Definisi
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sebagai organisasi yang yang bersifat
nirlaba, merupakan definisi yang absurd. Sebab, dalam Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) justru
memperbolehkan pendirian badan usaha Ormas. Ketentuan yang bertentangan satu
sama lain ini tidak memberikan kepastian hukum dan merugikan kepentingan
kontitusional sejumlah Ormas, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Demikian dalil permohonan uji materi UU Ormas yang diajukan oleh PP
Muhammadiyah.
Rancangan
UU Ormas disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa 2 Juli 2013
lalu. Belum seumur jagung, UU Ormas menuai kritik dari Pimpinan Pusat
Persyarikatan Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Ormas Islam tertua di Indonesia
ini berdalil, lahirnya UU Ormas justru mengekang kebebasan untuk berserikat dan
berkumpul. Merasa dirugikan, PP Muhammadiyah mengadu ke Mahkamah Konstitusi
(MK) untuk mengujikan sejumlah ketentuan pasal dalam UU Ormas.
Selain
PP Muhammadiyah, permohonan uji materi UU Ormas juga diajukan Yayasan FITRA
Sumatera Utara, Indonesia Corruption Watch (ICW), dkk. Permohonan Yayasan FITRA
Sumatera Utara dkk diregistrasi dengan Nomor 3/PUU-XII/2014.
Definisi
Absurd
Definisi
Ormas dalam Pasal 1 angka 1 UU Ormas menyebutkan bahwa Ormas adalah organisasi
yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan
kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan
Pancasila. Pasal 4 UU Ormas juga menerangkan bahwa Ormas bersifat sukarela,
sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis. Selain itu, Pasal 5 UU Ormas secara
tegas memaksa Ormas untuk secara kumulatif bertujuan antara lain yaitu untuk
menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut
PP Muhammadiyah, definisi Ormas sebagai organisasi yang yang bersifat nirlaba,
merupakan definisi yang absurd. Sebab, dalam Pasal 39 UU Ormas justru
memperbolehkan pendirian badan usaha Ormas. Hal ini jelas ketentuan yang
bertentangan satu sama lain yang pada akhirnya tidak memberikan kepastian hukum
dan merugikan kepentingan kontitusional PP Muhammadiyah sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Pasal-pasal a quo jelas menggunakan
definisi yang absurd,” kata Kuasa Hukum PP Muhammadiyah, Iwan Satriawan, dalam
sidang pendahuluan di MK, Kamis (10/20/2013) lalu.
PP
Muhammadiyah mensinyalir adanya upaya pembentuk UU untuk “ikut campur” yang
terlalu berlebihan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Hal ini
tercermin dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Ormas yang menyatakan,
“(1) Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota Ormas. (2)
Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.” Kemudian Pasal 34 ayat (2) UU
Ormas menyatakan, “Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama.”
PP
Muhammadiyah juga berdalil bahwa kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban
keuangan bagi Ormas yang menghimpun dan mengelola dana dari iuran anggota,
sebagaimana ketentuan Pasal 38 UU Ormas, merupakan ketentuan yang mengada-ngada
dan mereduksi makna Pasal 28Eayat (3) UUD 1945. Sangat tidak relevan apabila UU
menentukan bahwa Ormas yang mengelola keuangan iuran anggota diwajibkan membuat
laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi. Hal ini
tidak perlu diatur dalam UU. “Dikarenakan proses pertanggungjawaban dalam hal
apa pun yang dilakukan oleh ormas merupakan hak prerogatif ormas itu sendiri,”
lanjut Iwan Satriawan.
Bangkitkan
Ormas “Plat Merah”
Kemudian
mengenai pemberdayaan terhadap Ormas oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
(Pemda), sebagaimana ketentuan Pasal 40 UU Ormas, berpotensi menimbulkan
tindakan korup yang dilakukan atas nama pemberdayaan Ormas. Pembinaan Ormas
juga potensial membawa kepentingan terselubung bagi Pemerintah dan/atau Pemda
untuk membangkitkan kembali “ormas plat merah” sebagaimana yang dulu besar pada
masa Orde Baru melalui ketentuan-ketentuan yang serupa.
Ihwal
larangan menerima atau memberikan sumbangan yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, sebagaimana ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf a
UU Ormas. Ketentuan ini multitafsir dan sesungguhnya telah diatur dalam UU No.
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
khususnya pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5. Multitafsir dikarenakan di satu sisi
perbuatan yang demikian itu merupakan tindak pidana dan di sisi lain hanya
bersifat pelarangan yang justru akan membingungkan.
Tidak
Komersial
Segala
argumentasi dan dalil yang disampaikan PP Muhammaddiyah tersebut dibantah oleh
para penyusun UU Ormas.
Ketentuan
Pasal 1 angka 1, Pasal 4 dan Pasal 5 UU Ormas yang diujikan oleh PP
Muhammadiyah, tidaklah saling bertentangan dan bukan merupakan pembatasan
perkembangan Ormas. Sebaliknya, rumusan tersebut bertujuan agar Ormas mandiri
dalam hal menghidupi organisasinya. Selain itu, mendorong agar Ormas menjadi
badan hukum. “Karena yang dapat mendirikan badan usaha adalah ormas yang
berbadan hukum, perkumpulan, atau yayasan,” kata Anggota Komisi III DPR Ruhut
Poltak Sitompul dalam persidangan di MK, Kamis (7/11/2013) lalu.
Menurut
DPR, Ormas tidak dapat digunakan sebagai wadah usaha dan tidak dapat melakukan
kegiatan usaha secara langsung, tapi harus melalui badan usaha yang didirikannya
atau melalui badan usaha lain di mana Ormas dapat menyertakan kekayaannya. Hal
ini berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas. Tujuan filosofis
pendirian Ormas adalah tidak bersifat komersial. Sedangkan untuk menjaga
keberlangsungan dan kemandirian Ormas, maka Ormas dapat mendirikan badan usaha.
“Hasil keuntungan yang diperoleh dari badan usaha, Ormas tersebut dapat
digunakan untuk membayar operasional Ormas secara berkelanjutan. Hal ini
dimaksudkan agar ormas tidak hanya menanti uluran bantuan dari Pemerintah atau
pihak lain, baik dalam maupun luar negeri untuk membiayai operasional Ormas.
Badan
usaha yang didirikan oleh Ormas pun harus sesuai peraturan perundang-undangan.
Misalnya, ormas berbadan hukum yayasan mendirikan badan usaha pendidikan
sekolah atau perguruan tinggi, harus mematuhi aturan bidang pendidikan. Begitu
pula Ormas berbadan hukum kerumahsakitan, harus sesuai aturan bidang kesehatan.
Ormas
yang memiliki sumber pendanaan tetap secara mandiri, akan meningkatkan
independensi dan mencegah ketergantungan Ormas pada sumber pendanaan dari pihak
lain, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ormas tidak tergoda untuk
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum untuk sekadar mencari biaya
guna membiayai operasional organisasinya, atau sebagai upaya ormas untuk
bertahan hidup. “Oleh karena itu, DPR berpendapat bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal
4, Pasal 5, dan Pasal 39 UU Ormas, tidaklah saling bertentangan dan tidak
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” bantah Ruhut.
Menanggapi
absurditas definisi Ormas sebagaimana didalilkan PP Muhammadiyah, DPR
menyatakan UU Ormas telah memberikan solusi untuk mengenali berbagai
terminologi tersebut dengan Ormas yang dapat menaungi keseluruhan terminologi
dengan yayasan dan perkumpulan sesuai bentuk badan hukumnya, serta memberikan
perlindungan hukum dan pengaturan. Masyarakat bebas untuk berserikat dengan
berdasarkan enam pilar dasar yaitu kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan sesuai Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Ormas.
“Jadi, apa pun organisasi yang didirikan, advokat, notaris, wartawan, hobi,
keagamaan, dan lain-lain, pada dasarnya didirikan berdasarkan lingkup enam
pilar dasar tersebut,” terang Ruhut.
Dalam
perspektif hukum dikenal dua jenis peraturan organisasi, yaitu nonmembership
organization (organisasi tanpa anggota), dan membership based
organization (organisasi berdasarkan keanggotaan). Sedangkan untuk badan
hukumnya, Indonesia mengenal dua jenis badan hukum yang khusus untuk bidang
kegiatan sosial yaitu yayasan (stichting) dan perkumpulan (vergadering).
Adapun perbedaan yayasan dan perkumpulan yaitu, yayasan adalah sekumpulan
kekayaan yang disisihkan untuk tujuan sosial, sedangkan perkumpulan adalah
sekumpulan orang yang berkumpul untuk tujuan sosial. “Untuk badan hukum
yayasan, diatur melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
Sedangkan perkumpulan, dulu diatur dalam Staatsblad 1870-64 tentang
Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum, dan saat ini sudah diatur di dalam
undang-undang a quo,” ungkap Ruhut.
Rumpun
Ormas
Sejarah
mencatat keberadaan Ormas adalah sebagai salah satu wadah dalam upaya
pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ormas-ormas tersebut antara lain adalah Budi
Utomo, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas yang lain yang lahir dan
didirikan sebelum NKRI berdiri. “Ormas telah menorehkan suatu upaya warga
negara Indonesia yang punya nilai tinggi serta merupakan aset bangsa yang
penting bagi perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia,” kata Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Mualimin Abdi, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam
persidangan di MK, Kamis (7/11/2013) lalu.
Saat
ini, terang Mualimin, jumlah Ormas yang terdaftar pada Pemerintah dan Pemda
sebanyak 139.957 ormas. Rinciannya adalah, terdaftar di Kemenkumham sebagai
Ormas yang berbadan hukum berjumlah 48.000 ormas. Terdaftar sebagai organisasi
sosial pada Kemensos sejumlah 25.406 ormas. Kemudian yang terdaftar di Kemenlu
108 Ormas. Dan yang terdaftar di Kemendagri berjumlah 65.577. “Dengan jumlah
Ormas yang terdaftar sedemikian besar, maka menurut Pemerintah perlu
pengaturan, perlu penataan, dan perlu pemberdayaan agar ormas-ormas tersebut
bersama-sama pemerintah dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan negara
sebagaimana diamanatkan di dalam konstitusi kita,” dalil Mualimin.
Menurut
pemerintah, UU Ormas diperlukan untuk melindungi hak asasi warga negara, baik
secara individu maupun secara kolektif, termasuk dalam hal berserikat dan berkumpul.
Pemerintah menegaskan bahwa UU Ormas tidak dalam rangka membelenggu, menggangu,
atau membatasi hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul. UU Ormas juga
tidak bersifat represif karena Pemerintah dan Pemda tidak mempunyai kewenangan
yang subjektif untuk membubarkan ormas yang telah berdiri. Sebab keputusan
membubarkan Ormas, terutama Ormas yang telah berbadan hukum, harus melalui
putusan lembaga yudikatif, sebagaimana diatur di dalam Pasal 68 ayat (2) dan
Pasal 71 ayat (1) UU Ormas.
“Kewenangan
subjektif Pemerintah tidak dapat digunakan secara sewenang-wenang karena harus
dikonfirmasi oleh lembaga yudikatif,” jelas Mualimin.
Mualimin
kemudian menjelaskan ihwal pendirian Ormas berdasarkan aspek keagamaan, yang
tidak menjadi dasar kesamaan dalam definisi, sebagaimana diatur di dalam Pasal
1 angka 1 UU Ormas. Menurut pemerintah, hal demikian bukan berarti masyarakat
tidak dapat mendirikan Ormas yang memiliki bidang kegiatan keagamaan. Sebab,
aspek kesamaan aspirasi, kesamaan kehendak, kesamaan kebutuhan, kesamaan
kepentingan, kesamaan kegiatan, dan kesamaan tujuan, secara eksplisit bermakna
mengakomodasi organisasi-organisasi yang berlatar belakang agama. Lembaga
swadaya masyarakat, NGO, OMS, Orsos, NPO, OKP, dan lain-lain, termasuk rumpun
organisasi kemasyarakatan. Meskipun jenis-jenis organisasi tersebut memiliki
sifat-sifat yang khas, tetapi memiliki unsur, ciri, sifat, wujud dan bentuk
yang termasuk dalam kategori organisasi kemasyarakatan.
Selanjutnya
mengenai kategori Ormas sebagai organisasi yang bersifat nirlaba, sebagaimana
tercantum di dalam Pasal 5 UU Ormas, bukanlah dimaksudkan untuk membatasi ruang
gerak aspirasi, kebutuhan, kepentingan, dan partisipasi Ormas dalam memajukan
organisasinya. “Akan tetapi lebih kepada bentuk kontrol dan apresiasi
Pemerintah terhadap dinamika perkembangan Ormas yang semakin kompleks,” lanjut
Mualimin.
Ketentuan
Pasal 38 ayat (1) UU Ormas, sama sekali tidak mengurangi hak Ormas untuk
mempertanggungjawabkan iuran anggota berdasarkan AD/ART masing-masing Ormas.
Adapun kewajiban mempertanggungjawabkan iuran anggota sesuai dengan standar
akuntansi umum, tetap dalam koridor sesuai dengan AD/ART masing-masing Ormas
dalam rangka mendorong akuntabilitas tata kelola keuangan secara internal, guna
mencegah terjadinya maladministrasi maupun unprofessional.
Mengenai
lingkup UU Ormas yang dianggap membatasi ruang gerak Ormas, menurut Pemerintah,
pengaturan tentang ruang lingkup Ormas, yang terdiri dari lingkup kabupaten, lingkup
provinsi, dan lingkup nasional adalah terkait erat dengan teritori keberadaan
Ormas itu sendiri. Justru UU Ormas memberikan kemudahan seluas-luasnya kepada
Ormas untuk dapat melakukan kegiatan di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan Ormas
dapat membentuk cabang di luar negeri sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 26
dan Pasal 27 UU Ormas. “Dengan perkataan lain, kategorisasi ruang lingkup Ormas
di dalam rangka untuk membatasi aktivitas, pengembangan, dan keberadaan Ormas
itu sendiri,” bebernya.
Pemerintah
menegaskan pengaturan dalam UU Ormas disarikan dan diharmonisasikan dengan
peraturan lain sehingga tidak terjadi benturan. UU Ormas telah harmonis dan
sejalan dengan amanat konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lain
misalnya KUHP, KUHAP, KUH Perdata, UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik,
UU TPPU, UU Anti Terorisme, UU Haki, UU Polri. UU Ormas pada intinya memberikan
pilihan kepada masyarakat yang akan mendirikan Ormas, baik ormas yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Pemerintah
berketetapan bahwa UU Ormas telah sejalan dengan amanat konstitusi. Oleh karena
itu, menurut Pemerintah, materi pasal dalam UU Ormas yang diajukan oleh PP
Muhammadiyah, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Nur RosihinAna
Eryanto Nugroho
Pembentukan
UU Ormas Tidak Taat Asas
Proses pembentukan UU Ormas
tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik karena
banyaknya penolakan dari pemangku kepentingan. Berbagai organisasi dari
organisasi keagamaan, perwakilan buruh, organisasi masyarakat sipil, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) menyatakan sikap penolakan terhadap pengesahan RUU Ormas. “Saya memandang
bahwa pembentukan Undang-Undang Ormas menjadi tidak memenuhi asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik,” kata Eryanto Nugroho, ahli yang
dihadirkan oleh PP Muhammadiyah, dalam persidangan di MK, Rabu (20/11/2013)
lalu.
Muhammadiyah, perkumpulan yang berdiri sejak 1912 dengan
pengikut kurang lebih 15.000.000, tegas menolak lahirnya UU Ormas. Sedangkan
Nahdlatul Ulama, perkumpulan yang memiliki kurang lebih 40 juta pengikut,
menyatakan tidak menolak, tapi memberikan catatan kritis. Ada enam poin resmi
dari PBNU yang disampaikan. Pada pokoknya PBNU menghargai rumusan baru, tapi
mengkritisi soal definisi Ormas yang dianggap menggeneralisasi dan tidak
membedakan antara yayasan, perkumpulan, dan organisasi kemasyarakatan. PBNU
meminta DPR untuk menunda pengesahan RUU Ormas
untuk menghidari berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya.
Pasal 10 dan Pasal 11 UU Ormas
terkesan mencampuradukan pengertian Ormas
yang dapat berbadan hukum dan dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan.
Masuknya yayasan dalam pengertian Ormas dapat menimbulkan kerancuan di tingkat
praktik yang berdampak besar. Padahal, badan hukum yayasan digunakan oleh rumah
sakit, kampus, dan berbagai jenis lembaga sosial lain. “Undang-Undang Ormas
justru akan menimbulkan kerancuan terhadap ini. Apakah kemudian rumah sakit itu
jadi Ormas? Apakah kemudian
panti asuhan itu ormas yang berbentuk yayasan? Apakah kampus yang juga
berbentuk yayasan itu ormas? Undang-Undang Ormas tidak bilang begitu, tapi juga tidak bilang tidak, dan ini
akan menimbulkan kerancuan,” ungkap Eryanto.
Margarito Kamis
Konstitusi
Benarkan Pengaturan Kebebasan Berserikat
Apakah secara konstitusional pengaturan terhadap kebebasan
berserikat, berkumpul itu tidak dibenarkan dalam konstitusi? “Menurut saya
dibenarkan,” kata Margarito Kamis selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam
persidangan di MK, Selasa (28/1/2014).
Kebebasan tidak akan dapat ditunaikan secara beradab bila tidak
diatur. Namun, jika pengaturan dimaksudkan sebagai bentuk intervensi, maka
pengaturannya dikatakan salah secara konstitusional.
Ormas yang memungut
iuran dari anggota, menerima bantuan hibah atau apa pun dari individu-individu
nonanggota, maka wajib membuat pertanggungjawaban. Kewajiban membuat laporan
pertanggungjawaban adalah senafas dengan spirit konstitusi pertanggungjawaban.
“Pada titik itu saya berpendapat bahwa kewajiban untuk mempertanggungjawaban
penggunaan dana dan lain-lain, tidak ada yang salah. Secara konstitusi tidak
ada pertentangan sama sekali,” tegas Margarito.
Meutiha
Ganie Rochman
OMS Berbeda
dengan Ormas
Organisasi masyarakat sipil (OMS)
tidak sama dengan ormas. OMS mencakup pengertian organisasi yang
sangat luas dan memiliki peran yang sangat penting bagi demokrasi. “Sementara
Ormas memiliki pengertian sempit secara sejarah dan politis dengan supervisi
dari Direktorat Jenderal Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri,” kata Meutiha
Ganie Rochman saat dihadirkan sebagai ahli oleh Yayasan FITRA Sumatera Utara
dkk, dalam persidangan di MK, Selasa (11/2/2014).
Berlakunya UU Ormas berpotensi mempersempi pengertian
organisasi masyarakat sipil (OMS) ke dalam Ormas.
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kapasitas dan orientasi negara
dalam memimpin, mengatur, dan mengembangkan sumber daya publik dengan baik.
Negara dalam berinteraksi dengan Ormas, setidaknya empat macam hubungan dan
peran yang mampu ia jalankan. Yaitu hubungan pengaturan untuk mengatur supaya
tidak terjadi hal-hal negatif, hubungan fasilitasi, kemitraan, dan promosi atau
endorsi.
Surya
Tjandra
Definisi
yang Rancu dan Politis
Sejak awal kelahirannya hingga kini, Ormas
dipandang bukanlah melulu sebagai suatu badan hukum, melainkan lebih bersifat
politis. Sebab bentuk ormas dinilai lahir dengan pertimbangan politis, bukan
pertimbangan hukum. “Dalam UU Ormas, yang menjadi subjek di dalam permohonan
uji materi ini, bahkan pengertian Ormas menjadi semakin rancu dan politis.
Bentuk ormas ditempatkan secara superior di dalam posisi di atas yang meliputi
organisasi berbadan hukum dan organisasi tidak berbadan hukum,” kata Surya
Tjandra saat dihadirkan sebagai ahli oleh Yayasan FITRA Sumatera Utara dkk,
dalam persidangan di MK, Selasa (11/2/2014).
UU Ormas melihat bahwa seluruh dan semua jenis
organisasi yang bergerak di bidang sosial adalah Ormas.
Secara praktik, hal ini punya dampak politik karena dengan diartikan sebagai Ormas,
maka negara perlu melakukan pembinaan yang dilaksanakan oleh Dirjen Kesatuan
Bangsa dan Politik (Kesbangpol). “Melalui Undang-Undang Ormas, pendekatan
politik menjadi lebih dikedepankan daripada pendekatan hukum dan ini jelas
berbahaya bagi demokrasi yang menjamin partisipasi masyarakat di dalam
kehidupan bernegara,” jelasnya.
Sri Budi Eko
Wardani
Logika Orba
Geliat forum-forum warga yang bertujuan merespons
kebijakan kepala desa atau lurah, merupakan fora baru OMS
yang perlu diapresiasi sebagai bentuk nyata kebebasan berkumpul dan
berpendapat. Pengorganisasian masyarakat hingga tingkat desa dalam upaya
menghadirkan kepentingan mereka adalah bukti perluasan partisipasi politik pada
era demokratisasi dewasa ini.
OMS tidak selalu terlembaga, dalam arti memiliki struktur
organisasi formal, berjenjang, dan memiliki AD/ART. “Pembuat kebijakan
tampaknya kurang memahami kemajemukan dan keunikan OMS
yang berbasis pada kebutuhan yang disesuaikan dengan konteksnya,” kata Sri Budi
Eko Wardani saat dihadirkan sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di MK,
Selasa (27/2/2014).
Selain soal kemajemukan, hal lain yang terlupakan dan
perlu digarisbawahi bahwa OMS sebetulnya juga memiliki otonomi untuk
mengatur dirinya sendiri yang harus dihargai dan tidak boleh diintervensi oleh
Pemerintah. Dalam relasi kuasa dengan negara yang sudah pasti timpang, OMS
perlu ruang otonomi untuk untuk bisa hidup dan kemudian bisa memberikan
kontribusinya. “Menurut pendapat saya, UU Ormas ini sangat beralasan untuk
dicabut sepenuhnya. Pembuat kebijakan masih menggunakan logika atau cara
pandang ormas dari masa Orde Baru dan sangat tidak tepat digunakan lagi pada
era demokratisasi saat ini,” tandasnya.
Wawan Purwanto
Kalau
Bersih, Kenapa Harus Risih?
Keberadaan UU Ormas sangat diperlukan guna menata dan
memperkuat, serta mengelola wilayah kedaulatan hukum NKRI. Sebagai pembanding,
di negara lain juga ada pengaturan tentang Ormas. Misalnya di Australia dengan
Extension of Charitable Purpose Act tahun 2004, kemudian di Inggris ada
Charities Act tahun 2011, di Amerika dengan Internal Revenue Code, kemudian di
India dengan The Societies Registration Act tahun 1860. Oleh
sebab itu, perlu pengawasan yang baik, sebagaimana juga Ormas mengawasi
pemerintah. “Kalau bersih, mengapa harus risih?” kata Wawan Purwanto selaku
ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis (9/1/2014).
Dalam era reformasi, Ormas menuntut adanya transparansi dan
akuntabilitas yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Demikian halnya negara
pun menghendaki adanya transparansi dan akuntabilitas terhadap Ormas,
termasuk sumber-sumber keuangannya dan penggunaannya.
Kejadian Arab Spring merupakan akibat dari infiltrasi
Ormas asing yang berkolaborasi dengan Ormas dalam negeri di negara-negara Timur
Tengah yang tanpa control, yang akhirnya meruntuhkan sistem ketatanegaraan.
Demikian juga kejadian di Uni Soviet, sekitar 230 Ormas asing masuk melakukan
gerakan infiltrasi bersama-sama dengan Ormas di dalam negeri, dan akhirnya Uni
Soviet roboh. “NKRI harus tetap berdiri dan tidak roboh. Sebab, sudah ada
upaya-upaya Balkanisasi di Indonesia. Demokrasi tetap harus berpegang pada
aturan, meskipun kita boleh memiliki kebebasan, dan kesetaraan. Jadi, aturan
tetap menjadi satu pegangan bersama,” kata Wawan mengingatkan.
Zudan Arif
Fakrullah
Ormas
Anarkis Perlu Diatur
Setiap UU dibentuk untuk menyelesaikan masalah tertentu
dan menjawab kebutuhan pengaturan pada masa yang akan datang. “Saat ini banyak
sekali Ormas
yang bertindak secara anarkis, ikut serta di dalam penegakan hukum, dan banyak
merugikan kepentingan umum. Hal-hal yang bersifat sanksi tegas seperti untuk
mengantisipasi hal-hal itu, belum ada di dalam UU Ormas
yang lama, maka kebutuhan mengatur menjadi sangat penting di dalam
undang-undang ini,” kata Zudan Arif Fakrullah selaku ahli yang dihadirkan
Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis (9/1/2014).
UU Ormas dibentuk sebagai sarana untuk mewujudkan pilihan
kebijakan yang sudah dipilih dengan mengacu pada keseimbangan hukum. Yaitu
keseimbangan antara nilai kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan sosial,
serta sesuai dengan konstitusi negara. UU Ormas secara sengaja didesain agar
mampu menjamin keseimbangan antara Ormas dengan seluruh lingkungan yang
terkait, sehingga nilai-nilai kepastian hukum, nilai-nilai keadilan, dan
nilai-nilai kemanfaatan sosial dapat dirasakan oleh seluruh warga negara.
“Tidak hanya oleh Ormas belaka,” lanjutnya.
Pasal-pasal dalam UU Ormas
yang diujikan, tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, pembentuk UU tidak
melampaui kewenangannya, atau tidak melakukan ultra vires.
Kemudian, pilihan-pilihan kebijakan yang diambil tidak bersifat semena-mena dan
sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan atau tidak ada penyalahgunaan diskresi (non
abuse of discretionary powers). Sebab lainnya yaitu tidak ada kekeliruan
faktual. “Terakhir, pembatasan-pembatasan yang didesain dalam Undang-Undang a
quo oleh
pemerintah, dilakukan seoptimal mungkin dengan tidak bertentangan dengan Pasal
28J ayat (2),” pungkas Zudan.
Nur RosihinAna
Majalah Konstitusi Edisi Maret 2014, hal. 21-27
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar