Sabtu, 15 Maret 2014

Meretas Konstitusionalitas UU Ormas

Definisi Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sebagai organisasi yang yang bersifat nirlaba, merupakan definisi yang absurd. Sebab, dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) justru memperbolehkan pendirian badan usaha Ormas. Ketentuan yang bertentangan satu sama lain ini tidak memberikan kepastian hukum dan merugikan kepentingan kontitusional sejumlah Ormas, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Demikian dalil permohonan uji materi UU Ormas yang diajukan oleh PP Muhammadiyah.

Rancangan UU Ormas disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa 2 Juli 2013 lalu. Belum seumur jagung, UU Ormas menuai kritik dari Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Ormas Islam tertua di Indonesia ini berdalil, lahirnya UU Ormas justru mengekang kebebasan untuk berserikat dan berkumpul. Merasa dirugikan, PP Muhammadiyah mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengujikan sejumlah ketentuan pasal dalam UU Ormas.
Selain PP Muhammadiyah, permohonan uji materi UU Ormas juga diajukan Yayasan FITRA Sumatera Utara, Indonesia Corruption Watch (ICW), dkk. Permohonan Yayasan FITRA Sumatera Utara dkk diregistrasi dengan Nomor 3/PUU-XII/2014.

Definisi Absurd
Definisi Ormas dalam Pasal 1 angka 1 UU Ormas menyebutkan bahwa Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Pasal 4 UU Ormas juga menerangkan bahwa Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis. Selain itu, Pasal 5 UU Ormas secara tegas memaksa Ormas untuk secara kumulatif bertujuan antara lain yaitu untuk menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut PP Muhammadiyah, definisi Ormas sebagai organisasi yang yang bersifat nirlaba, merupakan definisi yang absurd. Sebab, dalam Pasal 39 UU Ormas justru memperbolehkan pendirian badan usaha Ormas. Hal ini jelas ketentuan yang bertentangan satu sama lain yang pada akhirnya tidak memberikan kepastian hukum dan merugikan kepentingan kontitusional PP Muhammadiyah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Pasal-pasal a quo jelas menggunakan definisi yang absurd,” kata Kuasa Hukum PP Muhammadiyah, Iwan Satriawan, dalam sidang pendahuluan di MK, Kamis (10/20/2013) lalu.
PP Muhammadiyah mensinyalir adanya upaya pembentuk UU untuk “ikut campur” yang terlalu berlebihan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Ormas yang menyatakan, “(1) Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota Ormas. (2) Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.” Kemudian Pasal 34 ayat (2) UU Ormas menyatakan, “Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama.”
PP Muhammadiyah juga berdalil bahwa kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban keuangan bagi Ormas yang menghimpun dan mengelola dana dari iuran anggota, sebagaimana ketentuan Pasal 38 UU Ormas, merupakan ketentuan yang mengada-ngada dan mereduksi makna Pasal 28Eayat (3) UUD 1945. Sangat tidak relevan apabila UU menentukan bahwa Ormas yang mengelola keuangan iuran anggota diwajibkan membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi. Hal ini tidak perlu diatur dalam UU. “Dikarenakan proses pertanggungjawaban dalam hal apa pun yang dilakukan oleh ormas merupakan hak prerogatif ormas itu sendiri,” lanjut Iwan Satriawan.

Bangkitkan Ormas “Plat Merah”
Kemudian mengenai pemberdayaan terhadap Ormas oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pemda), sebagaimana ketentuan Pasal 40 UU Ormas, berpotensi menimbulkan tindakan korup yang dilakukan atas nama pemberdayaan Ormas. Pembinaan Ormas juga potensial membawa kepentingan terselubung bagi Pemerintah dan/atau Pemda untuk membangkitkan kembali “ormas plat merah” sebagaimana yang dulu besar pada masa Orde Baru melalui ketentuan-ketentuan yang serupa.
Ihwal larangan menerima atau memberikan sumbangan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf a UU Ormas. Ketentuan ini multitafsir dan sesungguhnya telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5. Multitafsir dikarenakan di satu sisi perbuatan yang demikian itu merupakan tindak pidana dan di sisi lain hanya bersifat pelarangan yang justru akan membingungkan.

Tidak Komersial
Segala argumentasi dan dalil yang disampaikan PP Muhammaddiyah tersebut dibantah oleh para penyusun UU Ormas.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 4 dan Pasal 5 UU Ormas yang diujikan oleh PP Muhammadiyah, tidaklah saling bertentangan dan bukan merupakan pembatasan perkembangan Ormas. Sebaliknya, rumusan tersebut bertujuan agar Ormas mandiri dalam hal menghidupi organisasinya. Selain itu, mendorong agar Ormas menjadi badan hukum. “Karena yang dapat mendirikan badan usaha adalah ormas yang berbadan hukum, perkumpulan, atau yayasan,” kata Anggota Komisi III DPR Ruhut Poltak Sitompul dalam persidangan di MK, Kamis (7/11/2013) lalu.
Menurut DPR, Ormas tidak dapat digunakan sebagai wadah usaha dan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung, tapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain di mana Ormas dapat menyertakan kekayaannya. Hal ini berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas. Tujuan filosofis pendirian Ormas adalah tidak bersifat komersial. Sedangkan untuk menjaga keberlangsungan dan kemandirian Ormas, maka Ormas dapat mendirikan badan usaha. “Hasil keuntungan yang diperoleh dari badan usaha, Ormas tersebut dapat digunakan untuk membayar operasional Ormas secara berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan agar ormas tidak hanya menanti uluran bantuan dari Pemerintah atau pihak lain, baik dalam maupun luar negeri untuk membiayai operasional Ormas.
Badan usaha yang didirikan oleh Ormas pun harus sesuai peraturan perundang-undangan. Misalnya, ormas berbadan hukum yayasan mendirikan badan usaha pendidikan sekolah atau perguruan tinggi, harus mematuhi aturan bidang pendidikan. Begitu pula Ormas berbadan hukum kerumahsakitan, harus sesuai aturan bidang kesehatan.
Ormas yang memiliki sumber pendanaan tetap secara mandiri, akan meningkatkan independensi dan mencegah ketergantungan Ormas pada sumber pendanaan dari pihak lain, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ormas tidak tergoda untuk melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum untuk sekadar mencari biaya guna membiayai operasional organisasinya, atau sebagai upaya ormas untuk bertahan hidup. “Oleh karena itu, DPR berpendapat bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 39 UU Ormas, tidaklah saling bertentangan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” bantah Ruhut.
Menanggapi absurditas definisi Ormas sebagaimana didalilkan PP Muhammadiyah, DPR menyatakan UU Ormas telah memberikan solusi untuk mengenali berbagai terminologi tersebut dengan Ormas yang dapat menaungi keseluruhan terminologi dengan yayasan dan perkumpulan sesuai bentuk badan hukumnya, serta memberikan perlindungan hukum dan pengaturan. Masyarakat bebas untuk berserikat dengan berdasarkan enam pilar dasar yaitu kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan sesuai Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Ormas. “Jadi, apa pun organisasi yang didirikan, advokat, notaris, wartawan, hobi, keagamaan, dan lain-lain, pada dasarnya didirikan berdasarkan lingkup enam pilar dasar tersebut,” terang Ruhut.
Dalam perspektif hukum dikenal dua jenis peraturan organisasi, yaitu nonmembership organization (organisasi tanpa anggota), dan membership based organization (organisasi berdasarkan keanggotaan). Sedangkan untuk badan hukumnya, Indonesia mengenal dua jenis badan hukum yang khusus untuk bidang kegiatan sosial yaitu yayasan (stichting) dan perkumpulan (vergadering). Adapun perbedaan yayasan dan perkumpulan yaitu, yayasan adalah sekumpulan kekayaan yang disisihkan untuk tujuan sosial, sedangkan perkumpulan adalah sekumpulan orang yang berkumpul untuk tujuan sosial. “Untuk badan hukum yayasan, diatur melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Sedangkan perkumpulan, dulu diatur dalam Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum, dan saat ini sudah diatur di dalam undang-undang a quo,” ungkap Ruhut.

Rumpun Ormas
Sejarah mencatat keberadaan Ormas adalah sebagai salah satu wadah dalam upaya pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ormas-ormas tersebut antara lain adalah Budi Utomo, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas yang lain yang lahir dan didirikan sebelum NKRI berdiri. “Ormas telah menorehkan suatu upaya warga negara Indonesia yang punya nilai tinggi serta merupakan aset bangsa yang penting bagi perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mualimin Abdi, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis (7/11/2013) lalu.
Saat ini, terang Mualimin, jumlah Ormas yang terdaftar pada Pemerintah dan Pemda sebanyak 139.957 ormas. Rinciannya adalah, terdaftar di Kemenkumham sebagai Ormas yang berbadan hukum berjumlah 48.000 ormas. Terdaftar sebagai organisasi sosial pada Kemensos sejumlah 25.406 ormas. Kemudian yang terdaftar di Kemenlu 108 Ormas. Dan yang terdaftar di Kemendagri berjumlah 65.577. “Dengan jumlah Ormas yang terdaftar sedemikian besar, maka menurut Pemerintah perlu pengaturan, perlu penataan, dan perlu pemberdayaan agar ormas-ormas tersebut bersama-sama pemerintah dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan negara sebagaimana diamanatkan di dalam konstitusi kita,” dalil Mualimin.
Menurut pemerintah, UU Ormas diperlukan untuk melindungi hak asasi warga negara, baik secara individu maupun secara kolektif, termasuk dalam hal berserikat dan berkumpul. Pemerintah menegaskan bahwa UU Ormas tidak dalam rangka membelenggu, menggangu, atau membatasi hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul. UU Ormas juga tidak bersifat represif karena Pemerintah dan Pemda tidak mempunyai kewenangan yang subjektif untuk membubarkan ormas yang telah berdiri. Sebab keputusan membubarkan Ormas, terutama Ormas yang telah berbadan hukum, harus melalui putusan lembaga yudikatif, sebagaimana diatur di dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (1) UU Ormas.
“Kewenangan subjektif Pemerintah tidak dapat digunakan secara sewenang-wenang karena harus dikonfirmasi oleh lembaga yudikatif,” jelas Mualimin.
Mualimin kemudian menjelaskan ihwal pendirian Ormas berdasarkan aspek keagamaan, yang tidak menjadi dasar kesamaan dalam definisi, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 1 UU Ormas. Menurut pemerintah, hal demikian bukan berarti masyarakat tidak dapat mendirikan Ormas yang memiliki bidang kegiatan keagamaan. Sebab, aspek kesamaan aspirasi, kesamaan kehendak, kesamaan kebutuhan, kesamaan kepentingan, kesamaan kegiatan, dan kesamaan tujuan, secara eksplisit bermakna mengakomodasi organisasi-organisasi yang berlatar belakang agama. Lembaga swadaya masyarakat, NGO, OMS, Orsos, NPO, OKP, dan lain-lain, termasuk rumpun organisasi kemasyarakatan. Meskipun jenis-jenis organisasi tersebut memiliki sifat-sifat yang khas, tetapi memiliki unsur, ciri, sifat, wujud dan bentuk yang termasuk dalam kategori organisasi kemasyarakatan.
Selanjutnya mengenai kategori Ormas sebagai organisasi yang bersifat nirlaba, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 5 UU Ormas, bukanlah dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak aspirasi, kebutuhan, kepentingan, dan partisipasi Ormas dalam memajukan organisasinya. “Akan tetapi lebih kepada bentuk kontrol dan apresiasi Pemerintah terhadap dinamika perkembangan Ormas yang semakin kompleks,” lanjut Mualimin.
Ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Ormas, sama sekali tidak mengurangi hak Ormas untuk mempertanggungjawabkan iuran anggota berdasarkan AD/ART masing-masing Ormas. Adapun kewajiban mempertanggungjawabkan iuran anggota sesuai dengan standar akuntansi umum, tetap dalam koridor sesuai dengan AD/ART masing-masing Ormas dalam rangka mendorong akuntabilitas tata kelola keuangan secara internal, guna mencegah terjadinya maladministrasi maupun unprofessional.
Mengenai lingkup UU Ormas yang dianggap membatasi ruang gerak Ormas, menurut Pemerintah, pengaturan tentang ruang lingkup Ormas, yang terdiri dari lingkup kabupaten, lingkup provinsi, dan lingkup nasional adalah terkait erat dengan teritori keberadaan Ormas itu sendiri. Justru UU Ormas memberikan kemudahan seluas-luasnya kepada Ormas untuk dapat melakukan kegiatan di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan Ormas dapat membentuk cabang di luar negeri sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UU Ormas. “Dengan perkataan lain, kategorisasi ruang lingkup Ormas di dalam rangka untuk membatasi aktivitas, pengembangan, dan keberadaan Ormas itu sendiri,” bebernya.
Pemerintah menegaskan pengaturan dalam UU Ormas disarikan dan diharmonisasikan dengan peraturan lain sehingga tidak terjadi benturan. UU Ormas telah harmonis dan sejalan dengan amanat konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lain misalnya KUHP, KUHAP, KUH Perdata, UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU TPPU, UU Anti Terorisme, UU Haki, UU Polri. UU Ormas pada intinya memberikan pilihan kepada masyarakat yang akan mendirikan Ormas, baik ormas yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Pemerintah berketetapan bahwa UU Ormas telah sejalan dengan amanat konstitusi. Oleh karena itu, menurut Pemerintah, materi pasal dalam UU Ormas yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Nur RosihinAna

Eryanto Nugroho
Pembentukan UU Ormas Tidak Taat Asas

Proses pembentukan UU Ormas tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik karena banyaknya penolakan dari pemangku kepentingan. Berbagai organisasi dari organisasi keagamaan, perwakilan buruh, organisasi masyarakat sipil, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan sikap penolakan terhadap pengesahan RUU Ormas. “Saya memandang bahwa pembentukan Undang-Undang Ormas menjadi tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,” kata Eryanto Nugroho, ahli yang dihadirkan oleh PP Muhammadiyah, dalam persidangan di MK, Rabu (20/11/2013) lalu.
Muhammadiyah, perkumpulan yang berdiri sejak 1912 dengan pengikut kurang lebih 15.000.000, tegas menolak lahirnya UU Ormas. Sedangkan Nahdlatul Ulama, perkumpulan yang memiliki kurang lebih 40 juta pengikut, menyatakan tidak menolak, tapi memberikan catatan kritis. Ada enam poin resmi dari PBNU yang disampaikan. Pada pokoknya PBNU menghargai rumusan baru, tapi mengkritisi soal definisi Ormas yang dianggap menggeneralisasi dan tidak membedakan antara yayasan, perkumpulan, dan organisasi kemasyarakatan. PBNU meminta DPR untuk menunda pengesahan RUU Ormas untuk menghidari berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya.
Pasal 10 dan Pasal 11 UU Ormas terkesan mencampuradukan pengertian Ormas yang dapat berbadan hukum dan dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan. Masuknya yayasan dalam pengertian Ormas dapat menimbulkan kerancuan di tingkat praktik yang berdampak besar. Padahal, badan hukum yayasan digunakan oleh rumah sakit, kampus, dan berbagai jenis lembaga sosial lain. “Undang-Undang Ormas justru akan menimbulkan kerancuan terhadap ini. Apakah kemudian rumah sakit itu jadi Ormas? Apakah kemudian panti asuhan itu ormas yang berbentuk yayasan? Apakah kampus yang juga berbentuk yayasan itu ormas? Undang-Undang Ormas tidak bilang begitu, tapi juga tidak bilang tidak, dan ini akan menimbulkan kerancuan,” ungkap Eryanto.

Margarito Kamis
Konstitusi Benarkan Pengaturan Kebebasan Berserikat

Apakah secara konstitusional pengaturan terhadap kebebasan berserikat, berkumpul itu tidak dibenarkan dalam konstitusi? “Menurut saya dibenarkan,” kata Margarito Kamis selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (28/1/2014).
Kebebasan tidak akan dapat ditunaikan secara beradab bila tidak diatur. Namun, jika pengaturan dimaksudkan sebagai bentuk intervensi, maka pengaturannya dikatakan salah secara konstitusional.
Ormas yang memungut iuran dari anggota, menerima bantuan hibah atau apa pun dari individu-individu nonanggota, maka wajib membuat pertanggungjawaban. Kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban adalah senafas dengan spirit konstitusi pertanggungjawaban. “Pada titik itu saya berpendapat bahwa kewajiban untuk mempertanggungjawaban penggunaan dana dan lain-lain, tidak ada yang salah. Secara konstitusi tidak ada pertentangan sama sekali,” tegas Margarito.

Meutiha Ganie Rochman
OMS Berbeda dengan Ormas
Organisasi masyarakat sipil (OMS) tidak sama dengan ormas. OMS mencakup pengertian organisasi yang sangat luas dan memiliki peran yang sangat penting bagi demokrasi. “Sementara Ormas memiliki pengertian sempit secara sejarah dan politis dengan supervisi dari Direktorat Jenderal Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri,” kata Meutiha Ganie Rochman saat dihadirkan sebagai ahli oleh Yayasan FITRA Sumatera Utara dkk, dalam persidangan di MK, Selasa (11/2/2014).
Berlakunya UU Ormas berpotensi mempersempi pengertian organisasi masyarakat sipil (OMS) ke dalam Ormas. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kapasitas dan orientasi negara dalam memimpin, mengatur, dan mengembangkan sumber daya publik dengan baik. Negara dalam berinteraksi dengan Ormas, setidaknya empat macam hubungan dan peran yang mampu ia jalankan. Yaitu hubungan pengaturan untuk mengatur supaya tidak terjadi hal-hal negatif, hubungan fasilitasi, kemitraan, dan promosi atau endorsi.

Surya Tjandra
Definisi yang Rancu dan Politis
Sejak awal kelahirannya hingga kini, Ormas dipandang bukanlah melulu sebagai suatu badan hukum, melainkan lebih bersifat politis. Sebab bentuk ormas dinilai lahir dengan pertimbangan politis, bukan pertimbangan hukum. “Dalam UU Ormas, yang menjadi subjek di dalam permohonan uji materi ini, bahkan pengertian Ormas menjadi semakin rancu dan politis. Bentuk ormas ditempatkan secara superior di dalam posisi di atas yang meliputi organisasi berbadan hukum dan organisasi tidak berbadan hukum,” kata Surya Tjandra saat dihadirkan sebagai ahli oleh Yayasan FITRA Sumatera Utara dkk, dalam persidangan di MK, Selasa (11/2/2014).
UU Ormas melihat bahwa seluruh dan semua jenis organisasi yang bergerak di bidang sosial adalah Ormas. Secara praktik, hal ini punya dampak politik karena dengan diartikan sebagai Ormas, maka negara perlu melakukan pembinaan yang dilaksanakan oleh Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). “Melalui Undang-Undang Ormas, pendekatan politik menjadi lebih dikedepankan daripada pendekatan hukum dan ini jelas berbahaya bagi demokrasi yang menjamin partisipasi masyarakat di dalam kehidupan bernegara,” jelasnya.

Sri Budi Eko Wardani
Logika Orba
Geliat forum-forum warga yang bertujuan merespons kebijakan kepala desa atau lurah, merupakan fora baru OMS yang perlu diapresiasi sebagai bentuk nyata kebebasan berkumpul dan berpendapat. Pengorganisasian masyarakat hingga tingkat desa dalam upaya menghadirkan kepentingan mereka adalah bukti perluasan partisipasi politik pada era demokratisasi dewasa ini.
OMS tidak selalu terlembaga, dalam arti memiliki struktur organisasi formal, berjenjang, dan memiliki AD/ART. “Pembuat kebijakan tampaknya kurang memahami kemajemukan dan keunikan OMS yang berbasis pada kebutuhan yang disesuaikan dengan konteksnya,” kata Sri Budi Eko Wardani saat dihadirkan sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di MK, Selasa (27/2/2014).
Selain soal kemajemukan, hal lain yang terlupakan dan perlu digarisbawahi bahwa OMS sebetulnya juga memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri yang harus dihargai dan tidak boleh diintervensi oleh Pemerintah. Dalam relasi kuasa dengan negara yang sudah pasti timpang, OMS perlu ruang otonomi untuk untuk bisa hidup dan kemudian bisa memberikan kontribusinya. “Menurut pendapat saya, UU Ormas ini sangat beralasan untuk dicabut sepenuhnya. Pembuat kebijakan masih menggunakan logika atau cara pandang ormas dari masa Orde Baru dan sangat tidak tepat digunakan lagi pada era demokratisasi saat ini,” tandasnya.

Wawan Purwanto
Kalau Bersih, Kenapa Harus Risih?
Keberadaan UU Ormas sangat diperlukan guna menata dan memperkuat, serta mengelola wilayah kedaulatan hukum NKRI. Sebagai pembanding, di negara lain juga ada pengaturan tentang Ormas. Misalnya di Australia dengan Extension of Charitable Purpose Act tahun 2004, kemudian di Inggris ada Charities Act tahun 2011, di Amerika dengan Internal Revenue Code, kemudian di India dengan The Societies Registration Act tahun 1860. Oleh sebab itu, perlu pengawasan yang baik, sebagaimana juga Ormas mengawasi pemerintah. “Kalau bersih, mengapa harus risih?” kata Wawan Purwanto selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis (9/1/2014).
Dalam era reformasi, Ormas menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Demikian halnya negara pun menghendaki adanya transparansi dan akuntabilitas terhadap Ormas, termasuk sumber-sumber keuangannya dan penggunaannya.
Kejadian Arab Spring merupakan akibat dari infiltrasi Ormas asing yang berkolaborasi dengan Ormas dalam negeri di negara-negara Timur Tengah yang tanpa control, yang akhirnya meruntuhkan sistem ketatanegaraan. Demikian juga kejadian di Uni Soviet, sekitar 230 Ormas asing masuk melakukan gerakan infiltrasi bersama-sama dengan Ormas di dalam negeri, dan akhirnya Uni Soviet roboh. “NKRI harus tetap berdiri dan tidak roboh. Sebab, sudah ada upaya-upaya Balkanisasi di Indonesia. Demokrasi tetap harus berpegang pada aturan, meskipun kita boleh memiliki kebebasan, dan kesetaraan. Jadi, aturan tetap menjadi satu pegangan bersama,” kata Wawan mengingatkan.

Zudan Arif Fakrullah
Ormas Anarkis Perlu Diatur
Setiap UU dibentuk untuk menyelesaikan masalah tertentu dan menjawab kebutuhan pengaturan pada masa yang akan datang. “Saat ini banyak sekali Ormas yang bertindak secara anarkis, ikut serta di dalam penegakan hukum, dan banyak merugikan kepentingan umum. Hal-hal yang bersifat sanksi tegas seperti untuk mengantisipasi hal-hal itu, belum ada di dalam UU Ormas yang lama, maka kebutuhan mengatur menjadi sangat penting di dalam undang-undang ini,” kata Zudan Arif Fakrullah selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis (9/1/2014).
UU Ormas dibentuk sebagai sarana untuk mewujudkan pilihan kebijakan yang sudah dipilih dengan mengacu pada keseimbangan hukum. Yaitu keseimbangan antara nilai kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan sosial, serta sesuai dengan konstitusi negara. UU Ormas secara sengaja didesain agar mampu menjamin keseimbangan antara Ormas dengan seluruh lingkungan yang terkait, sehingga nilai-nilai kepastian hukum, nilai-nilai keadilan, dan nilai-nilai kemanfaatan sosial dapat dirasakan oleh seluruh warga negara. “Tidak hanya oleh Ormas belaka,” lanjutnya.
Pasal-pasal dalam UU Ormas yang diujikan, tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, pembentuk UU tidak melampaui kewenangannya, atau tidak melakukan ultra vires. Kemudian, pilihan-pilihan kebijakan yang diambil tidak bersifat semena-mena dan sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan atau tidak ada penyalahgunaan diskresi (non abuse of discretionary powers). Sebab lainnya yaitu tidak ada kekeliruan faktual. “Terakhir, pembatasan-pembatasan yang didesain dalam Undang-Undang a quo oleh pemerintah, dilakukan seoptimal mungkin dengan tidak bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2),” pungkas Zudan.

Nur RosihinAna
Majalah Konstitusi Edisi Maret 2014, hal. 21-27 

Baca juga:

PP Muhammadiyah Kupas Absurditas UU Ormas



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More