Sidang
uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK),
Selasa (9/3/10) dengan agenda perbaikan permohonan. Sidang dihadiri oleh para Pemohon, Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi.
Di hadapan Panel Hakim, para Pemohon
melakukan perbaikan-perbaikan permohonan sebagaimana arahan dan
nasehat Panel Hakim pada sidang pemeriksaan pendahuluan (9/2/10).
Pemohon
mempertegas kerugian konstitusional yang diderita Pemohon oleh
berlakunya Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang mengatur tata cara intersepsi
(penyadapan) melalui Peraturan Pemerintah. Pemohon menegaskan batu uji
yang digunakan adalah Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, dan bukan pada Pasal
28F. "Karena ini adalah hubungan komunikasi yang bersifat pribadi,
bukan untuk menyampaikan gagasan atau informasi kepada masyarakat
secara meluas," kata Anggara memberikan alasan.
Di
Indonesia, belum banyak teori yang mengemukakan hak atas privasi.
Pemohon melakukan elaborasi hak atas privasi dalam lingkup rumah atau
tempat tinggal Pemohon yang tidak bisa dimasuki tanpa izin atau dimasuki
secara sewenang-wenang tanpa perintah atau melalui otorisasi kekuasaan
kehakiman.
Termasuk
dalam hak privasi adalah hak berkorespondensi yang sifatnya pribadi
antara Pemohon dengan pihak lain. Dalam hal ini diperluas pada pola
hubungan komunikasi antara Pemohon dengan pihak lain yang bersifat
pribadi dan berlangsung secara dua arah.
Pembatasan
atau Penghadangan melalui tindakan intersepsi (penyadapan) terhadap
alat-alat komunikasi Pemohon, dapat dikategorikan sebagai tindakan
melawan hukum dan pelanggaran HAM. "Oleh karena itu kami berpendapat
bahwa tindakan penyadapan adalah bagian dari upaya paksa yang hanya
boleh dilakukan berdasarkan UU dan harus diatur hukum acaranya melalui
UU yang khusus mengatur hukum formil terhadap penegakkan hukum materiil," kata Anggara.
Pengaturan pembatasan, penghadangan, atau pencabutan hak yang ditetapkan Pasal 31 ayat (4) UU UU ITE yang mengamanatkan tatacara intersepsi, menurut Pemohon, jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan punya potensi disalahgunakan atau terjadinya kesewenang-wenangan.
Berdasarkan
dalil-dalil di atas, para Pemohon sebagai warga negara Indonesia
merasa berhak atas jaminan perlindungan diri pribadi (privasi) dan berhak atas rasa aman menggunakan alat-alat komunikasi dari tindakan intersepsi yang dilakukan secara sewenang-wenang.
Jaminan atas keamanan diri pribadi tidak hanya terbatas pada pagar rumah atau tempat kediaman, tapi juga hubungan korespondensi. Hubungan komunikasi melalui segala jenis media yang tersedia harus dilindungi secara de facto
dan jujur dari tindakan sewenang-wenang yang mungkin dilakukan oleh
aparat penegak hukum, dan oleh instansi yang diberi kewenangan untuk
melakukan intersepsi.
Ketua
Panel Hakim M. Akil Mochtar menilai permohonan sudah cukup memadai.
Selanjutnya, Pemohon akan menerima pemberitahuan dari MK untuk sidang
berikutnya. Akil juga menyarankan Pemohon menyiapkan saksi atau ahli
yang mendukung permohonan.
Sebelum menutup persidangan perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010 ini,
Panel Hakim yang terdiri dari M. Akil Mochtar sebagai ketua, dua
anggota Panel Muhammad Alim dan Ahmad Fadlil Sumadi, mengesahkan alat
bukti Pemohon yang terdiri dari bukti P1-P4. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar