas yang telah dipraktikkan sejak pemilu legislatif dan pilpres 2014 tetap dipertahankan. "KPU berusaha terbuka dalam mengelola setiap tahapan, sejak proses pencalonan, pemutakhiran data pemilih, pemungutan dan penghitungan suara, hingga rekapitulasi suara akan dapat diakses dengan mudah oleh publik", jelas Ferry. Untuk itu, imbuh Ferry KPU telah menggunakan sistem informasi untuk memfasilitasi keterbukaan dan akuntabilitas sejumlah tahapan pilkada yang strategis tersebut.
Oleh karena itu, kendati harus menyelenggarakan 266 Pilkada, KPU optimistis penyelenggaraan pilkada serentak akan berjalan lancar. Terlebih, KPU sudah punya pengalaman mengelola pilkada serentak di tingkat lokal. “Memang pilkada serentak di tingkat nasional baru pertama, tapi sejak tahun 2010 kita sudah punya pengalaman mengelola pilkada serentak di tingkat lokal. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur serta pemilihan bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota di suatu provinsi digelar secara serentak,” pungkas Ferry.

Nur Rosihin Ana, Lulu Anjarsari P, Lulu Hanifah, Triya Indra R.
Dalam Rubrik Laporan Utama Majalah “Konstitusi” No. 103 September 2015, hal. 8-16.
readmore »»  

Minggu, 20 September 2015

Menyoal Syarat Minimal Peserta Pilkada

Pelaksanaan Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2015. Namun pilkada Kota Surabaya dan beberapa kota lain di Indonesia terancam dibatalkan atau ditunda pelaksanaannya dikarenakan hanya ada satu pasangan calon pendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana (Risma-Wisnu) resmi mendaftar sebagai calon walikota dan wakil walikota Surabaya. Risma-Wisnu mendatangi Kantor KPU Kota Surabaya dengan menaiki becak diantar para pendukungnya, Ahad (26/7/2015) lalu. Hari itu merupakan hari pertama KPU Kota Surabaya membuka pendaftaran. Hingga batas akhir pendaftaran, ternyata belum juga muncul pasangan calon lain yang mendaftar. KPU Kota Surabaya pun melakukan perpanjangan masa pendaftaran.
Ketentuan dalam UU Pilkada mensyaratkan pilkada paling sedikit diikuti oleh dua pasangan calon. Ketentuan ini berpotensi menyebabkan pelaksanaan Pilkada Kota Surabaya dan beberapa kota lain di Indonesia terancam dibatalkan atau ditunda.
Merasa dirugikan dengan persyaratan tersebut, calon wakil walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana bersama seorang warga Surabaya, H. Syaifuddin Zuhri, pada 24 Juli 2015 mengajukan permohonan uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan ini diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah dengan Ana
Nomor 96/PUU-XIII/2015 pada 11 Agustus 2015.
Whisnu dalam permohonannya mengujikan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU PERKARA
Pilkada) Terhadap Undang Undang Dasar 1945. Adapun materi yang diujikan yaitu, Pasal 121 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, dan Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2), Pasal 122 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.

Pasal 51 Ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015
“Berdasarkan berita acara penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPU Propinsi menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dengan Keputusan KPU Propinsi”
Pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015
“Berdasarkan berita acara penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPU Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota dengan Keputusan KPU Kabupaten/Kota”
Pasal 121 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015
“Dalam hal di suatu wilayah Pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan terganggunya seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan maka dilakukan Pemilihan susulan.”

Minimal Dua Pasang
Ketentuan pasal 51 ayat (2) dan pasal 52 ayat (2) UU Pilkada diatur mengenai peserta pemilihan “paling sedikit 2 (dua)” pasangan calon. Para Pemohon berdalil bahwa ketentuan pasal 51 Ayat (2), pasal 52 Ayat (2), pasal 121 Ayat (1) dan 122 Ayat (1) UU Pilkada ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum akibat penafsiran yang salah terkait ketentuan penundaaan pemilihan.
Menurut Para Pemohon, UU Pilkada tidak mengantisipasi situasi yang menyebabkan pasangan calon peserta pilkada kurang dari dua pasangan calon. Situasi ini terjadi bukan akibat kesalahan dari pasangan calon yang sudah memenuhi persyaratan. Karena itu, menjadi tidak adil jika situasi tersebut menyebabkan ketidakpastian bagi pasangan calon sebagai peserta pemilihan.
Perlakuan tidak yang adil ini tentu membuat pasangan calon menderita kerugian materiil dan immateriil. Sebab untuk dapat diusulkan sebagai calon dari partai politik (parpol), gabungan parpol, atau perseorangan, seorang calon harus mengeluarkan biaya,tenaga dan pikiran yang tidak sedikit. Kebutuhan biaya dimaksud antara lain untuk melakukan survei elektabilitas, meminta rekomendasi partai atau gabungan partai atau pengumpulan dukungan calon perseorangan. Kekecewaan mendalam dialami calon dan pendukungnya jika kemudian tidak jadi peserta pemilihan.
Ketentuan “paling sedikit 2 (dua)” tersebut telah bertentangan dengan konstitusi karena didalam aturan pemilihan secara demokratis pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak mensyaratkan harus ada paling sedikit 2 (dua) pasangan calon, artinya ukuran demokrasi dalam konstitusi itu tidak tergantung dengan jumlah calon karena substansi demokrasi itu adalah pada proses penyaluran hak politik warga negara dan bukan pada jumlah peserta pemilihannya;
Dengan demikian menurut para Pemohon, frasa “paling sedikit 2(dua)” dalam ketentuan pasal 51 ayat (2) dan pasal 52 ayat (2) UU Pilkada yang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Tunda Pilkada
Ketentuan pasal 121 Ayat (1) dan 122 Ayat (1) UU Pilkada mengatur ketentuan tentang “Pemilihan Susulan dan Pemilihan Lanjutan.” Menurut para Pemohon, Tidak ada ada penjelasan dan definisi khusus mengenai hal ini. Bahkan di dalam ketentuan penjelasannya pun dikatakan “cukup jelas”.
Pelaksanaan ketentuan pasal 51 Ayat (2), pasal 52 Ayat (2), pasal 121 Ayat (1) dan pasal 122 Ayat (1) UU Pilkada akan digunakan sebagai alasan penundaan Pilkada karena hanya ada satu pasangan calon. Ketentuan pasal-pasal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum akibat penafsiran yang salah terkait ketentuan penundaaan pemilihan.
Pemberhentian seluruh tahapan dikarenakan hanya ada satu pasangan calon perserta pilkada yang kemudian dijadikan alasan penundaan pilkada, jelas merugikan hak-hak konstitusional dari Para Pemohon sebagaimana telah dijamin oleh Pasal 18 Ayat (4), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Para
Ketentuan penundaan yang diatur Pasal 121 ayat (1) UU Pilkada itu menyangkut keadaan yang tidak bisa diatasi pada saat proses pemilihan berlangsung. Misalnya bencana alam, kekacauan dan kegentingan yang memaksa sehingga penyelenggaraan pemilihan dalam suasana yang aman dan nyaman menjadi tidak dapat terpenuhi. Pengertian “gangguan lainnya” dalam Pasal 121 ayat (1) UU Pilkada tidak boleh diartikan selain daripada keadaan yang sudah diatur dalam pasal 122 ayat (1) UU Pilkada termasuk proses dan tata cara pelaksanaannya kembali sebagai pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Penetapan penundaan pada pasal 122 ayat (1) UU Pilkada penekanannya hanya pada suatu keadaan yang menimbulkan gangguan teknis pelaksanaan pilkada.
Menurut Pemohon, penundaan yang didasarkan karena hanya ada satu pasangan calon, bukan termasuk dalam jenis gangguan yang dapat menyebabkan penundaan pelaksanaan pemilihan. Sangat tidak tepat jika kemudian penundaan penyelenggaraan pemilihan disebabkan “ganguan lainnya” itu dengan alasan peserta pemilihan kurang dari dua pasangan calon. Sementara substansi aturan dalam proses pendaftaran calon peserta pemilihan sesuai UU Pilkada tegas hanya mengatur tentang penundaan waktu pendaftaran pasangan calon bukan penundaan yang membatalkan penyelenggaraan pemilihan secara keseluruhan. Sebab jika penundaan penyelenggaraan itu terjadi, maka jelas sekali penerapan aturan itu berpotensi menimbulkan kerugian yang akan dialami oleh partai politik, pasangan calon dan rakyat di suatu wilayah pemilihan, serta merupakan pembentukan norma baru yang bukan merupakan kewenangan KPU selaku Penyelenggara Pemilu.
Oleh karena itu, KPU selaku penyelenggara pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tidak boleh melakukan penundaan. KPU harus melanjutkan tahapan pemilihan meskipun hanya ada satu pasangan calon peserta pemilihan.
Para Pemohon sangat berharap agar penyelenggaraan pilkada tetap dilaksanakan serentak 9 Desember 2015, meskipun hanya ada satu pasangan calon, sehingga tidak ada daerah yang ditunda pelaksanaannya 2017. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “paling sedikit 2 (dua) pasangan calon” dalam Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Menyatakan frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 121 Ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai jika diakibatkan hanya ada satu Pasangan Calon. Kemudian menyatakan Pasal 122 Ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai jika diakibatkan hanya ada 1 satu Pasangan Calon.
Selain itu, meminta MK agar memerintahkan KPU selaku penyelenggara pemilihan untuk mencabut penetapan penundaan pemilihan. KPU harus tetap melanjutkan tahapan pemilihan gubernur, bupati dan walikota secara serentak pada bulan Desember 2015.

Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik “Catatan Perkara” Majalah Konstitusi No. 103 – September 2015
readmore »»  

Pilkada Serentak

Hiruk pikuk tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) membuat suhu politik di daerah mulai gerah. Sebanyak 266 daerah akan mengikuti pilkada serentak nasional gelombang pertama pada 9 Desember 2015.
Pilkada secara langsung oleh rakyat pertama kali digelar pada pertengahan 2005. Sejarah mencatat Pilkada pertama kali diselenggarakan bulan Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara. Selama satu dasawarsa, pilkada digelar pada waktu berbeda untuk tiap daerah. Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari penyelenggaraan pilkada tidak serentak selama ini.
Pilkada serentak secara nasional membuka sejarah baru praktik ketatanegaraan di Indonesia. Perhelatan pilkada serentak diharapkan dapat mewujudkan akuntabilitas dan efisiensi demokrasi. Anggaran untuk penyelenggaraan dapat lebih dihemat. Kemudian, pilkada serentak menghindari terjadinya kecurangan-kecurangan seperti mobilisasi massa dari daerah lain, dan menghindari gesekan-gesekan horizontal di masyarakat. Meskipun demikian, tidak ada jaminan bahwa Pilkada serentak terbebas dari konflik dan chaos.
Intinya, apapun pilihan model yang dipakai, baik serentak atau tidak serentak, semua berpulang kepada para pihak yang terlibat di dalamnya, yakni peserta pilkada dan pendukungnya, dan penyelenggara (KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota). Peran para stakeholders inilah yang sangat menentukan bagaimana kualitas penyelenggaraan seluruh tahapan pilkada serentak. Masing-masing harus bertindak demokratis, free and fair, serta jujur dan adil.
Tiada gading yang tak retak. Sebaik apapun sistem yang dibangun, selalu saja terdapat titik lemah di dalamnya. Terlebih lagi pilkada langsung yang digelar secara serentak nasional ini merupakan hal baru yang secara praksis belum memiliki rujukan. Adanya titik lemah dalam peraturan perundang-undangan akan memicu aksi dan reaksi, terutama dari pihak yang potensial dirugikan. Maka tak heran jika dalam beberapa bulan ini Mahkamah Konstitusi menguji dan memutus ketentuan dalam UU Pilkada. Misalnya ketentuan mengenai politik dinasti yang jelas-jelas mengebiri hak asasi manusia karena menghalangi calon dari keluarga petahana. Kemudian mengenai calon tunggal dan syarat calon perseorangan, yang hingga detik ini masih dalam proses di persidangan MK.
Penyelenggaraan pilkada dalam satu dasawarsa ini, banyak menuai sengketa. Semula, penanganan sengketa Pilkada merupakan ranah Mahkamah Agung (MA). Seiring perjalanan waktu, terjadi beberapa perubahan dalam ketentuan UU yang mengamanatkan sengketa pilkada ditangani MK.
Perkara sengketa pilkada bukan lagi menjadi ranah kewenangan MK sejak keluarnya Putusan MK Nomor 97/ PUU-XI/2013. Terlebih lagi sejak berlakunya UU No. 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) yang mengamanatkan pembentukan badan peradilan khusus yang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pilkada. Namun karena badan peradilan khusus tersebut belum terbentuk, maka perselisihan hasil pilkada masih tetap diperiksa dan diadili MK.
Perkara sengketa pilkada serentak akan mengalir ke MK dengan debit perkara yang tentu saja berbeda dengan pilkada sebelumnya yang digelar tidak serentak. Pasca KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan hasil suara pilkada hingga batas waktu 3x24 jam, debit perkara pilkada akan bermuara ke MK. Kemudian tenggang waktu 45 hari bukanlah waktu yang cukup luang untuk menyelesaikan sengketa pilkada secara bersamaan. Niscaya MK harus ekstra siaga untuk memenuhi segala kebutuhan terkait penanganan sengketa.
Kiprah MK menangani sengketa pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada selama ini sudah tidak diragukan lagi. Meski demikian, setitik noda pernah mengotori lembaga ini, yakni, tertangkapnya mantan Ketua MK M. Akil Mochtar oleh KPK dalam kasus sengketa pilkada. Kasus Akil menjadi peringatan bagi siapapun yang bermain-main dengan perkara. Apalagi perkara sengketa pilkada yang mempersoalkan selisih suara.

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik Editorial Majalah “Konstitusi” No. 103 September 2015, hal. 3
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More