Jakarta,
MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyatakan batas
usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun.
Mahkamah berpendapat, batas umur minimal 12 tahun lebih menjamin hak
anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana
dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Batas
umur 8 tahun bagi anak untuk dapat diajukan ke persidangan dan belum
mencapai umur 8 tahun untuk dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik,
secara faktual relatif rendah. Penjelasan UU Pengadilan Anak menentukan
batas umur 8 tahun secara sosiologis, psikologis, pedagogis anak dapat
dianggap sudah mempunyai rasa tanggung jawab. Mahkamah berpendapat
fakta hukum menunjukkan adanya beberapa permasalahan dalam proses
penyidikan, penahanan, dan persidangan, sehingga menciderai hak
konstitusional anak yang dijamin dalam UUD 1945.
Demikian
antara lain pendapat Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan yang
dibacakan pada Kamis (24/2/2011). Dalam amar putusannya, Mahkamah
mengabulkan sebagian permohonan. Perkara nomor 1/PUU-VIII/2010 mengenai
uji UU Pengadilan Anak ini dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan
(YPKPAM). KPAI dan YPKPAM menguji konstitusionalitas Pasal 1 angka 2
huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2)
huruf a, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak terhadap Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Usia Bertanggung jawab
Mahkamah
berpendapat, keberadaan UU Pengadilan Anak ini seharusnya ditujukan
untuk memberikan perlindungan terbaik pada anak untuk dapat menjamin hak
hidup (rights to life), hak kelangsungan hidup (rights to survival),
dan hak tumbuh kembang anak (rights to develop). Keberadaan UU
Pengadilan Anak secara khusus ditujukan bagi kepentingan terbaik bagi
anak adalah bentuk dari affirmative action bagi Anak.
Setelah
mencermati seluruh ketentuan tentang Pengadilan Anak, Mahkamah
memandang terdapat substansi atau materi UU Pengadilan Anak yang perlu
diperbaiki, seperti Pasal 23 ayat (2) huruf a UU yang menyatakan,
“Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. Pidana
penjara; b. Pidana kurungan; c. Pidana denda; atau d. Pidana
pengawasan”. Sistematika rumusan tersebut seharusnya mendahulukan pidana
pengawasan dan yang terakhir barulah pidana penjara.
Berdasarkan
pandangan hukum dari ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., ahli
Pemohon, Dr. Surastini, S.H., M.H., Fentiny Nugroho, M.A., Ph.D, Prof.
Bismar Siregar, Hj. Aisyah Amini, dan Adi Fahrudin, Mahkamah memandang
batasan umur telah menimbulkan pelbagai penafsiran dan kontroversi
pemikiran sehingga perlu ada batasan usia yang serasi dan selaras dalam
pertanggungjawaban hukum bagi anak yang terdapat dalam UU Pengadilan
Anak dengan mendasarkan pada pertimbangan hak-hak konstitusional anak.
Mahkamah menemukan adanya perbedaan antara batas usia minimal bagi anak
yang dapat diajukan dalam proses penyidikan, proses persidangan, dan
pemidanaan.
Pasal
4 ayat (1) UU Pengadilan Anak menyatakan batas umur anak nakal yang
dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun.
Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) menyatakan dalam hal anak belum mencapai
umur 8 tahun dapat dilakukan penyidikan. Sedangkan Pasal 26 ayat (3) dan
ayat (4) UU Pengadilan Anak menyatakan apabila anak nakal belum
mencukupi umur 12 tahun melakukan tindak pidana yang diancam hukuman
mati atau seumur hidup maka terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan
tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU Pengadilan Anak
tidak dapat dilakukan apabila belum mencapai umur 12 tahun.
Penetapan
umur minimal 12 tahun sebagai ambang batas umur pertanggungjawaban
hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara
sebagaimana juga direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General
Comment, 10 Februari 2007. Dengan batasan umur 12 tahun maka telah
sesuai dengan ketentuan tentang pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak
dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4). Penetapan batas umur tersebut
juga dengan mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah memiliki
kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil serta sesuai
dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat
bertanggung jawab secara hukum karena telah mengetahui hak dan
kewajibannya. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, batas umur minimal
12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan
mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2)
UUD 1945.
Meskipun
yang dimohonkan pengujian hanya Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa,
“...sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun...” dan Pasal 5 ayat (1)
sepanjang frasa, “...belum mencapai umur 8 (delapan) tahun...”, namun
Mahkamah sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, tidak akan
membiarkan adanya norma dalam UU yang tidak konsisten dan tidak sesuai
dengan amanat perlindungan konstitutional yang dikonstruksikan oleh
Mahkamah. Oleh karena itu, norma-norma pasal yang lain dalam
Undang-Undang ini, yaitu Pasal 1 angka 1 dan penjelasan UU Pengadilan
Anak sepanjang mengandung frasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4
ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak harus dinyatakan
inkonstitusional bersyarat.
Dalam
konklusinya, Mahkamah menilai dalil-dalil Pemohon terbukti menurut
hukum untuk sebagian. Alhasil dalam amar putusan, Mahkamah mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk sebagian. Mahkamah menyatakan frasa,”... 8
(delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan
Pasal 5 ayat (1) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak beserta
penjelasannya khususnya terkait dengan frasa “...8 (delapan) tahun...”
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12
(dua belas) tahun...”.
Selanjutnya,
menyatakan frasa dalam pasal-pasal beserta penjelasannya dalam UU
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
(conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali
dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”. Terakhir, menyatakan menolak
permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Beda Pendapat
Putusan
ini tidak diambil secara bulat oleh sembilan hakim konstitusi dalam
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar
mengambil posisi berbeda dalam berpendapat (dissenting opinion) terhadap
Pasal 1 angka 2 huruf b UU 3/1997 sepanjang frasa ” ...maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan”,.
Menurut
Akil, seharusnya Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 2 huruf b UU 3/1997
tentang Pengadilan Anak sepanjang frasa tersebut, bertentangan dengan
UUD 1945. (Nur Rosihin Ana/mh)
Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5049