Jakarta,
MKOnline - Community service order (CSO) atau program pelayanan
masyarakat, merupakan bentuk pemberian hukuman kepada anak dengan
memberikan kewajiban kepadanya untuk memberikan pelayanan sukarela
kepada masyarakat yang ditentukan oleh pengadilan.
"Program community service order ini sesuai diterapkan untuk anak, menggantikan sistem pemenjaraan yang ada selama ini."
Demikian
disampaikan ahli Pemohon, Adi Fahrudin, saat presentasi di hadapan
sidang uji materi UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Selasa
(26/10) di ruang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi RI.
Uji
materi UU 3/1997 ini dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan
(YPKPAM). Materi yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4
Ayat (1), Pasal 5 Ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 Ayat (2) huruf a, dan
Pasal 31 Ayat (1) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Sebagai batu
ujinya adalah Pasal 28B Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I
Ayat (1) UUD 1945.
Sidang
dengan agenda mendengar keterangan ahli yang diajukan pemohon perkara
nomor 1/PUU-VIII/2010 ini dihadiri Ketua KPAI Hadi Supeno, ahli
Pemohon, dan kuasa Pemohon, Muhammad Joni dkk. Dari pihak Pemerintah
yang hadir, Heni Susilo Wardoyo, Alfiani, dan Radita Aji, ketiganya
dari Direktorat Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum
dan HAM (Kemenkumham).
Adi
Fahrudin, dalam presentasi dengan tema " Community Service Order:
Model Alternatif Rehabilitasi Sosial Anak Pasca Putusan Pengadilan" ini
menyajikan kecenderungan yang terjadi di dunia terkait pemidanaan
anak. Tawaran alternatif pidana, misalnya dari Union International de
Droit Penal dalam kongres pertamanya di brussel 7-8 agustus 1889
mengeluarkan resolusi agar mengembangkan berbagai alternatif pidana
jangka pendek (alternatives to short custodial sentence).
"Kemudian dari PBB, merekomendasikan dibatasinya pidana penjara jangka pendek," sambung ahli Pemohon, Adi Fahrudin.
Lebih
lanjut konsultan profesional di Malaysia ini memaparkan kecenderungan
berdasarkan perkembangan terkini di dunia internasional untuk mencari
alternatif pidana dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to
imprisionment) ke dalam bentuk sanksi alternatif (alternative sanction).
Selain itu juga mengenai alternatif pemidanaan berupa “community
service order”.
Adi
lalu mencontohkan penerapan CSO di bebeberapa negara. Di Italia,
Jerman dan Swiss, pidana CSO dapat menggantikan pidana penjara
pengganti apabila terpidana denda gagal membayar dendanya. "Di beberapa
negara Eropah, CSO dapat menjadi syarat diterapkannya grasi," ujar Adi
mencontohkan.
Di
belanda, papar Adi, grasi dapat dijatuhkan atau diterapkan kepada
seorang terpidana dengan syarat, bahwa terpidana harus melaksanakan CSO.
Kemudian di jerman, pidana CSO dapat menjadi alternatif pidana
perampasan kemerdekaan sebagai akibat denda tidak terbayar dengan
melalui grasi.
Namun,
penerapan program CSO menurut Adi, setidaknya memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain, berkaitan dengan tindak pidana tertentu/tidak
berat. Kemudian, crime againt property, masa hukuman tidak melebih
waktu tertentu, misalnya Denmark 6-8 bulan, Norwegia dan Luxemburg 9-12
bulan, Belanda dan Portugal 4 bulan.
Syarat
lainnya yang juga perlu mendapat perhatian yaitu, pelaku masih anak.
Penerapan pidana CSO harus memperhatikan UU tenaga kerja karena usia
anak dilarang untuk melakukan kerja.
Sedangkan
mengenai kelebihan program CSO, menurut Adi yaitu, pidana CSO
menisbikan proses stigmatisasi. Pidana CSO akan meniadakan efek negatif
berupa “pendidikan kejahatan oleh penjahat”. Dari segi ekonomi, kata
Adi, CSO jauh lebih murah. Kemudian, dapat menghindarkan stigmatisasi.
Anak
yang menjalani pidana CSO masih dapat menjalankan kehidupan secara
normal, seperti termasuk sekolah, pergaulan sosial. Sehingga proses
dehumanisasi bisa dihindari. "Dapat menghindari “de-humanisasi” yang
selalu menjadi efek negatif dari pidana perampasan kemerdekaan," tegas
Adi Fahrudin.
Sidang
Pleno terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh delapan Hakim
Konstitusi, yaitu Achmad Sodiki sebagai Ketua merangkap Anggota, M. Akil
Mochtar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, M. Arsyad Sanusi, Hamdan
Zoelva, Harjono, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai
Anggota. (Nur Rosihin Ana)
Sumber: