Selasa, 15 Oktober 2013

PP Muhammadiyah Kupas Absurditas UU Ormas

Rapat Paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menjadi Undang-Undang, pada Selasa 2 Juli 2013 lalu. Keberadaan UU yang belum seumur jagung ini menuai protes dari Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). PP Muhammadiyah berdalil, kehadiran suatu UU yang berfungsi memberikan pembatasan hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul, telah dikebiri melalui UU Ormas. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul dikekang dengan alasan untuk menciptakan ketertiban yang dibungkus melalui UU yang bersifat represif dan bernuansa birokratis. Hal ini bermakna bahwa UU Ormas tidak memberikan perlindungan bagi segenap bangsa Indonesia.

Demikian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang yang dilayangkan oleh PP Muhammadiyah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Materi UU Ormas yang diujikan PP Muhammadiyah yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), Pasal 57 ayat (2) dan (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a. Ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C Ayat (2), dan Pasal 28Eayat (3) UUD 1945.
Permohonan PP Muhammadiyah diregistrasi oleh Kepaniteraan MKpada 23 September 2013 dengan Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013. Selanjutnya MKmenetapkan susunan panel hakim untuk memeriksa perkara ini. Panel hakim terdiri dari tiga hakim konstitusi, yakni Hamdan Zoelva (ketua panel), Ahmad Fadlil Sumadi, dan Arief Hidayat. Selain itu, menetapkan jadwal sidang pemeriksaan pendahuluan pada Kamis, 10 Oktober 2013

Definisi Ormas dalam Pasal 1 angka 1 UU Ormas menyebutkan bahwa Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Pasal 4 UU Ormas juga menerangkan bahwa Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis. Selain itu, Pasal 5 UU Ormas secara tegas memaksa Ormas untuk secara kumulatif bertujuan antara lain yaitu untuk menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Definisi Ormas sebagai organisasi yang yang bersifat nirlaba, merupakan definisi yang absurd. Sebab, dalam Pasal 39 UU Ormas justru memperbolehkan adanya pendirian badan usaha Ormas. Hal ini jelas ketentuan yang bertentangan satu sama lain yang pada akhirnya tidak memberikan kepastian hukum dan merugikan kepentingan kontitusional PP Muhammadiyah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Absurditas UU Ormas kian tampak nyata ketika dihadapkan antara Pasal 1 dengan Pasal 5. Sebab, bagaimana mungkin menjalankan tujuan Ormas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 huruf c UU Ormas yakni, “menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,…” jika Ormas sendiri hanya didefinisikan sebagai “….organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia…” Ketika aspek kesamaan agama tidak dapat mendasari terbentuknya Ormas, bagaimana mungkin tujuan sebagaimana ditentukan dapat dilaksanakan?

Konstruksi Legislasi Asosiologis

Konstruksi legislasi perumusan norma dalam pasal-pasal tersebut tidak memiliki pijakan sosiologis yang tepat untuk menjabarkan Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Sebab UU Ormas mencakup organisasi berdasarkan minat olahraga, seni/budaya, profesi (advokat, notaris, dokter, wartawan, dll), hobi, keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, sosial, kepemudaan dan sebagainya. Apa pun istilah lain bagi Ormas itu (lembaga swadaya masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan organisasi sosial) semuanya tercakup dalam UU Ormas. Padahal pemilihan sebuah istilah tentu memiliki alasan dan sudut pandang tertentu.

Mendefinisikan masing masing istilah tersebut di atas tanpa tolak ukur yang jelas, maka akan menjadi sebuah kompleksitas tersendiri. Apa yang dimaksud dengan LSM? Apa bedanya dengan Ornop/NGO? Kenapa pula ada yang disebut dengan OMS? Kesimpangsiuran terjadi diakibatkan karena istilah-istilah tersebut (LSM, Ornop/NGO, dll) sesungguhnya adalah istilah-istilah yang berada pada wilayah praktis sehingga pemaknaan maupun perspektif terhadap masing-masing istilah sangat bergantung pandangan para pihak kepada organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, perumusan dan konstruksi legislasi yang menjadikan Ormas seperti “BASKOM” dari kemerdekaan berserikat menjadi ambigu dikarenakan UU Ormas seolah-olah menyeragamkan maskud kebebasan berserikat itu sendiri.

PP Muhammadiyah mensinyalir adanya upaya pembentuk UU untuk “ikut campur” yang terlalu berlebihan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Ormas yang menyatakan, “(1) Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota Ormas. (2) Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.” Kemudian Pasal 34 ayat (2) UU Ormas menyatakan, “Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama.”

Sepatutnya pembentuk UU tidak terlampau jauh mengatur hal-hal yang sesungguhnya menjadi kewenangan absolut Ormas. Tidak semua warga negara Indonesia berhak menjadi anggota suatu ormas apabila terdapat perbedaan yang prinsipil seperti perbedaan agama, perbedaan kehendak, dan atau perbedaan platform pemikiran sehingga mekanisme organisasi yang berhak menentukan apa kriteria tertentu untuk masuk kedalam organisasi tertentu. Oleh karena itu, norma tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

Kemudian mengenai kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban keuangan bagi Ormas yang menghimpun dan mengelola dana dari iuran anggota, sebagaimana ketentuan Pasal 38 UU Ormas, merupakan ketentuan yang mengada-ngada dan mereduksi makna Pasal 28Eayat (3) UUD 1945. Sangat tidak relevan apabila UU menentukan bahwa Ormas yang mengelola keuangan iuran anggota diwajibkan membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi. Hal ini tidak perlu diatur dalam UU. Sebab, proses pertanggungjawaban dalam hal apapun yang dilakukan oleh ormas, merupakan hak prerogatif ormas itu sendiri. Pelaporan berkala yang ditentukan justru mengaburkan makna kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

Selubung Kepentingan

Pemberdayaan terhadap Ormas yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah, sebagaimana ketentuan Pasal 40 UU Ormas, merupakan ketentuan yang berpotensi menimbulkan tindakan korup yang dilakukan atas nama pemberdayaan Ormas. Pembinaan Ormas juga potensial membawa kepentingan terselubung bagi pemerintah dan/atau pemerintah daerah untuk membangkitkan kembali “ormas plat merah” sebagaimana yang dulu besar pada masa Orde Baru melalui ketentuan-ketentuan yang serupa.
Pemerintah juga tidak perlu ikut campur tangan dalam perselisihan internal Ormas. Sengketa Ormas tidak perlu dimasukkan ke dalam jalur hukum (litigasi), kecuali yang berkaitan dengan tindak pidana, ataupun sengketa prestasi yang bersifat privat. Campur tangan Pemerintah dalam ketentuan Pasal 57 UU Ormas jelas-jelas berlebihan.

Ihwal larangan menerima atau memberikan sumbangan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf a UU Ormas. Ketentuan ini multitafsir dan sesungguhnya telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5. Multitafsir dikarenakan di satu sisi perbuatan yang demikian itu merupakan tindak pidana dan di sisi lain hanya bersifat pelarangan yang justru akan membingungkan.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, PP Muhammadiyah meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a UU Ormas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28Eayat (3) UUD 1945, serta tidak berkekuatan hukum mengikat. Atau menjatuhkan putusan alternatif, yaitu menyatakan UU Ormas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28Eayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.

Nur Rosihin Ana

Catatan Perkara, Majalah Konstitusi Edisi Nomor 80 – Oktober 2013
Download majalah di sini 

Edisi e-book klik di sini

Baca juga:

Meretas Konstitusionalitas UU Ormas



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More