Setiap
jabatan publik atau jabatan dalam pemerintahan dalam arti luas, baik
yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, maupun melalui cara
lain, menuntut syarat kepercayaan masyarakat karena jabatan publik
adalah jabatan kepercayaan. Oleh karena itu, dalam rekruitmen jabatan
publik maupun dalam mekanisme pemberhentiannya dibuat
persyaratan-persyaratan tertentu agar pejabat yang terpilih adalah
pejabat yang benar-benar bersih, berwibawa, jujur, dan mempunyai
integritas moral yang tinggi.
Demikian
pendapat Mahkamah terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pemberhentian
sementara bertentangan UUD 1945 yang tidak mengenal istilah
pemberhentian sementara.
Sidang dengan agenda pengucapan putusan perkara nomor 152/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ini digelar pada Jum'at (15/10) bertempat di ruang Pleno gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Sidang dengan agenda pengucapan putusan perkara nomor 152/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ini digelar pada Jum'at (15/10) bertempat di ruang Pleno gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Permohonan
ini diajukan oleh Achmad Dimyati Natakusumah, Anggota DPR RI periode
2009-2014. Pada 14 Desember 2009, Dimyati memohonkan pengujian Pasal
219 UU 27/2009 ke MK. Saat itu Dimyati sedang dihadapkan sebagai
terdakwa di Pengadilan Negeri Pandeglang.
Mantan
Bupati Pandeglang ini mendalilkan bahwa ketentuan yang mengatur
tentang pemberhentian sementara terhadap Anggota DPR karena menyandang
status terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 219 UU 27/2009,
bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan
(equality before the law) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1)
dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah
tidak menemukan alasan hukum yang cukup kuat terhadap potensi
terjadinya pelanggaran atas hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin
dan dilindungi oleh UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat permohonan
provisi harus dikesampingkan.
Meskipun
Pasal 22B UUD 1945 tidak secara expressis verbis mengatur mengenai
pemberhentian sementara, tetapi tidak mengurangi hak pembentuk UU untuk
mengatur lebih lanjut mekanisme pemberhentian suatu jabatan publik
sesuai dengan kebutuhan yang menjadi tuntutan bagi jabatan publik yang
bersangkutan serta dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28J ayat (2)
UUD 1945.
Apabila
hanya norma dalam Pasal 213 UU 27/2009 ayat (2) huruf c UU 27/2009
yang menjadi dasar argumentasi Pemohon, yakni diberhentikan setelah
memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih, maka justru mengandung ketidakadilan dan
ketidakpastian hukum.
Mahkamah
sependapat dengan keterangan pemerintah dalam persidangan yang
menyatakan bahwa pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan
kemudahan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika menghadapi proses
hukum tidak mengganggu tugas-tugas konstitusional sebagai anggota
dewan.
Apabila
ada seorang anggota DPR harus menjalani proses peradilan, sementara
yang bersangkutan juga harus melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya
dan menerima hak-hak sesuai dengan jabatannya, justru akan merendahkan
kedudukan lembaga dewan di mata rakyat karena tidak dapat menjaga
kredibilitas dan moralitas anggotanya. Sementara apabila ternyata
putusan pengadilan menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah, sudah
ada mekanisme hukum untuk mengembalikan harkat dan martabatnya di
hadapan hukum.
Memang
benar Presiden/Wakil Presiden dan Anggota DPR dipilih secara langung
oleh rakyat melalui Pemilu, tetapi kedudukan hukumnya berbeda. Perbedaan
kedudukan hukum dan tugas konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD
1945 menyebabkan karakter kedua jabatan tersebut berbeda sehingga wajar
dan proporsional pula apabila ada pembedaan dalam mekanisme
pemberhentian dari jabatannya.
Begitu
pula terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sebelum dilakukan
pemberhentian, juga dapat diberhentikan sementara dari jabatannya
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua
Atas UU 14/1985 tentang MA dan Pasal 24 ayat (1) UU 24/2003 tentang MK.
Mahkamah
berkesimpulan bahwa Kerugian yang didalilkan Pemohon disebabkan oleh
pelaksanaan Undang-Undang bukan karena konstitusionalitas dari norma
yang dimohonkan pengujian sehingga dalil-dalil Pemohon tidak berdasar
dan tidak beralasan hukum.
Sidang
Pleno terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh tujuh Hakim Konstitusi,
yaitu Moh. Mahfud MD., sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki,
M. Akil Mochtar, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, dan
Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota. (Nur Rosihin Ana)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar