Jakarta,
MK Online - Korupsi adalah perbuatan yang sangat menguntungkan bagi
pelaku. Jika korupsi 10 milyar, dihukum 4 tahun penjara dan denda 1
milyar, maka masih sisa 9 milyar. Demikian dikatakan Pemohon R. Hamdani
C.H., dalam sidang perkara nomor 3/PUU-IX/2011 yang digelar pada Senin
(17/01/2011) bertempat di lt.4 gedung MK.
Hamdani
yang menjabat Ketua Umum Pengurus Keluarga Besar Komite Kedaulatan
Rakyat (PKB-KKR) ini menguji Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Pemberantasan Korupsi). Menurutnya, ketentuan pasal-pasal
tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2)
UUD 1945.
Pasal
2 UU tersebut menyatakan: "Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah)."
Ketidakjelasan
batas minimal dan maksimal nilai korupsi, hukuman terhadap koruptor,
dan penyalahgunaan kewenangan jabatan atau kedudukan yang merugikan
negara atau rakyat, menurut Hamdani, turut andil memberikan kesempatan
terjadinya tindak pidana korupsi. "Pasal ini memberi kesempatan orang
untuk melakukan korupsi," dalil Hamdani.
Hamdani
mendalilkan, kenyataanya Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 UU
tersebut tidak mampu membuat para koruptor jera atau takut melakukan
korupsi. Sebaliknya, mereka bangga melakukan korupsi secara berjamaah.
"Yang kami minta adalah pasal yang bisa membuat jera para koruptor,"
pinta Hamdani. Berlakunya Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45
mempunyai andil besar dalam pemasyarakatan dan pemberdayaan korupsi di
Indonesia. Pekerjaan korupsi menurut para koruptor sangat menguntungkan
bagi pelakunya. Meskipun dihukum mati, koruptor telah memperkaya
keluarganya hingga tujuh turunan.
Di
samping itu, dalam penerapannya terdapat diskriminasi antara tindak
pidana yang dilakukan rakyat kecil dengan tindak pidana koruptor. Hal
ini menurut Hamdani bertentangan dengna 27 Ayat (1) UUD 1945. "Pencuri
kakau, pencuri piring, mendapatkan hukuman hampir sama dengan yang
dijatuhkan oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 tersebut," lanjut Hamdani.
Hamdani
memohon kepada Mahkamah menyatakan tafsir Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 45 UU tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal
28I UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Nasehat Hakim
Panel Hakim MK yang memeriksa perkara ini M. Akil Mochtar sebagai ketua panel, didampingi dua anggota, Achmad Sodiki, dan Maria Farida Indrati. Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menanyakan ayat dalam Pasal 2 yang dimaksudkan oleh Pemohon untuk diujikan. "Pasal 2 ini kan terdiri dari 2 ayat. Mana yang saudara gunakan, ayat 1 atau ayat 2?" tanya Sodiki. "Pasal 2 ayat 1," jawab Hamdani singkat.
Panel Hakim MK yang memeriksa perkara ini M. Akil Mochtar sebagai ketua panel, didampingi dua anggota, Achmad Sodiki, dan Maria Farida Indrati. Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menanyakan ayat dalam Pasal 2 yang dimaksudkan oleh Pemohon untuk diujikan. "Pasal 2 ini kan terdiri dari 2 ayat. Mana yang saudara gunakan, ayat 1 atau ayat 2?" tanya Sodiki. "Pasal 2 ayat 1," jawab Hamdani singkat.
Sementara
itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menasehati mengenai cara
penulisan dan sistimatika permohonan. Selain itu, Maria mengkategorikan
permohonan yang diajukan berhubungan dengan implementasi UU. "Bukan
pertentangan antara norma dalam UU ini dengan norma yang ada dalam
konstitusi. Sedangkan pengujian UU berkisar tentang bunyi atau norma
dalam satu pasal UU dengan UUD 1945. Itu yang harus diperbaiki lagi,"
jelas Maria.
Sedangkan
Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menanyakan masalah legal standing
Pemohon. "Kalau saudara mewakili kepentingan badan hukum, maka harus ada
pendaftaran sebagai badan hukum di instansi yang berwenang," nasehat
Akil juga menanyakan hak konstitusional Pemohon yang dirugikan sebagai
akibat berlakunya pasal-pasal yang diujikan. "Kerugian itu bisa bersifat
aktual, bisa juga bersifat prediksi," jelas Akil. Pemohon lanjut Akil,
diminta memperjelas hubungan sebab-akibat adanya kerugian
konstitusional Pemohon. Jika ketentuan pasal yang diujikan dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kata Akil, maka kerugian
Pemohon menjadi gugur. "Itu harus bisa saudara jelaskan. Itulah pintu
masuk untuk menguji sebuah UU terhadap UUD 1945," kata Akil menasehati.
Sebelum
menutup sidang panel pemeriksaan pendahuluan, Hakim Konstitusi M. Akil
Mochtar memberi kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan
permohonan dalam jangka waktu 14 hari. (Nur Rosihin Ana/mh)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar