Pelayanan kesehatan masyarakat merupakan
kewajiban negara. Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan
layanan kesehatan yang relevan dengan kebutuhan. Konstitusi juga menjamin peran
serta warga negara atau lembaga privat dalam penyelenggaraan layanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh
negara, masih jauh dari harapan masyarakat. Di sisi lain, muncul ikhtiar dari
masyarakat atau lembaga privat untuk berperan serta dalam hal penyelenggaraan
layanan kesehatan. Partisipasi masyarakat atau lembaga privat dalam hal
penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan, selayaknya mendapatkan apresiasi
oleh negara. Sebab, layanan kesehatan oleh masyarakat, lembaga privat, sangat
berperan ikut mendorong program pemerintah dalam hal menigkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
Apresiasi dari negara terhadap masyarakat atau
lembaga privat yang memberikan layanan di bidang kesehatan, misalnya diwujudkan
dalam hal memberikan kemudahan perizinan. Bukan justru mempersulit perizinan,
apalagi mengganjar dengan sanksi pidana.
Kiprah Persyarikatan
Muhammadiyah dalam bidang keagamaan/dakwah dan sosial kemasyarakatan,
pendidikan dan pengajaran serta kesehatan telah berlangsung lama. Sebagai badan
hukum, Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330
Hijriyah bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Miladiyah ini telah
mendirikan berbagai amal usaha dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial,
kesehatan. Amal usaha Muhammadiyah dalam bidang kesehatan, termasuk di dalamnya
kegiatan di bidang rumah sakit, balai pengobatan, tertuang dalam surat
pernyataan Menteri Kesehatan RI No. 155/Yan.Med/Um/1998, tanggal 22 Februari
1988. Saat ini Muhammadiyah memiliki kurang lebih 457
unit usaha rumah sakit, rumah sakit bersalin dan uni kesehatannya lainnya yang
tersebar di provinsi di Indonesia.
Badan Hukum Khusus
Khidmah Muhammadiyah
dalam dalam amal usaha bidang kesehatan menemui hambatan signifikan khususnya mengenai perizinan. Perpanjangan izin operasional unit kesehatan yang diajukan Muhammadiyah, ditolak
oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan
badan yang berkompeten seperti, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Dinas
Tenaga Kerja, Badan Pengendalian Lingkungan (Bapedal), Lembaga Metrologi
Nasional Indonesia, Dinas Pekerjaan Umum, Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK),
dan Dinas Kebakaran. Alasannya, unit kesehatan yang didirikan Muhammadiyah tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat 4 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit (UU RS) yang menyatakan, “Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang
kegiatan usahanya hanya bergerak
di bidang perumahsakitan.”
Muhammadiyah merasakan adanya kerugian
materiil dan imateriil yang diakibatkan tidak adanya pengakuan dan jaminan atas
keberadaan amal usaha RS Muhammadiyah. Selain itu, pembentukan badan khusus
dimaksud memunculkan potensi konflik kepemilikan antara Muhammadiyah dengan
pengelola RS Muhammadiyah yang status hukumnya harus disesuaikan dengan UU
Rumah Sakit. Hal ini tentu sangat menggangu pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Merasa dirugikan, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, dan Ketua Muhammadiyah
Bidang Kesehatan, A. Syafiq Mughni, mengajukan permohonan Judicial
Review atas Ketentuan Pasal 7 ayat (4), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 ayat
(5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 64 ayat (1) UU RS. Din
Syamsudin dan Syafiq Mughni melalui kuasa hukum Syaiful Bakhri dkk, menyatakan ketentuan
pasal-pasal tersebut bertentangan dengan dengan UUD 1945, khususnya Paragraf
Keempat Pembukaan, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal
28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 28I ayat (1),
ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.
Kepaniteraan MK pada Kamis (11/4/2013)
meregistrasi permohonan PP Muhammadiyah dengan Nomor 38/PUU-XI/2013.
Selanjutnya, MK menggelar sidang pendahuluan Kamis (17/4/2013) yang dihadiri oleh A. Syafiq Mughni dan para
Direktur Rumah Sakit Islam Muhammadiyah se-Indonesia, serta didampingi kuasa
hukum Syaiful Bakhri dkk. MK juga mengagendakan pemeriksaan lanjutan dengan agenda perbaikan
permohonan pada persidangan yang digelar pada Selasa (7/4/2013).
Persyarikatan
Muhammadiyah telah berstatus badan hukum sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.
Muhammadiyah merasa hak konstitusional yang dimilikinya sebagai badan hukum,
direduksi oleh UU RS. Ketentuan Pasal Pasal 7 ayat 4 UU RS tegas menyatakan RS swasta harus berbentuk badan hukum yang
khusus yang bergerak di bidang perumahsakitan. Selain itu, ketentuan dalam UU
RS juga memberikan sanksi pidana penjara, denda, dan sansksi administrasi bagi
RS yang tidak didirikan oleh badan hukum
khusus kerumahsakitan.
Ketentuan Pasal
7 ayat (4) UU RS mewajibkan Muhammadiyah membentuk badan hukum khusus untuk
perumahsakitan. Ketentuan ini berarti memungkiri eksistensi PP Muhammadiyah
sebagai badan hukum yang berhak memiliki amal usaha RS. “Sama halnya tidak
mengakui hak bersyarikat dan berkumpulnya Pemohon (Muhammadiyah) dalam mewujudkan
Persyarikatan Muhammadiyah yang yang telah diakui oleh negara sejak sebelum
kemerdekaan sampai dengan kemerdekaan,” kata kuasa hukum PP Muhammadiyah, Syaiful Bakhri.
Liberalisasi Layanan Kesehatan
Kepemilikan amal usaha Rumah Sakit
Muhammadiyah merupakan wujud nasionalisme yang tidak boleh terkikis oleh
kewajiban status hukum dan administrasi sebagaimana ketentuan dalam UU Rumah
Sakit. PP Muhammadiyah menengarai hadirnya UU RS menjadi pintu masuk
liberalisasi dalam bidang pelayanan kesehatan di Indonesia. Pendekatan kelas
dalam pelayanan kesehatan dengan perlakuan dan jaminan berbeda antara milik
pemerintah dan milik swasta.
Ketentuan-ketentuan dalam UU RS tidak
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia. Beberapa
ketentuan dalam UU RS justru membuka peluang perbedaan perlakuan dalam
memperoleh pelayanan kesehatan. UU ini juga tidak mencerminkan asas
kekeluargaan, karena tidak melihat seluruh elemen bangsa menjadi bagian integral
dari negara dan bangsa Indonesia. Asas bhinneka tunggal ika, juga tidak
tercermin dalam UU RS, karena tidak mengakomodasi elemen-elemen yang ada di
masyarakat sebagai anak bangsa, tetapi menggunakan pendekatan kelas. Selain
itu, UU RS ini tidak mencerminkan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan karena masih membedakan status pemerintah dan swasta yang
merupakan penegasan prinsip diskriminasi sehingga harus dinyatakan bertentangan
dengan konstitusi.
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Mei 2013: