Selasa, 18 Januari 2011

UU Pemberantasan Korupsi Untungkan Koruptor


Pemohon perkara nomor 3/PUU-IX/2011, R. Hamdani C.H. memberikan penjelasan mengenai permohonannya terkait uji materi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Senin (17/01/2011) bertempat di lt.4 gedung MK.
Jakarta, MK Online - Korupsi adalah perbuatan yang sangat menguntungkan bagi pelaku. Jika korupsi 10 milyar, dihukum 4 tahun penjara dan denda 1 milyar, maka masih sisa 9 milyar. Demikian dikatakan Pemohon R. Hamdani C.H., dalam sidang perkara nomor 3/PUU-IX/2011 yang digelar pada Senin (17/01/2011) bertempat di lt.4 gedung MK.
Hamdani yang menjabat Ketua Umum Pengurus Keluarga Besar Komite Kedaulatan Rakyat (PKB-KKR) ini menguji Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Korupsi). Menurutnya, ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 UU tersebut menyatakan: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah)."
Ketidakjelasan batas minimal dan maksimal nilai korupsi, hukuman terhadap koruptor, dan penyalahgunaan kewenangan jabatan atau kedudukan yang merugikan negara atau rakyat, menurut Hamdani, turut andil memberikan kesempatan terjadinya tindak pidana korupsi. "Pasal ini memberi kesempatan orang untuk melakukan korupsi," dalil Hamdani.
Hamdani mendalilkan, kenyataanya Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 UU tersebut tidak mampu membuat para koruptor jera atau takut melakukan korupsi. Sebaliknya, mereka bangga melakukan korupsi secara berjamaah. "Yang kami minta adalah pasal yang bisa membuat jera para koruptor," pinta Hamdani. Berlakunya Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 mempunyai andil besar dalam pemasyarakatan dan pemberdayaan korupsi di Indonesia. Pekerjaan korupsi menurut para koruptor sangat menguntungkan bagi pelakunya. Meskipun dihukum mati, koruptor telah memperkaya keluarganya hingga tujuh turunan.
Di samping itu, dalam penerapannya terdapat diskriminasi antara tindak pidana yang dilakukan rakyat kecil dengan tindak pidana koruptor. Hal ini menurut Hamdani bertentangan dengna 27 Ayat (1) UUD 1945. "Pencuri kakau, pencuri piring, mendapatkan hukuman hampir sama dengan yang dijatuhkan oleh UU Nomor  31 Tahun 1999 tersebut," lanjut Hamdani.
Hamdani memohon kepada Mahkamah menyatakan tafsir Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 UU tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28I UUD 1945  dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Nasehat Hakim
Panel Hakim MK yang memeriksa perkara ini M. Akil Mochtar sebagai ketua panel, didampingi dua anggota, Achmad Sodiki, dan Maria Farida Indrati. Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menanyakan ayat dalam Pasal 2 yang dimaksudkan  oleh Pemohon untuk diujikan. "Pasal 2 ini kan terdiri dari 2 ayat. Mana yang saudara gunakan, ayat 1 atau ayat 2?" tanya Sodiki. "Pasal 2 ayat 1," jawab Hamdani singkat.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menasehati mengenai cara penulisan dan sistimatika permohonan. Selain itu, Maria mengkategorikan permohonan yang diajukan berhubungan dengan implementasi UU. "Bukan pertentangan antara norma dalam UU ini dengan norma yang ada dalam konstitusi. Sedangkan pengujian UU berkisar tentang bunyi atau norma dalam satu pasal UU dengan UUD 1945. Itu yang harus diperbaiki lagi," jelas Maria.
Sedangkan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menanyakan masalah legal standing Pemohon. "Kalau saudara mewakili kepentingan badan hukum, maka harus ada pendaftaran sebagai badan hukum di instansi yang berwenang," nasehat Akil juga menanyakan hak konstitusional Pemohon yang dirugikan sebagai akibat berlakunya pasal-pasal yang diujikan. "Kerugian itu bisa bersifat aktual, bisa juga bersifat prediksi," jelas Akil. Pemohon lanjut Akil, diminta memperjelas hubungan sebab-akibat adanya kerugian konstitusional Pemohon. Jika ketentuan pasal yang diujikan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kata Akil, maka kerugian Pemohon menjadi gugur. "Itu harus bisa saudara jelaskan. Itulah pintu masuk untuk menguji sebuah UU terhadap UUD 1945," kata Akil menasehati.
Sebelum menutup sidang panel pemeriksaan pendahuluan, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar memberi kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan dalam jangka waktu 14 hari. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More